Share

Sweet Revenge
Sweet Revenge
Penulis: Edelweiss

Awal Duka Part 1

"Tidak! Anakku bukan pembunuh! Kalian jangan asal menuduh!" teriak ibu paruh baya yang menghalangi beberapa aparat kepolisian untuk membawa putrinya.

"Mohon bantuannya, Bu! Kami membawa anak Ibu karena adanya surat perintah. Jadi, tolong jangan buat kami bertindak kasar," ucap salah satu seorang yang berpakaian polisi.

"Tidak! Jangan bawa anakku, jangaaan!" 

Tanpa menghiraukan teriakan Santi, polisi membawa wanita yang hanya diam membisu dengan tatapan yang kosong. Sedangkan, di balik kamar, seorang anak berusia sepuluh tahun menggigil ketakutan.

"Apapun yang terjadi dan kamu dengar, cukup diam di kamarmu. Kamu mengerti?" 

"Ibuuuu, a-apa Ibu akan pergi?"

"Cukup dengarkan apa yang Ibu bilang, kamu mengerti?" 

"I-iya, Bu," jawab anak itu menangis tersedu.

"Jangan menangis! Kamu harus ingat, hidup itu keras, maka kamu juga harus lebih keras. Jangan biarkan dunia menginjakmu, tetapi jadikanlah dunia budakmu." ucapan Lisa Ibunya masih terngiang di telinganya, sebelum para manusia kejam itu membawa pergi ibunya.

"Atas perbuatan yang telah dilakukan oleh saudari lisa, maka pengadilan memberikan hukuman mati." Tok tok tok, tiga ketukan palu telah merubah takdir seseorang. 

Seseorang yang telah direnggut masa mudanya, membuatnya harus dewasa sebelum waktunya.

Setelah keputusan itu, semuanya berubah drastis. Kehidupan yang dirasakan Arini sekarang, harus berbanding terbalik dengan kehidupannya dulu bersama ibunya. Sekarang wanita yang dicintainya harus mendekam dipenjara untuk seumur hidup. Entahlah seumurannya sekarang dia sudah mengerti dengan hukum. Mengerti tidak mengerti, hanya saja bias dari hukuman itu berpengaruh besar untuk hidupnya.

"Rini sayang, ayo siap-siap. Nenek akan antar kamu kesekolah," ucap Santi membawakan tas Arini.

Sudah berapa kali neneknya memanggil, gadis yang masih menduduki bangku kelas lima SD itu hanya diam membisu di kamarnya. Kejadian demi kejadian yang menimpanya beberapa hari ini seperti berputar ulang di kepalanya.

Menatap sebuah foto yang berada di tangannya, air matanya kembali mengalir di pipi mungilnya. Terisak, memeluk kedua lutut memanggil nama ibu yang sekarang sudah berpisah jauh dengannya. Hal yang paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang kita tau di mana keberadaanya, tetapi tidak bisa untuk saling menyapa.

Tuk! Bunyi suara kontak lampu. Menghelas napas pelan, Nenek Arini menghampiri cucu semata wayangnya itu. Mengusap kepala sang cucu, neneknya berujar lirih, "Kamu harus kuat Sayang, kamu harus kuat." Memeluk Arini, neneknya pun ikut menangis.

Beban hidup yang harus mereka tanggung sangat terlalu berat. Nenek Arini tidak menyangka ini semua akan terjadi pada keluarga kecilnya. Putri yang hanya dia miliki satu-satunya harus mendekam di penjara karena kesalahan yang tidak sepenuhnya dia lakukan. Namun, mengapa tidak ada orang yang peduli pada mereka. Kenapa orang-orang langsung menjatuhkan hukuman pada putrinya?

"Nek?"

"Iya, Sayang, kenapa?" jawab nenek bertanya setelah menghapus air matanya.

"Aku tidak mau sekolah lagi," ujar Arini mengiba pada Neneknya.

"Loh, kenapa, Sayang?"

"Aku nggak kuat diejek teman-teman sekolah, Nek. Mereka bilang aku anak pembunuh, huhuhu." Seketika tubuh Santi menegang mendengar penuturan cucunya. 

Kenapa? Kenapa dia tidak terpikirkan kesana? Kalau, cucunya akan jadi bahan ejekan teman-temannya. Sedangkan, dia tahu kalau para tetangga juga menudingnya sebagai ibu pembunuh. 

Hati Nenek Arini terenyuh pilu, mengapa harus anak sekecil cucunya yang harus mengalami ini semua. Bagaimana mungkin bisa, cucunya harus melewati ini semua. Jika memang benar anaknya melakukan kejahatan, kenapa harus keluarga yang menjadi korban bulian dari mulut orang-orang yang tidak tahu gimana kejadiannya.

Apa mereka tidak berpikir, jika yang mereka buli akan terkena beban mental. Apa mereka tidak berpikir kalau ini terjadi pada keluarga mereka sendiri. Itulah hukum alam yang sampai sekarang tidak akan pernah berubah sedikitpun. Mereka yang merasa dirinya selalu benar, lalu tanpa memikirkan perasaan orang lain dengan mudahnya menindas dengan kesalahan. 

"Jika kamu tidak sekolah, bagaimana kamu akan belajar Sayang?" tanya Santi mengusap kepala Arini.

"Aku nggak mau sekolah, Nek! Gimana aku belajar kalau pikiranku dipenuhi dengan omongan jelek mereka tentang ibu," tutur Arini menatap sendu Nenek.

Benar! Bagaimana mungkin Arini  bisa belajar kalau dia selalu diejek teman-temanya. Nenekpun diam memikirkan sesuatu yang harus dia pertimbangkan untuk masa depan cucunya seperti keinginan putrinya sebelum berpisah.

"Lakukan apapun untuk masa depan Arini, Bu. Aku sudah menyiapkan semuanya, tabunganku, depositoku, semuanya atas nama Arini. Ibu, berjanjilah untuk mendidiknya dengan keras. Jadikan dia seorang jaksa atau pengacara. Buatlah dia untuk menaklukan dunia," ujar Lisa pada Ibunya waktu di penjara.

"Lisa, kamu pasti akan bebas, Nak. Ibu akan jual semua aset-aset kita untuk menebusmu," tutur Ibunya menggenggam kedua tangan Lisa.

"Tidak, Bu! Ibu tidak tahu dengan siapa kita berurusan. Jangan buang uang hanya untuk sesuatu yang tidak jelas. Hal yang lebih penting sekarang, jadikan putriku orang sukses, Bu. Buat dia membalaskan dendam Ibunya ini," ujar Lisa kesal dengan nafas berburu. Namun, senyum puas terpampang jelas di wajahnya. 

"Lisa."

"Satu lagi, Bu. Jangan pernah bawa Arini bertemu denganku. Tanamkan rasa dendam dihatinya, untuk membalas perbuatan mereka padaku, Bu. Berjanjilah!" dengan tatapan penuh benci, Lisa memohon pada Ibunya.

"Baiklah, jika itu yang kamu mau, Nak. Akan Ibu wujudkan, itulah janjiku padamu."

  

Dengan seringai menakutkan, Lisa meninggalkan Ibunya kembali ketahanan dimana pengadilan menjatuhkan hukuman padanya.

"Nenek," lamunan Nenek Arini buyar ketika cucunya membelai mesra pipinya. "Nenek, kenapa diam?" tanya Arini lagi.

"Tidak apa-apa Sayang. Nenek sudah memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk masa depanmu," ucap Nenek mantap.

"Maksud, Nenek?"

"Sudah, kamu turuti saja kemauan Nenek, ya. Semua akan baik-baik saja, jika kamu menuruti perkataan nenek." 

"Baiklah, Nek. Aku percaya sama Nenek," jawab gadis itu polos.

Untuk keinginan putrinya, Nenek Arini tidak akan kesusahan. Karena mereka berasal dari kalangan orang berada. Mungkin dia tidak bisa membebaskan putrinya, karena bukti dan kesalahan mengarah tepat pada Lisa. Namun, dia bisa merubah nasib Arini untuk membalaskan dendam putrinya.

Setelah menyiapkan semua berkas mereka pun berkemas lalu meninggalkan rumah yang terlalu bangak kenangan manis dan pahit didalamnya. Menjual beberapa aset perusahaan karena banyak perusahan yang memilih memutuskan kontrak kerja sama. Nenek Arini mengambil keputusan yang tepat menurutnya. Meninggalkan kota yang telah membuat keluarganya hancur. Memindahkan sekolah Arini, bahkan merubah identitas mereka sehingga tidak ada satu pun yang mengenal mereka.

Itulah satu-satunya cara, agar cucunya terbebas dari masalah pelik yang mereka hadapi. Terkadang ada saatnya, lari dalam menghadapi masalah. Bukan berati lemah, atau takut. Hanya saja, dengan cara itulah mereka bisa bebas dan memulai kembali masa depan yang cerah, walaupun harus meninggalkan banyak kenangan dan orang yang disayang.

Nexk

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status