Share

BAB 7 - Gadis Bertopi Merah

Matahari mulai kehilangan kegagahannya dibalik mendung. Hari yang seharusnya diakhiri dengan keindahan senja, menjadi gelap gulita. Senja yang biasa menghangatkatkan hati para manusia, setelah seharian bergulat dengan kesibukannya. Para manusia yang pada pukul itu selalu memenuhi trotoar atau jalan raya menggunakan kendaraannya untuk pulang ke rumah. Seperti pelajar, buruh pabrik, pekerja kantoran, pedagang dan manusia dengan profesi lainnya.

Di pertigaan jalan lampu lintas, berbaris rapi kendaraan bermesin seperti motor, mobil dan angkutan umum. Lampu – lampu kota yang berdiri dengan kokoh di pinggir jalan, mulai memancarkan sinarnya untuk menerangi kegelapan, menggantikan matahari. Seorang pengamen dengan alat musik biola terlihat menghampiri satu persatu kendaraan sembari memainkannya, berharap diberi imbalan. Beberepa orang yang berempati padanya, akan memberi sejumlah uang. Namun tidak sedikit juga orang yang acuh tak acuh padanya.

Gadis bertopi merah dengan dua kepangan rambut di kepalanya dan tas ransel coklat di pundaknya. Ia berkuasa di area pertigaan itu, dan orang – orang yang sering melalui jalan itu akan mengenalnya.

Gadis berumur sembilan tahun yang setiap pukul satu siang akan berdiri dekat tiang lampu memainkan biola tuanya. Ia begitu murah hati selalu menunjukan senyum manis setiap memainkan biola itu hingga sore hari. Semangatnya tak pernah luntur sekalipun beberapa kali menerima makian dari pengendara yang merasa terganggu olehnya.

Selama ini, biola tua itu menjadi penyambung rezeki yang membantu menutupi kekurangan finansial keluarganya. Mempunyai ibu yang bekerja menjadi pencuci keliling dan seorang ayah pengangguran juga pemabuk, membuatnya harus mencari uang tambahan sepulang sekolah. Ia tidak malu dengan pekerjaan sampingannya itu, sekalipun teman – teman sekolahnya tahu. Karena jika malu, dia dan ibunya tidak akan bisa melanjutkan hidup.

“Hei nak, ini mau hujan, kenapa tidak pulang?” tanya seorang laki – laki berumur dua puluh tahun, dari dalam mobil yang berada di depan gadis itu.

Gadis itu mendongakkan kepala ke atas, melihat ke arah langit. Ia tidak menyadari bahwa hari sudah gelap oleh mendung. Namun, uang yang ia dapat hari ini masih sedikit dan tidak cukup untuk membeli sekantong beras. Beras di rumahnya sudah habis sejak dua hari lalu, yang membuatnya harus makan umbi – umbian dari kebun belakang rumah.

Rintik air hujan mulai turun, membasahi wajah gadis itu. Angin yang tadinya berhembus dengan lembut, berubah tempi menjadi cepat dan melebur bersama hujan. Dingin menusuk tubuh kurusnya.

“Nak, masuklah ke dalam mobil mari kuantar pulang,” kata pria itu.

Gadis itu menurunkan pandangannya dan berdiri melamun menatap pria itu. Kemudian, terdengar klakson dibunyikan karena lampu sudah hijau, sedangkan mobil pria itu yang berada di barisan paling depan masih diam di tempatnya.

Dengan panik, pria itu keluar dari mobil dan menarik gadis itu ke dalam mobil yang masih melamun.

Pria itu mulai melajukan mobilnya meninggalkan pertigaan. Dari kaca mobil, pria itu memperhatikan gadis yang masih diam dengan wajah murung di kursi belakang.

“Hei, perkenalkan namaku Raka. Siapa namamu nak?” kata pria bernama Raka itu, membuka obrolan.

“Namaku Lorraine Estelle, dipanggil Ran,” jawab Ran dengan antusias, setelah melupakan sekantong beras yang harus dibelinya. Ia sudah tidak khawatir, dan dalam hati berdoa semoga ayahnya tidak pulang malam ini.

Raka tersenyum melihat Ran yang juga tersenyum. “Okee Ran, panggil aku abang ya,” balasnya.

“Iya bang.”

“Sebelumnya, maaf tadi abang maksa kamu masuk ke mobil. Hari sudah sore dan mendung, anak seusiamu harusnya sudah di rumah. Dunia luar terlalu bahaya Ran.”

“Tidak masalah, aku yang berterimakasih karena abang sudah menolongku.” jawab Ran sembari memperlihatkan senyum manisnya.

Hati Raka terasa sesal, ketika melihat kondisi Ran saat itu. Penampilan yang kotor dan tubuh kurus. Seorang anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari orang tua, harus mencari uang. Dalam hati, ia teringat mendiang adik perempuannya yang sering sakit – sakitan. Padahal adiknya tidak pernah lepas dari perhatian, dan mendapat kehidupan yang baik karena keluarganya berada. Namun dalam kondisi sebaik itu, harus meregang nyawa dan meninggalkannya. Sedangkan anak perempuan yang saat ini bersamanya, harus menghadapi kerasnya dunia di umur sekecil itu. Seberapa banyak sakit yang telah diperoleh gadis itu? Batinnya.

“Ran, sebutkan rumahmu dimana.”

“Di jalan Anggrek Putih, dekat terminal pasar fajar bang, nanti masuk ke gang. Rumahnya di depan persawahan cat warna putih,” jelas Ran.

Mendengar itu, Raka langsung menoleh ke belakang, “Jauh sekali, kamu tadi naik apa?”

“Sekolahku tak jauh dari tempatku mengamen tadi bang. Kalo berangkat sekolah biasanya aku ikut mobil pedagang sayur yang membuka gerai di pinggir jalan dekat perumahan tak jauh dari area sekolahku. Naik angkutan mahal, aku harus berhemat.”

“Begitu ya.. kenapa kamu mengamen? Kalo gak nyaman untu jawab, gak usah dijawab gapapa Ran.”

“Mungkin abang udah nebak, aku harus cari uang. Oh ya, abang kerja kah?” kata Ran mengalihkan pembicaraan.

“Aku kuliah Ran, tahun ini lulus, doain ya,” jawab Raka.

“Kuliah apakah sama dengan sekolah SD?” tanya Ran.

Raka terkekeh mendengar pertanyaan polos dari gadis itu. “Tentu saja! Kamu belajar, mengerjakan PR dan berdiskusi bersama teman – teman. Suatu saat, Ran mau jadi apa?” ujar Raka.

Tanpa berpikir panjang, Ran menjawab dengan antusias, “ Aku ingin jadi seorang penulis novel dan aku ingin keliling dunia, seperti penulis lainnya setelah nanti memiliki banyak uang. Aku ingin mengajak ibu mengunjungi Kanada, tepatnya di Desa Avonlea, tempat dimana Anne tinggal dalam seri novel Lucy Maud Montgomery yang berjudul Anne Of Green Gables.”

Raka kagum pada kefasihan berbicara Ran dan pengetahuan gadis itu. “Sepertinya seru... semoga terkabul Ran, mungkin aku bisa ikut serta dalam petualanganmu?” ujar Raka.

“Tidak. Itu adalah perjalanan romantis yang khusus aku rencanakan bersama ibu. Aku bahkan memberi judul perjalanan kami kelak, yaitu Kepakan Sayap Dua Wanita Yang Mengarungi Samudera,” jelas Ran bersemangat.

Raka tertawa. Baru beberapa menit lalu ia mengenal Ran, ia sudah menyukai gadis itu. Gadis itu memiliki kepribadian yang unik dan menyenangkan. “Ran, apakan kamu memiliki bukunya? Bolehkan aku meminjam buku itu? Sepertinya aku penasaran terhadap isi buku yang kamu bicarakan,” ujarnya.

Ran terlihat murung. “Untuk membeli beras saja sudah kesulitan, bagaimana mungkin aku membeli novel yang harganya ratusan ribu? Tetapi, Tuhan memberiku buku dengan gratis. Aku biasanya membaca di perpustakaan yang terletak di dekat gereja, selesai ibadah bersama ibu. Kadang sepulang dari mengamen, aku akan mampir sebentar dan meminjam buku untuk dibaca di rumah. Ada banyak buku yang aku sukai, aku bisa merekomendasikan ke abang jika mau, atau aku bisa mengantarmu kesana,” jelas Ran.

Raka lega, karena Ran memiliki kegemaran yang bisa membuat gadis itu tersenyum di tengah kepedihannya itu. Gadis yang begitu ceria, pikirnya.

“Ran mau membeli buku – buku itu dan buku lainnya?” tanya Raka.

“Sangat mau! Tapi jika memilih, lebih baik aku membeli beras untuk makan bersama ibu,” jawab Ran.

Raka merasa aneh pada Ran, yang sejak tadi menyebutkan ayahnya sama sekali. “Ran, dimana ayahmu?” tanyanya kemudian.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
raka , tahan kepomu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status