Vino beserta anak buahnya kembali melanjutkan minum minuman yang telah tersedia, hingga beberapa botol telah nampak kosong.
Sedangkan si perempuan tadi kembali ke mejanya lagi, dan telah mengobrol dengan seorang lelaki setengah baya. Nampaknya, mereka sangat gembira malam ini. Terlihat si perempuan lebih banyak tertawa, sambil sesekali bergelayut manja di lengan lelaki yang lebih cocok sebagai ayahnya.
Tak sampai satu jam kemudian, perempuan yang tadi diminati oleh Vino keluar dari ruangan dengan dipeluk pinggangnya oleh si lelaki tua.
Namun, Vino dan anak buahnya masih melanjutkan aktifitasnya, sambil sesekali bergoyang mengikuti irama music yang disajikan oleh DJ.
Setelah mendapat bisikan dari Bram, Vino bergegas meninggalkan ruangan, tanpa diikuti oleh satu orang pun dari anak buahnya.
Dikemudikannya kendaraan roda empat itu secara perlahan, sambil sesekali mengisap sebatang rokok yang terselip di jari-jarinya.
Di sebuah tempat yang agak sepi dari lalu lalang pengguna jalan, Vino melambatkan laju mobilnya. Dalam jarak seratus meter di depannya, terlihat ada keributan. Dua orang lelaki berbadan besar, sedang menganiaya seorang lelaki yang sudah tergeletak di atas aspal jalan.
Bukannya Vino tak mau menolong, tetapi dia tak mau ikut campur urusan orang lain. Lagi pula, dia masih mempunyai sebuah urusan lain juga.
Seorang perempuan terlihat berlari menjauhi keributan tadi dengan menjinjing sepatunya. Terkadang, dia jatuh tersungkur, lalu berusaha bangkit dengan susah payah.
Bukan karena pakaian yang membuatnya sulit berlari, tetapi perempuan itu nampak oleng. Arah berlarinya tak bisa lurus, kadang ke arah kanan, kadang malah lari ke kiri hingga menabrak pagar pembatas jalan.
Masih di dalam mobil, Vino tersenyum kecil melihat tingkah perempuan yang sedang berlari itu. Dia pun tak ingin menyalipnya, malah terus mengikuti dari belakang si perempuan itu.
Ketika perempuan yang mengenakan jaket berwarna hitam itu jatuh terduduk, hingga tak kuasa untuk bangun lagi, Vino menghentikan mobilnya tepat di samping perempuan yang sedang menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.
"Kenapa kamu duduk di situ?" tanya Vino setelah nembuka pintu mobil sebelah kiri depan.
Perempuan itu membuka telapak tangannya, lalu nampak terkejut dengan keberadaan Vino itu.
"Masuklah, atau kamu masih ingin duduk di situ terus?" ujar Vino, ketika melihat si perempuan masih terdiam.
Meskipun nampak ragu-ragu, akhirnya perempuan yang telah letih berlari itu, memasuki mobil. Kemudian, Vino menjalankan kendaraannya, tanpa menoleh lagi ke arah kursi sebelahnya yang sudah diduduki si perempuan berambut sebahu.
Matahari sudah menampakkan sinarnya dengan penuh, sehingga cuaca terasa panas yang membuat sebagian orang lebih memilih mengunjungi penjual minuman dingin.
Apalagi, bertepatan di waktu jam makan siang. Nampak beberapa kedai makan di pinggir jalan dipadati oleh pengunjung.
Setelah hampir lima belas menit melaju, tak ada seorang pun yang membuka suara. Si perempuan nampak tertidur, jadi Vino pun tak ingin mengganggunya.
Barulah setelah hampir satu jam tertidur, perempuan itu pun terbangun. Dia nampak bingung dan melihat ke arah luar jendela mobil.
"Ini di daerah mana?" tanya perempuan itu.
"Di dekat pantai," jawab Vino singkat.
"Kenapa gak mengantar pulang ke rumahku saja?"
"Memangnya, aku tahu di mana rumahmu? Kamu kan gak pesan mobil online."
"Aduh, aku lupa. Lagi pula, aku langsung ketiduran tadi."
"Kenapa kamu tadi lari-lari, lalu duduk di tepi jalan?" tanya Vino tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat ke jalan.
"Aku, eh maksudku, tamuku tadi dirampok. Jadi, aku melarikan diri saja. Padahal, aku tadi sudah dipegang kuat-kuat oleh salah satu perampok itu. Setelah kugigit tangannya, aku bisa terlepas."
"Kenapa kamu malah meninggalkan tamumu itu?" tanya Vino lagi.
"Ya, iyalah. Aku kan ingin selamat. Siapa tahu, perampok itu bukan hanya berniat mengambil uang atau harta. Kalau aku sampai diapa-apain oleh mereka, celakalah nasibku."
"Sekarang, kamu ingin kemana?"
Perempuan itu tak langsung menjawab. Dia melihat interior di dalam mobil Vino. 'Dari pada pulang gak dapat apa-apa, mendingan ikut lelaki ini dulu. Mobilnya aja, mewah begini. Pasti dia juga orang yang tajir juga,' kata hati si perempuan.
"Hmm ... tadi kan, aku ada tamu. Sekarang sudah free. Gimana, apakah Om, eh Bos masih ingin mengajakku kencan?"
Vino tersenyum kecil, sehingga wajah tampannya semakin membuat perempuan itu menjadi semakin tertarik ingin ikut dengan lelaki yang lebih muda dari tamunya tadi.
"Tapi, aku gak sekaya tamumu tadi," ucap Vino merendah.
"Eh, siapa bilang? Mobil tamuku tadi malah tak sebagus mobil ini kok, Bos."
"Kenapa kamu memanggilku, dengan sebutan bos?"
"Kalau kupanggil om ... kan, masih kelihatan muda. Jadi, lebih baik kupanggil Bos saja, lah." Perempuan itu mulai berani merayu dengan membuka jaket, dan langsung terlihat dada besarnya yang terbungkus kaos berwarna biru muda.
"Iya, aku memang seorang bos. Dan yang merampok tamumu tadi, adalah anak buahku," ucap Vino dengan menancapkan sebuah jarum suntik di paha kanan perempuan itu.
Si perempuan langsung menoleh sambil melotot, karena rasa terkejutnya. Tapi, sesaat kemudian dia pun sudah tak sadarkan diri lagi.
Jarum suntik yang berisi obat bius, memang selalu tersedia di dalam mobil Vino, untuk melancarkan segala aksinya. Yaitu, menaklukkan ular berbisa.
****
Di depan sebuah bangunan yang tak cukup besar, Vino menghentikan mobilnya. Hanya dengan remote kontrol, pintu gerbang yang nampak kokoh itu langsung terbuka.Setelah memasukkan mobil di garasi, perempuan yang masih pingsan itu dibopong memasuki sebuah lorong yang menuju ke sebuah ruangan.Tak ada satu orang pun yang nampak di tempat itu selain Vino dan si perempuan yang tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang terbuat dari besi kokoh.Sementara itu, Vino yang bertubuh jangkung dan kekar membuka sebuah lemari yang terbuat dari besi juga. Diambilnya beberapa peralatan, yaitu benda-benda yang biasa digunakan untuk alat-alat pertukangan.Gergaji, martil, dan obeng serta yang lainnya diatur sedemikian rupa di atas sebuah meja yang cukup besar. Bahkan, golok dan gunting besar juga terdapat di paling atas barang-barang yang sudah tersusun rapi.Setelah semua peralatan yang dikehendaki berada di atas meja sebelah ranjang besi, Vino duduk di sebuah kursi
Sumpah Terkutuk bab 9Perempuan bermata bulat itu hanya bisa menganga. Sekujur tubuhnya gemetaran, melihat kapak yang tertancap tepat di samping kepala kanannya."Bos ... tolong, ampuni aku. Aku gak mau mati," rengek si perempuan.Perlahan Vino mendekati, lalu menatap tepat di wajah si petempuan."Buka semua pakaianmu," bisik Vino.Si perempuan yang juga melihat sepasang mata Vino, seperti terhipnotis. Tanpa bicara lagi, dia melucuti semua kain yang menempel di tubuhnya.Tangan kanan Vino mulai menggerayangi tubuh yang telah polos itu. Bibirnya pun menutup mulut si perempuan yang tak berontak sedikitpun.Dibimbingnya tubuh sintal itu menuju ke ranjang besi, yang hanya beralaskan spon tanpa kain penutup. Napas yang menderu terdengar dari sepasang manusia yang tengah bergulat untuk mereguk nikmat sesaat.Rupanya, si perempuan juga mengimbangi dengan apa yang dilakukan oleh Vino. Bahkan, perempuan yang sebelumnya merasakan ketakutan
Sumpah Terkutuk bab 10Bibir Vino tersunging, saat menyaksikan seorang perempuan yang tak henti-hentinya tertawa senang atas apa yang akan diperolehnya setelah ia bisa keluara dari kurungan itu."Dasar, perempuan semua sama saja! Tidak peduli dengan keselamatan nyawa dan harga dirinya, bila sudah melihat harta yang melimpah di depan matanya," gumam Vino kesal.Dia lalu teringat dengan ibu kandungnya sendiri. Ketika mendapatkan uang yang banyak dari hasil merampas hak orang lain, ibunya bisa tertawa lepas dan berwajah gembira.Lain halnya bila sang ayah yang hanya bisa memberikan uang gajinya yang tak seberapa jumlahnya. Si ibu pasti langsung murka, dan tak segan-segan memaki lelaki yang telah hidup bersamanya itu."Kalau aku gak usaha sendiri, bisa-bisa aku mati kelaparan dengan uang yang kamu berikan ini!""Tapi, itu adalah hasilku yang halal, Dik," jawab ayah Vino dengan wajah lesu."Halaah! Mau halal atau haram, yang penting
Raut wajah Vino nampak geram, lalu dia menghampiri ranjang tempat tidurnya. Dipungutnya dua kuntum bunga kecil berwarna putih. Barulah dia menyadari, kalau di ruangan itu tercium bau bunga melati.Wanita setengah baya yang diteriaki oleh Vino, datang tergopoh-gopoh."Ada apa sih, Tuan? Bibi bawa piring sampai kaget. Tuh, jadinya semua piring yang Bibi bawa pecah semua.""Jangan pikirin piring pecah, Bi! Nih, ada bunga lagi. Siapa yang naruh di atas tempat tidurku? Pasti Bibi, ya?""Eeeh ... Tuan jangan sembarangan nuduh, ya? Jelek-jelek begini, Bibi gak suka main bunga. Sukanya main pisau!" Pembantu yang sudah belasan tahun bekerja di rumah Vino itu, wataknya pun sudah ikut-ikutan tuannya. Tak takut apapun juga.Vino mengembangkan senyumnya. Dia sangat sayang kepada pembantunya yang satu itu. Bahkan, sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya juga.Sudah sering kali Vino melarang si bibi untuk bekerja terlalu berat. Menyediakan makanan u
Paman dan bibi Vino berusaha membujuk anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, agar tak menangis lagi.Namun, Vino tetap menangis, karena tak ingin kehilangan lelaki yang selama ini sangat menyayanginya dengan sepenuh hati.Ibu kandungnya telah tega mengusirnya dari rumah, jadi Vino tak ingin ayahnya pergi meninggalkan dirinya."Vino, kamu sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri sendiri. Pesan Ayah, kelak, jadilah seorang lelaki yang tangguh. Tak mudah menyerah, dan bekerja dengan rajin, agar dirimu tak direndahkan oleh wanita manapun," ucap si ayah, yang tak terlalu dipahami oleh Vino.Dirinya masih sangat kecil untuk mencerna kata-kata ayahnya itu. Tapi, dia tetap mendengarkan dengan seksama. Tak ingin membuat ayahnya merasa kecewa kepadanya.Lalu, si ayah pun melanjutkan kata-katanya, "mungkin, saat ini Vino belum mengerti dengan yang ayah katakan tadi. Nanti, bila umurmu sudah tujuh belas tahun, tanyalah kepada bibimu, tenta
Tok ... tok ... tok!"Maaf, tuan ... makan malam sudah siap," kata si pembantu, yang langsung membuyarkan lamunan Vino yang sedang mengingat masa lalu."Hhh ... iya, Bi. Bikin kaget aja, Bi!""Kik ... kik ...kik ...," si pembantu tertawa sambil berlalu dari pintu kamar Vino.Lelaki yang mempunyai hidung mancung dan bibir yang berwarna merah alami itu, menikmati makan malam dengan pikiran yang tak tenang.Dia masih teringat tentang bunga melati yang bisa tiba-tiba berada di dalam kamarnya. Di layar monitor dari rekaman CCTV pun, menunjukkan tak ada orang lain yang memasuki kamarnya, selain dia dan si pembantu tua."Hhh ... apa mungkin, bunga itu dari–""Maaf, Tuan ... hapenya dari tadi berdering terus," kata si bibi–pembantu Vino, sambil menyerahkan telpon genggam yang tadi tertinggal di kamar."Halo! Ada apa, Bram?"[Bos, Nikita maksa pengen ketemu sekarang.]"Suruh dia masuk!"
Segera diambilnya sepucuk pistol di dalam laci meja kerjanya, lalu Vino menghampiri jendela yang kacanya sudah hancur itu.Diamatinya keadaan di luar melalui jendela itu. Tak nampak ada siapa pun, hanya kembali tercium bau bunga melati lagi."Huh!" Vino mendengkus kesal, karena merasa telah dipermainkan oleh seseorang atau sesuatu."Hei! Keluarlah kamu, jangan sembunyi!" teriak Vino yang sudah tersulut emosi.Setelah beberapa saat menunggu dengan senjata di tangan, akhirnya Vino keluar dari kamar untuk memanggil pembantunya."Andi!" Teriakan Vino yang hanya sekali saja, langsung disambut oleh kedatangan seorang lelaki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan berbadan tinggi kurus."Siap, Tuan!""Bersihkan pecahan kaca di dalam kamarku.""Baik, Tuan." Tanpa bertanya apa-apa lagi, pembantu lelaki yang bernama Andi itu langsung menuju ke kamar Vino, setelah membawa beberapa peralatan yang diperlukan."An
"Kenapa kamu kaget begitu? Memangnya, aku gak boleh jatuh cinta?" Vino mengeraskan gerahamnya, karena kesal melihat anak buahnya yang seperti melihat sisok hantu."Bu–bukan begitu, Bos. Tapi–""Dah, gak ada tapi tapian! Mau kuledakkan isi kepalamu itu, hah!" Ancam Vino sambil menodongkan pucuk pistol ke kepala Tom. "Sejak kapan kamu bicara gagap begitu?" lanjutnya lagi."Saya ....""Sudah! Sekarang, tugasmu mencari cewek yang bernama Maya. Bawa ke hadapanku besok!""Siap, Bos!" Tom tercengang, belum juga dia menanyakan gadis yang bernama Maya berasal dari mana, si bos langsung masuk ke mobil dan meninggalkannya."Gila! Mau kucari di mana cewek yang namanya Maya itu? Ah, yang penting, semua cewek cakep yang bernama Maya, langsung gue culik aja, deh."Sambil menyetir mobilnya, Vino membayangkan wajah seorang gadis yang telah membuatnya penasaran sekaligus jatuh hati.Di usianya yang tak lagi muda itu, di