Ran berdiri di depan papan tulis untuk menerima pengumpulan tugas dari teman – temannya, seperti pesan si pemberi tugas, yaitu Pak Aksa. Beruntung kelasnya bisa diajak kerjasama dan rata – rata semua sudah menyelesaikan tugas itu tepat waktu. Jadi ia tidak harus keliling kelas menagih satu persatu, seperti bendahara kelas ketika meminta pembayaran kas.
Kinan yang sudah mengumpulkan lebih dulu karena duduk di sebelah Ran, langsung pulang. Biasanya ia akan pulang bersama Ran dan Sunny, namun sopirnya menjemput lebih awal dikarenakan ada acara keluarga.
“Ran hari ini pulang sama siapa?” tanya Adit, petugas piket yang tengah memegang penghapus papan tulis yang tiba - tiba menghampiri Ran.
Ran menegakkan badannya sembari merapikan tumpukan tugas yang ia bawa. Lalu ia menatap kearah Adit. “Seperti biasa sama Sunny, kenapa Dit?” tanyanya.
“Kalo kamu mau menungguku, mau pulang bareng?”
Ran menengok ke arah jendela kelas, ketika mendengar rintik hujan yang mulai turun. “Sepertinya enggak Dit, naik bus lebih aman dari hujan, maaf,” jawab Ran dengan senyuman.
Adit memasang wajah kecewa. Padahal ia sudah menghabiskan jam istirahat untuk mengumpulkan keberanian dan berlatih dialognya bersama Angga di kamar mandi. Ternyata hasil yang ia dapat, tidak sesuai harapannya.
Karena tidak mendapat respon dari Adit, Ran berkata, “Aku kumpulin ini dulu ya, see u.”
Aditmenatap kearah Ran dengan panik. Ingin sekali ia membujuk gadis itu, namun Ran terlalu cepat pergi dari pandangannya. Jadi, ia hanya melambaikan tangannya ke Ran dengan lemas.
Ran berjalan melewati koridor dengan hati – hati, karena lantai yang licin. Hujan sangat deras, hingga ketika menyentuh benda padat percikannya akan mengenai lantai. Jika tidak hati – hati ia akan terpeleset, dan membuat harinya genap dengan kesialan. Tidak masalah jika ia terpeleset sendiri, hanya saja sekarang ia sedang membawa tugas untuk dikumpulkan. Dan ia harus mengantarkan tugas itu dengan selamat.
Ran mengambil jalur ke kelas Sunny agar nanti, setelah mengumpulkan tugas yang ia bawa mereka bisa langsung pulang. Hari juga sudah gelap, akibat mendung.
Sesampainya di kelas Sunny, Ran bertanya pada Anggi sepupu dari Angga, ketua kelasnya. Satu - satunya orang yang Ran kenal di kelas itu, selain Sunny.
“Tau Sunny?” tanya Ran.
Anggi yang mendengar nama Sunny disebutkan langsung menggeleng. “Maaf Ran aku buru – buru, bye,” katanya.
Belum sempat Ran membalas perkataan Anggi barusan, Anggi sudah tidak terlihat di kelas itu. Ran menghembuskan nafasnya dengan putus asa. Ia mengedarkan pandangan berusaha mencari Sunny di kelas itu, namun tidak ada. Kemudian ia berjalan meninggalkan kelas itu, berpikir mungkin Sunny sudah pulang lebih dahulu.
Di perjalanan menuju ruang guru, Ran melamun memikirkan betapa anehnya orang – orang di kelas itu. Setiap Ran kesana untuk menjemput Sunny, pasti penghuni kelas itu akan menatapnya dengan tatapan ambigu. Sunny juga terlihat selalu sendiri. Ketika di kantin, pada jam olahrga tidak memiliki pasangan, ataupun saat ke kamar mandi. Berbeda dengan laki - laki, perempuan akan cenderung berkelompok, atau punya seorang teman untuk ditemani berjalan. Ia sempat merasa bahwa Sunny memang tidak mempunyai teman dikelasnya. Namun ketika memikirkannya lagi, Sunny adalah anak ceria dan mudah bergaul, sangat tidak mungkin tidak bisa berbaur di kelasnya.
Pikiran buruk mulai datang satu persatu, membuat Ran khawatir. Dengan cepat ia menepis semua pikiran itu, dan akan memastikan lebih dulu pada Sunny sebelum menyimpulkan. Jika Sunny memang ada masalah, dia akan membantu mencari solusinya.
Ran sampai di ruang guru. Ternyata ruang guru sudah sepi, karena para guru bergegas untuk pulang akibat hujan lebat sore itu.
Ran langsung menuju meja kerja Pak Aksa. Tak disangkanya, Pak Aksa masih ada di tempatnya dalam keadaan tidur. Ia kira Pak Aksa juga sudah pulang, jadi mereka tidak harus bertemu, mengingat kejadian pagi tadi yang sangat memalukan.
Ran menarik napas panjang dan menahannya. Ia letakan tugas – tugas yang ia bawa dengan hati – hati di meja, tanpa menimbulkan suara agar Pak Aksa tidak terbangun. Ia berpikir mereka tidak harus berinteraksi jika dia langsung pergi, setelah meletakkan tugas itu.
“Sudah di cek lagi?” ujar Pak Aksa.
Mendengar suara itu, Ran tersentak hingga membuat tumpukan tugas yang ia bawa tercecer di lantai. Ia pun segera berjongkok dan memungut tugas – tugas itu. Dalam hatinya, ia merutuki diri sendiri, bahwa dirinya benar – benar bodoh. Namun dia kesal pada Pak Aksa, bagaimana pria tua itu bisa menyadari keberadaannya?
Pak Aksa tidak mengomentari kejadian barusan, hanya diam memperhatikan Ran yang gelagapan.
“Semua sudah saya periksa Pak, maaf saya membangunkan bapak,” balas Ran sembari mengulurkan tumpukan tugas itu.
“Baik, terimakasih.”
DUARRR!
Terdengar suara ledakan yang begitu besar dari arah luar. Seketika listrik di ruang guru mati, dan ruangan menjadi gelap. Ran panik, pandangannya tidak dapat melihat apapun. Tubuhnya bergetar. Ia mempunyai phobia dengan kegelapan akibat trauma masa kecilnya.
“Jangan panik, ikuti saya,” kata Pak Aksa, sembari meraih tangan Ran dengan lembut.
Ran mengangguk dan mengulurkan tangannya yang satu untuk menggenggam lengan Pak Aksa.
Mereka berjalan hati – hati melewati bilik meja kerja ruang guru agar tidak tersandung. Hingga beberapa saat setelahnya, mereka mencapai pintu keluar. Barulah sekarang pandangan Ran mulai kembali jelas. Namun suasana sore itu terlihat mencekam akibat mendung, apalagi penerangan di sekolah padam. Perasaan Ran mulai tidak enak, ia merasa sedang syuting film horor.
Dari arah lapangan terlihat satpam sekolah yang berlari tergopoh – gopoh kehujanan ke arah gudang sekolah.
“Ran, sepertinya saya harus membantu satpam itu, sepertinya ada masalah dengan listrik—“
Sebelum menyelesaikan kalimat itu, Ran memotong tanpa memikirkan sopan santun terhadap orang yang saat ini di hadapinya. “Te-rimakasih, saya pulang dulu,” ujar Ran lirih sembari melepaskan tangan Pak Aksa.
Ran berjalan meninggalkan Pak Aksa dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih bergetar ketakutan. Jika merasakan momen sore itu, Ran jadi teringat kenangan masa kecil yang paling dia benci. Bahkan Ran sempat berharap untuk mati atau lupa ingatan, agar kenangan itu tidak menghantuinya lagi. Keadaannya sama persis. Hujan, gelap, dan guntur. Kejadian yang mengubah musim paling disukainya menjadi musim paling ia benci.
Beberapa saat berjalan meninggalkan Pak Aksa, pandangan Ran menjadi sangat gelap. Tubuh Ran yang terkena angin terasa begitu ringan seakan ia dibawa terbang.
***
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un