Senja baru saja menerima panggilan telepon dari ibunya. Ia menanyakan keadaannya dan bagaimana malam pertamanya. Tentu saja Senja malu, walau pun ia dan sang Ibu sangat dekat tapi untuk menceritakan tentang malam krusial tersebut ada kecanggungan tersendiri. Ibunya juga menanyakan Surya, bahkan meminta untuk disambungkan dengannya.
"Ibu! Kita habis ngelakuin lagi dan Mas Surya sedang mandi sekarang." Dengan alasan itu, Ibu akhirnya menyudahi panggilan. Membuat Senja sedikit lega. Ia tidak mungkin mengatakan apa yang sedang terjadi, bahwa Surya meninggalkannya sendiri untuk sebuah perjalanan bisnis selama sebulan. "Apa yang akan kukatakan nanti pada mereka jika mereka tahu aku pulang sendirian ke Indonesia?" gundah Senja. Surya pernah mengatakan, sepulang mereka dari bulan madu, ia akan langsung memboyong Senja ke rumah baru. Tapi Senja belum diberitahu di mana letak rumah yang dihadiahkan Surya untuknya. Suaminya itu masih saja belum bisa dihubungi. "Setidaknya, pamitlah, Mas. Aku ini istrimu." Senja tidak lagi berselera menyantap sarapan yang diantarkan pihak hotel. Hatinya masih diselimuti kemarahan akan tindakan Surya. Ingin rasanya ia pulang lalu memeluk Ibunya dan menangis. Tapi, Senja sadar, ia sudah berkeluarga sekarang. Senja bukan lagi tanggungan kedua orang tuanya. Ini masalahnya dengan Surya dan ia tidak ingin membuat hati Ayah dan Ibunya bersedih. "Kau tega, Mas! Kenapa tidak membawaku serta?" gugu Senja. Ia menangis sepanjang malam, mengabaikan panggilan dari Kelam yang menyuruhnya turun ke lobi. Wanita itu ingin mengajaknya makan malam sebelum keberangkatannya ke Prada. "Ah! Jam berapa Mbak Kelam berangkat ya?" Senja menyeka air mata. Mengingat wanita cantik nan baik itu, ia pun memutuskan untuk meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk panggilan itu terangkat. "Oh! Kau, Senja ..." Senja mengernyit. Nada suara Kelam terdengar berat, napasnya memburu. "Bisakah kau meneleponku lagi nanti? Aku ..." Senja tercekat. Bulu kuduknya meremang. Suara geraman pria, napas berat Kelam, derit ranjang, semuanya menampar kesadarannya. Ia buru-buru menutup telepon, wajahnya merah padam. "Jadi, kau sudah memutuskan untuk menerimanya kembali, Mbak?" Senja meletakan ponsel di atas meja, mungkin ia akan mencoba sarapan sembari menunggu kegiatan panas Kelam dan kekasihnya selesai. Setidaknya hari ini, apabila Kelam sibuk, ia harus berpamitan lewat telepon. Wanita itu sudah sudi meluangkan waktu untuk menemaninya kemaren. Meninggalkan kekasihnya sendirian di kamar hotel untuk menghiburnya. "Aku membayangkan setelah malam pertama kita, kau akan membuatkanku pancake, Mas." Akhirnya satu suapan terlahap. Yang ia inginkan adalah pancake buatan Surya. Surya sudah berjanji, mereka akan sarapan pancake sepiring berdua selepas ritual malam pertama. Alih-alih sarapan bersama, Senja justru memesan melalui pelayanan hotel, sepiring pancake dengan saus madu untuk dimakan seorang diri. "Kau berbohong, Mas!" Tiga puluh menit adalah waktu yang ia butuhkan untuk sarapan, tiga puluh menit kemudian ia berberes dapur. Setelahnya, ia meraih remote dan menyalakan televisi, sebuah tayangan telenovela tersaji. Walau pun Senja tidak mengerti apa yang mereka ceritakan, ia tetap mengamati. Hingga ponselnya berbunyi. "Senja, maafkan aku, kami sibuk tadi. Dia bilang latihan ranjang sebelum penerbangan akan membuatnya kembali bersemangat. Dan ia sangat panas! Aku menyukainya! Sekarang, kemarilah! Aku di lantai lima nomor 135, kami berangkat pukul satu siang nanti!" Jam satu? Itu berarti dua jam lagi! Senja bergegas keluar suite. Ia menyambar sweater abu-abu dan membawa ponselnya, setengah berlari menuju lift. "Aku akan minta Mas Dirga untuk membawaku ke rumah Mbak Kelam kapan-kapan. Beruntung sekali, aku bertemu dengannya!" Senja tersenyum, ia mendekap ponselnya. Entah kenapa dengan mengingat wanita itu, hatinya sedikit terasa ringan. Cara Kelam berbicara dan menghiburnya mengingatkan Senja akan sang Ibu. Ia merasa nyaman dan terlindungi. "Kita harus sering bertemu Mbak, jika sudah pulang ke Indonesia." Tring! Lantai lima, pintu lift pun terbuka. Senja segera berlari menyusuri lorong panjang. Esmeralda hotel cukup luas dan tinggi menjulang. Terdiri dari dua gedung yang masing-masing gedung memiliki enam lantai. Rooftops memayungi puncak dari dua gedung tersebut, dengan taman terbangun di atasnya. Lantai lima gedung sayap kanan memiliki lima belas unit kamar dengan dua kamar di ujung belokan. Kelam mengatakan, kamarnya berada di area belokan tersebut. Dua kamar itu sengaja di tempatkan terpisah dari ke tiga belas unit lainnya karena ukuran kamar yang lebih luas. Senja mempercepat langkah ketika mendapati belokan. Lorong terlihat sepi, Senja mengira ia tidak akan mendapati siapa pun yang akan menghalangi langkahnya, namun ... Bruk! Tubuh mungilnya menabrak bahu sesosok tubuh tegap, ia jatuh terduduk. Ponsel yang ia genggam terpental ke sisi kanan dari posisinya jatuh. Senja merangkak mengambil ponsel lalu netranya bertemu pandang dengan sepasang sepatu sport berwarna merah. Senja mengira sosok yang bertabrakan dengannya akan mengulurkan tangan, membantunya berdiri lalu meminta maaf. Akan tetapi tidak. Bukannya menolong, pria itu bahkan tidak menoleh. Langkahnya mantap menjauh, seolah Senja tak lebih dari angin. Senja sungguh tak percaya, ia menoleh dan berteriak nyaring, "Hei! Pria brengsek!" Sayang, pria berambut ikal itu enggan berhenti. Ini membuat Senja marah, ia segera berdiri lalu mengumpati si pria dengan kata-kata kasar dalam bahasa latin yang ia ketahui. Ceklek! "Hei, hei! Ada apa Senja?" Kelam muncul dari balik pintu salah satu unit, di sisi kanan tubuhnya. Sepertinya suara umpatannya terdengar hingga ke dalam kamar yang ditempati Kelam. "Itu lho Mbak, si rambut ikal sialan! Menabrakku tapi tidak mau bertanggung jawab! Meminta maaf kek! Atau sekedar membantuku berdiri, mungkin?" Kelam terdiam beberapa saat, raut wajahnya terlihat aneh di mata Senja. Namun wanita itu buru-buru merubah ekspresinya dan berucap, "Oh, kau bertemu D?" "D? Siapa?" Kali ini giliran Kelam yang mengamati wajah Senja, seolah memastikan sesuatu. "D, kekasihku! Rambut ikal, tubuh tinggi tegap, kulit sawo matang dan ..." Kelam sengaja menggantung ucapannya, ia sedang menunggu reaksi dari Senja. "Ya seperti itu, mungkin? Aku tidak lihat wajahnya, Mbak. Dia keburu pergi, cuman kelihatan punggung dan rambut ikalnya saja!" Kelam pun bernapas lega, ia mengambil tangan Senja dan membawanya masuk. Kelam berkata, "Iya, itu D. Dia memakai ...' "Sepatu sport merah!" serempak keduanya. Menyadari kekompakan itu mereka pun tertawa. "Itu sepatu yang kubelikan untuknya. Handmade, aku memesannya khusus!" Senja mengekori Kelam dari belakang. Ia mengamati sekeliling kamar. Masih beruntung dirinya yang menempati kamar termewah di hotel berbintang lima ini. Surya memesannya untuk seminggu sebelum rencana bulan madu mereka akan berlanjut ke Swiss. Tapi kini, semua rencana itu lenyap bersamaan dengan menghilangnya sang Surya. Berbeda dengan Kelam. Kelam mengatakan padanya bahwa sang kekasih akan mengajaknya ke Prada sebagai bentuk permintaan maaf. "Mbak, wanita itu?" "Ya? Siapa?" Senja berdiri mengamati Kelam yang sedang sibuk membariskan ketiga kopernya di sudut pojok dekat dengan kamar mandi. "Yang tidur dengan kekasihmu D." Kelam masuk ke ruang tidur lalu keluar lagi dengan membawa tas jinjingnya, menempatkan di atas salah satu koper. "Ada apa dengannya?" "Kau mengusirnya dari sini?" Senja meraih tangan Kelam dan menuntunnya untuk duduk di sofa setelah memastikan Kelam tidak lagi sibuk. “Oh, aku lupa bilang—wanita itu... dia tinggal satu unit denganmu, di lantai enam.” Senja membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. "Satu unit denganku?" batinnya. Tangan mungilnya menggenggam sandaran sofa erat-erat. Apakah ia pernah melihat wanita itu? Atau jangan-jangan wanita itu juga pernah melihatnya?Ciuman mereka dalam dan intens, napas keduanya tersengal. Arya mendorong tubuh Senja perlahan hingga terbaring, matanya membara penuh hasrat.“Mas… pakaianku basah,” rajuk Senja, tubuhnya gemetar saat duduk di ranjang, mencoba melepas cardigannya.“Biar Mas bantu, ya?” tawar Arya, dan Senja mengangguk.Perlahan, Arya menurunkan resleting dress Senja di punggungnya, sementara Senja mengangkatnya sebatas dada, membiarkannya meluncur melewati kepala. Dingin hujan masih menempel di kulitnya, membuat sensasi sentuhan Arya terasa lebih menggetarkan."Mas Arya… gak lepas kaos? Basah itu…” Pipi Senja semakin memerah saat Arya menatap tubuhnya yang nyaris telanjang, hanya dibatasi pakaian dalam yang basah kuyup karena hujan.Tanpa menunggu diperintah dua kali, Arya menegakkan badannya dan mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu. Kaos, celana jeans, lalu sepatu. Senja mengamati setiap gerakan Arya sambil melepas flat shoes-nya sendiri yang sedikit kemasukan air hujan masuk, membuat kakinya
"Kamu bawa jas hujan?" Arya menoleh ke samping, matanya menatap Senja yang menggeleng lesu. Hujan deras menimpa trotoar ruko yang tertutup rapat, tetesan air membentuk genangan kecil di kaki mereka."Kalau kita menunggu, bakalan sampai malam ini," katanya sambil menepuk lembut bahu Senja. "Mas beliin kamu jas hujan dulu ya?"Arya sudah bersiap melangkah ke jalan, tapi tangannya ditahan Senja. "Rumahku dekat, Mas. Sekalian saja hujan-hujanan," katanya, nada suaranya lembut tapi ada tantangan kecil di ujung kata.Arya mengamati ekspresi wajah Senja, bibirnya tersenyum ceria, mata berbinar. Sepertinya wanita itu memang menantikan momen ini."Sudah lama juga tidak main hujan-hujanan..." cengir Senja."Tapi kau bisa sakit, pendek..."Panggilan dari Arya membuat mereka saling bersitatap. Diam sejenak, mata mereka saling menyelami, seolah membaca isi hati masing-masing. Degup jantung Senja berdentum kencang dan ia yakin Arya merasakan hal yang sama. Ada dorongan kuat untuk saling mencium, na
[Aku mungkin tidak akan pulang malam ini]Pesan dari Mia muncul di layar. Senja mengerjab, ia segera mengetik balasan:[Jadi, itu bukan pertemuan bisnis? Kau bermalam dengan seorang pria?]Tulisan "Mia sedang mengetik..." berdenyut di layar. Senja menatapnya tanpa berkedip, jari-jarinya dingin, rasa tidak sabar menggerogoti dadanya.Terbersit keraguan di hati Senja. Apakah Surya dan Mia sungguh-sungguh sudah berakhir? Rasanya aneh ketika Surya justru meminta mantan kekasihnya untuk menjaganya, seolah tak ada orang lain yang bisa ia percayai. Terlebih, Surya tak pernah jujur bercerita tentang Mia padanya, seakan ada sesuatu yang disembunyikan.Tiba-tiba, ingatan malam pertama itu menyelinap. Pengakuan Surya mengenai seorang gadis yang diajaknya bercinta untuk pertama kali. Senja menahan napas. Jangan-jangan… gadis itu adalah Mia?[Hahaha… Kau benar-benar ingin tahu, Senja? Baiklah, akan kujawab. Ya, aku seorang petualang cinta. Aku bebas, dan aku menikmatinya. Kami bertemu di sebuah pe
"Senja…?"Tubuh Senja membeku. Napasnya tersendat saat menoleh ke belakang, ke arah suara itu. Arya berdiri di sana, senyum hangatnya mengembang -senyum yang mengingatkannya pada hari itu di hotel Esmeralda, saat tubuh mereka nyaris menyatu, hampir menembus batas yang tak seharusnya."Ma… Mas Arya…?" Suaranya gugup, hampir tak terdengar."Kau sudah di sini? Di Bogor?"Senja tidak menjawab. Pipinya memerah saat matanya menatap Arya, wajahnya terasa begitu tampan dari jarak dekat. Degup jantungnya meningkat. Bayangan ciuman mereka di hotel Esmeralda kembali melintas, setiap sentuhan Arya masih terasa di kulitnya.Senja menelan ludah, bibir bawahnya tergigit, dan pandangannya tak sengaja menelusuri lekuk tubuh kekar Arya yang terbalut kaos ketat. Ada getar yang menegangkan di perutnya, hangat dan sulit diabaikan."Jadi, kau sudah menemukan si Surya?"Suara lain memecah lamunan Senja. Perlahan, pandangannya bergeser dari lengan berotot Arya ke sosok wanita yang berdiri di sampingnya."Mba
[Aku sudah mendarat di Indonesia sejak dua hari yang lalu, temui aku di hotel yang biasa, aku sangat menginginkanmu. Jangan khawatir, ini bukan bagian dari imbalan]Mia mengerjab membaca pesan chat dari Surya yang masuk. Senyumnya mengembang membentuk sebuah seringai. Kebetulan sekali ia sedang membutuhkan kehangatan. Alih-alih Surya menghubungi istrinya setibanya ia di Jakarta, pria itu justru memilih bersembunyi selama dua hari lalu menghubunginya untuk sebuah ranjang panas. Padahal ia sudah bersiap dengan pakaian kasualnya untuk berkeliling Bogor di pagi mendung dengan mengendarai Vespa bersama Senja. Haruskah ia membatalkannya?[Aku ke sana agak siangan, kami akan berburu kuliner terlebih dahulu. Kau gila S! Pagi-pagi sudah minta begituan! Di mana Mawar? Kenapa tidak minta pada istri pertamamu?]Mia mengirimkan balasan. Ia dan Surya berbagi satu nomor rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun, baik Senja atau Mawar. Ini ide Surya semenjak malam pesta mereka di Roma.[Kami sempa
"Aku akan menetap di Bogor untuk sementara..."Senja menoleh, ia melihat Mia menatap langit senja dengan mata berkaca-kaca. Wanita cantik itu menyusulnya ke lantai dua usai sarapan, meminta maaf kepadanya karena telah membuatnya tersinggung."Itu hakmu untuk tidak percaya pada apa yang kuutarakan," ucap Mia, suaranya pelan namun sarat makna. "Hanya satu pesanku: jangan terlalu menggantungkan hidup pada Surya. Sayangi dirimu sendiri. Kadang, melepaskan di saat kau begitu mendamba justru satu-satunya cara untuk membebaskanmu.""Aku akan membuktikannya sendiri, Mia. Aku yakin Mas Surya mencintaiku. Dan si Mawar itu... pasti hanya masa lalunya, seperti dirimu."Keduanya duduk bersisian di balkon lantai dua, menikmati senja yang kian memerah. Meski seharian telah berbagi pikiran, Senja tahu Mia tidak sepenuhnya terbuka. Ada kabut misteri yang masih menyelimuti wanita itu, seolah ia menyembunyikan sesuatu yang berat."Baiklah! Tapi saranku, lihat situasi. Jika Surya pulang seorang diri, jan