Share

BAB 6 - Ledakan Di Sekolah

Ran berdiri di depan papan tulis untuk menerima pengumpulan tugas dari teman – temannya, seperti pesan si pemberi tugas, yaitu Pak Aksa. Beruntung kelasnya bisa diajak kerjasama dan rata – rata semua sudah menyelesaikan tugas itu tepat waktu. Jadi ia tidak harus keliling kelas menagih  satu persatu, seperti bendahara kelas ketika meminta pembayaran kas.

Kinan yang sudah mengumpulkan lebih dulu karena duduk di sebelah Ran, langsung pulang. Biasanya ia akan pulang bersama Ran dan Sunny, namun sopirnya menjemput lebih awal dikarenakan ada acara keluarga.

“Ran hari ini pulang sama siapa?” tanya Adit, petugas piket yang tengah memegang penghapus papan tulis yang tiba - tiba menghampiri Ran.

Ran menegakkan badannya sembari merapikan tumpukan tugas yang ia bawa. Lalu ia menatap kearah Adit. “Seperti biasa sama Sunny, kenapa Dit?” tanyanya.

“Kalo kamu mau menungguku, mau pulang bareng?”

Ran menengok ke arah jendela kelas, ketika mendengar rintik hujan yang mulai turun. “Sepertinya enggak Dit, naik bus lebih aman dari hujan, maaf,” jawab Ran dengan senyuman.

Adit memasang wajah kecewa. Padahal ia sudah menghabiskan jam istirahat untuk mengumpulkan keberanian dan berlatih dialognya bersama Angga di kamar mandi. Ternyata hasil yang ia dapat, tidak sesuai harapannya.

Karena tidak mendapat respon dari Adit, Ran berkata, “Aku kumpulin ini dulu ya, see u.”

Aditmenatap kearah Ran dengan panik. Ingin sekali ia membujuk gadis itu, namun Ran terlalu cepat pergi dari pandangannya. Jadi, ia hanya melambaikan tangannya ke Ran dengan lemas.

Ran berjalan melewati koridor dengan hati – hati, karena lantai yang licin. Hujan sangat deras, hingga ketika menyentuh benda padat percikannya akan mengenai lantai. Jika tidak hati – hati ia akan terpeleset, dan membuat harinya genap dengan kesialan. Tidak masalah jika ia terpeleset sendiri, hanya saja sekarang ia sedang membawa tugas untuk dikumpulkan. Dan ia harus mengantarkan tugas itu dengan selamat.

Ran mengambil jalur ke kelas Sunny agar nanti, setelah mengumpulkan tugas yang ia bawa mereka bisa langsung pulang. Hari juga sudah gelap, akibat mendung.

Sesampainya di kelas Sunny, Ran bertanya pada Anggi sepupu dari Angga, ketua kelasnya. Satu - satunya orang yang Ran kenal di kelas itu, selain Sunny.

“Tau Sunny?” tanya Ran.

Anggi yang mendengar nama Sunny disebutkan langsung menggeleng. “Maaf Ran aku buru – buru, bye,” katanya.

Belum sempat Ran membalas perkataan Anggi barusan, Anggi sudah tidak terlihat di kelas itu. Ran menghembuskan nafasnya dengan putus asa. Ia mengedarkan pandangan berusaha mencari Sunny di kelas itu, namun tidak ada. Kemudian ia berjalan meninggalkan kelas itu, berpikir mungkin Sunny sudah pulang lebih dahulu.

Di perjalanan menuju ruang guru, Ran melamun memikirkan betapa anehnya orang – orang di kelas itu. Setiap Ran kesana untuk menjemput Sunny, pasti penghuni kelas itu akan menatapnya dengan tatapan ambigu. Sunny juga terlihat selalu sendiri. Ketika di kantin, pada jam olahrga tidak memiliki pasangan, ataupun saat ke kamar mandi. Berbeda dengan laki - laki, perempuan akan cenderung berkelompok, atau punya seorang teman untuk ditemani berjalan. Ia sempat merasa bahwa Sunny memang tidak mempunyai teman dikelasnya. Namun ketika memikirkannya lagi, Sunny adalah anak ceria dan mudah bergaul, sangat tidak mungkin tidak bisa berbaur di kelasnya.

Pikiran buruk mulai datang satu persatu, membuat Ran khawatir. Dengan cepat ia menepis semua pikiran itu, dan akan memastikan lebih dulu pada Sunny sebelum menyimpulkan. Jika Sunny memang ada masalah, dia akan membantu mencari solusinya.

Ran sampai di ruang guru. Ternyata ruang guru sudah sepi, karena para guru bergegas untuk pulang akibat hujan lebat sore itu.

Ran langsung menuju meja kerja Pak Aksa. Tak disangkanya, Pak Aksa masih ada di tempatnya dalam keadaan tidur. Ia kira Pak Aksa juga sudah pulang, jadi mereka tidak harus bertemu, mengingat kejadian pagi tadi yang sangat memalukan.

Ran menarik napas panjang dan menahannya. Ia letakan tugas – tugas yang ia bawa dengan hati – hati di meja, tanpa menimbulkan suara agar Pak Aksa tidak terbangun. Ia berpikir mereka tidak harus berinteraksi jika dia langsung pergi, setelah meletakkan tugas itu.

“Sudah di cek lagi?” ujar Pak Aksa.

Mendengar suara itu, Ran tersentak hingga membuat tumpukan tugas yang ia bawa tercecer di lantai. Ia pun segera berjongkok dan memungut tugas – tugas itu. Dalam hatinya, ia merutuki diri sendiri, bahwa dirinya benar – benar bodoh. Namun dia kesal pada Pak Aksa, bagaimana pria tua itu bisa menyadari keberadaannya?

Pak Aksa tidak mengomentari kejadian barusan, hanya diam memperhatikan Ran yang gelagapan.

“Semua sudah saya periksa Pak, maaf saya membangunkan bapak,” balas Ran sembari mengulurkan tumpukan tugas itu.

“Baik, terimakasih.”

DUARRR!

Terdengar suara ledakan yang begitu besar dari arah luar. Seketika listrik di ruang guru mati, dan ruangan menjadi gelap. Ran panik, pandangannya tidak dapat melihat apapun. Tubuhnya bergetar. Ia mempunyai phobia dengan kegelapan akibat trauma masa kecilnya.

“Jangan panik, ikuti saya,” kata Pak Aksa, sembari meraih tangan Ran dengan lembut.

Ran mengangguk dan mengulurkan tangannya yang satu untuk menggenggam lengan Pak Aksa.

Mereka berjalan hati – hati melewati bilik meja kerja ruang guru agar tidak tersandung. Hingga beberapa saat setelahnya, mereka mencapai pintu keluar. Barulah sekarang pandangan Ran mulai kembali jelas. Namun suasana sore itu terlihat mencekam akibat mendung, apalagi penerangan di sekolah padam. Perasaan Ran mulai tidak enak, ia merasa sedang syuting film horor.

Dari arah lapangan terlihat satpam sekolah yang berlari tergopoh – gopoh kehujanan ke arah gudang sekolah.

“Ran, sepertinya saya harus membantu satpam itu, sepertinya ada masalah dengan listrik—“

Sebelum menyelesaikan kalimat itu, Ran memotong tanpa memikirkan sopan santun terhadap orang yang saat ini di hadapinya. “Te-rimakasih, saya pulang dulu,” ujar Ran lirih sembari melepaskan tangan Pak Aksa.

Ran berjalan meninggalkan Pak Aksa dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih bergetar ketakutan. Jika merasakan momen sore itu, Ran jadi teringat kenangan masa kecil yang paling dia benci. Bahkan Ran sempat berharap untuk mati atau lupa ingatan, agar kenangan itu tidak menghantuinya lagi. Keadaannya sama persis. Hujan, gelap, dan guntur. Kejadian yang mengubah musim paling disukainya menjadi musim paling ia benci.

Beberapa saat berjalan meninggalkan Pak Aksa, pandangan Ran menjadi sangat gelap. Tubuh Ran yang terkena angin terasa begitu ringan seakan ia dibawa terbang.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
kenapa ran kamu kenapa ran
goodnovel comment avatar
Aster Chronos
Hai makasih udah mampir
goodnovel comment avatar
Argina Ayu
novelnya sangat bagus...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status