🌹🌹🌹
Saat ini Naira sedang memeriksa keadaan Ayah Andika. Dan kebetulan saat ini dalam ruangan itu tidak banyak yang menemani.
"Sudah dimakan buburnya, Tuan?" tanya Naira lembut.
"Belum, Dok!" jawab Ayah Andika.
Naira lalu duduk di samping pria paruh baya itu.
"Kenapa tidak dimakan, Tuan, nanti Tuan akan lama sembuhnya!" jelas Naira pelan.
"Baiklah dok, sudah memperhatikan saya!"
Naira mengangguk, lalu berpamitan untuk melihat pasien yang lain lagi.
"Dokter muda, tunggu! Siapa namamu?" panggil Husen mencegah kepergian dokter muda itu.
Naira tersenyum lalu balik ke tempat pembaringan ayah Andika.
"Naira, Tuan! Nama saya Naira!" sahutnya Lembut.
"Nama yang cantik, maukah kau menjadi menantuku?!" Husen sudah terpikat pada kelembutan sikap Naira hingga berniat menjodohkannya dengan Andika. Naira tersenyum kikuk. Mohon diri untuk melanjutkan kewajibannya sebagai dokter.
Saat membuka pintu seseorang menabraknya dan hampir membuat terjatuh namun ia masih sanggup berpegang pada daun pintu itu.
"Kamu ...." tunjuk Meli saat menyadari siapa dokter yang hampir ditabrak oleh Andika.
Andika terpana melihat dokter di hadapannya itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?! Jangan-jangan kau akan menyakiti Ayah Andika!" bentak Meli.
"Bagaimana mungkin rumah sakit mewah ini bisa kemasukan dokter gadungan sepertinya?!" cetus Meli lagi.
"Sudahlah Mel, mungkin memang dia dokter di rumah sakit ini!" bela Andika. Saat melihat Naira hanya diam saja.
"Tidak mungkin, And! Dia itu orang paling miskin di daerah ini. Tidak mungkin mampu sekolah hingga mendapat gelar Dokter!" ketus Meli.
Kata-kata itu begitu menyakiti hati Naira, tanpa dapat ditahan air matanya jatuh mengalir di pipi manisnya. Ia segera berlari meninggalkan Meli dan Andika.
"Kenapa bicaramu tidaklah sopan, Mel?" dengus Andika kesal.
Mendengar perkataan Meli yang begitu menyakiti hati Naira.
"Jadi kau membelanya, And?!" tukas Meli melototkan matanya pada Andika.
Gadis itu begitu kesal melihat pembelaan Andika buat Naira
***
Saat Naira berlari seseorang menatapnya masih tak percaya.
"Naira ... Benarkah dia?!" tanyanya pelan.
"Ada apa, Sya?!"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Lalu tersenyum dan segera mengikuti langkah Bisma untuk ke kamar rawat ayah Andika.
Lagi-lagi Meli di buat kesal karena kedatangan Bisma bersama Tasya. Sedari dulu gadis itu sangat membenci kedua sahabat itu. Kini kebenciannya makin bertambah saat melihat Naira beberapa menit yang lalu.
"Aku ingin pulang saja, di sini sangatlah panas" ucap Tasya tanpa sadar.
Semua mata memandangnya. Bisma tersenyum begitupun Andika dan ayahnya. Hanya Melilah yang memberi tatapan tak suka.
"Pulanglah ... Kami tak butuh kau di sini!" sungut Meli.
Langsung saja mendapatkan tatapan tak suka dari Bisma dan Andika.
"Melii ...." Bisma mengepalkan tangannya.
"Baiklah aku saja yang pergi dari sini!" setelah berkata begitu Meli segera meninggalkan ruangan tersebut.
"Maafkan sikap gadis itu, Sya! Meli memang seperti itu!" ucap Andika.
Tasya mengangguk.
"Aku tahu, And! Tapi kamu bisa ya, menjalin hubungan dengan gadis sesombong Meli!" tekan Tasya.
Semua mata memandang bingung. Terutama ayah Andika. Mencari jawaban di wajah anaknya. Andika segera menggelengkan kepalanya.
Pria setengah baya itu menarik nafas lega. Ia takut Andika hanya akan menjadi boneka untuk Meli. Ia harus bertindak cepat untuk menjodohkan anaknya dengan dokter muda tadi.
"Semoga Allah meridhoi, kau dan Naira akan berjodoh, Nak!" bisiknya dalam hati.
Bersambung.....
🌹🌹🌹Setelah menjenguk ayah Andika, Tasya berniat untuk mengunjungi rumah sahabatnya yang telah lama tak ditemuinya itu. Iapun menatap Bisma dan ingin meminta persetujuan dari pria yang belakangan ini sering menghabiskan waktu bersamanya."Ada apa kau memandangiku seperti itu! Jangan bilang kau mulai mencintaiku?" ledek Bisma sambil tersenyum lebar."Kau terlalu percaya diri!" elak Tasya mengerucutkan bibirnya."Bisakah kau mengantarkan aku kerumah sahabatku, Bis!?" sambung Tasya lagi."Ke rumah Naira, maksudmu!"Tasya mengangguk cepat.Bisma tersenyum mengiyakan sambil berbisik dalam hati."Bagaimana aku akan menolakmu, Sya! Kau begitu berarti untukku."Tasya tersenyum senang. Merekapun segera menuju ke arah rumah Naira. Tapi betapa kecawanya hati mereka saat menemui rum
🌹🌹🌹 "Nai, kaukah ini?" tanya seorang gadis dalam keremangan senja. Naira mengangguk merekapun saling berpelukan diiringi tangisan yang mengharukan. "Mengapa kau setega ini padaku, Nai! Pergi tanpa berita, apakah kau tidak merindukanku, eoh!" ucap Tasya memandang tajam pada sahabatnya tersebut. "Maafkan aku!" lirih Naira tanpa berani menatap Tasya. "Aku kehilanganmu, Bodoh! Kamu kemana saja selama ini, tidak sempatkah kau memberiku kabar sedetik saja." "Maafkan aku!" Naira hanya mampu mengucapkan kata-kata itu. Dia merasa bersalah karena pergi tanpa berpamitan pada Tasya. "Tidakkah kau mengijinkan aku untuk duduk lebih dulu, sebelum aku bercerita?" tanya Naira sambil menekuk wajahnya menatap Tasya. "Tidak!!! Ini hukumanmu karena hilang tanpa kabar?" sungut Tasya berpura-pura marah pada Naira "Ayolah ... aku capek berdiri! Dan maafkanlah kesalahanku ini, kumohon," rajuk Naira sambil menarik kedua kupingnya
🌹🌹🌹Naira belum mampu memejamkan matanya. Ia masih teringat kembali permintaan ayah Andika."Kabulkan permintaan orang tua ini, Nak!""Tapi Tuan, apakah pantas aku untuk putra tuan?" Naira bingung harus menjawab apa.Disisi lain dia memang mencintai Andika tapi ia ingin pria itu juga mencintainya bukan karena perjodohan."Dari sekian banyak gadis hanyalah kamu menurutku yang pantas untuk putraku!""Tapi Tuan!""Aku mohon, Nai! Aku akan tenang meninggalkan dia bila Andika memiliki pasangan hidup seperti dirimu"Naira terdiam. Hingga kini ia bingung harus bagaimana."Ya Tuhan inikah takdir hidupku!" batin Naira dalam diamnya sebelum ia terlelap dalam alam mimpi. Namun malam ini seperti mata itu enggan terpejam. Pikirannya masih melayang-layang jauh memikirkan problema yang
🌹🌹🌹🌹Seorang pria paruh baya menatap sayu pada kedua wanita itu. Hatinya tersayat pilu menatap anak dan mantan istrinya yang dia tinggalkan dulu."Maafkan ayah, Nai!" bisik lelaki itu. Iapun segera berjalan meninggalkan mereka.Tapi tanpa sengaja Sulastri menoleh ke arah pria paruh baya tersebut saat ojek sudah membawa barang-barangnya. Mata mereka saling menatap. Namun tatapan yang diberikan oleh Sulastri adalah tatapan yang mematikan. Dengan langkah tergesa Sulastri menarik tangan Naira cepat. Naira terkejut namun mengikuti saja langkah ibunya."Pelan-pelan, Ibu! Kakiku terasa mau patah." Naira memperlambat langkahnya. Namun ibunya tetap menarik kuat tangan Naira."Ibuuu ... Kakiku sakit" rengek Naira."Aduh Ibu, sebenarnya kau sedang mengejar apa?" tanya Nairakesal. Melihat ibunya tak peduli dengan keadaannya."Diamlah ....!!! Ikuti saja i
🌹🌹🌹🌹"Tok ... Tok" suara pintu diketuk membuat Sulastri terkejut. Iapun segera membuka pintunya.Betapa terkejutnya saat melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Pria yang selama ini begitu dibenci kini hadir di depan pintu rumahnya. Lelaki yang telah menoreh luka dan membuatnya menderita hingga kini mampu ia lupakan."Untuk apa kamu datang menemuiku lagi!" bentak Sulastri.Pria itu memandang sejenak lalu jatuh berlutut di bawah kaki wanita itu."Maafkan aku, Tri! aku telah menyakiti kalian, aku ingin menebus kesalahan itu!" tatap pria itu meminta maaf pada mantan istrinya. Dan bersimbuh, Sulastri bersurut mundur menghindari jangkauan tangan pria paruh baya itu.Kenangan masa lalu kembali bermain di kepalanya."Maaf untuk apa! Kamu pikir kesalahanmu yang membuat kami, menderita itu dengan mudah kami maafkan! Tidaak ... Tidak akan pernah." sungut Sulastri."Aku mohon, aku sangat menyesali
🌹🌹🌹Saat ini Bisma menemani Tasya di butiknya. Pria itu begitu menyayangi gadis tersebut. Walau cinta itu tak mampu diungkapkannya tapi ia terasa begitu bahagia bila di sisi Tasya."Apa agendamu hari ini, Sya?" tanya Bisma sambil memainkan jarinya di meja."Aku akan menemui Naira!""Naira?? Sejak kapan kamu bertemu dengannya?" kejut Bisma mendengar Tasya telah bertemu sahabatnya dan gadis itu tak menceritakan sedikitpun padanya."Beberapa hari yang lalu dia datang menemuiku." jelas Tasya."Lalu mengapa kau diam saja! Apa aku tak berhak tahu!" sungut Bisma dengan wajah di tekuk. Tasya tertawa melihat reaksi dari wajah Bisma yang menurutnya sangat lucu."Aku pikir, nanti aku akan memberitahumu! Aku belum sempat!""Kamu memang jahat, tak pernah menganggapku ada!" kilah Bisma dengan bibir tambah dimanyunkan.Tasya semakin tertawa geli melihatnya, iapun mendekati pria itu dan mengu
🌹🌹🌹Andika berlari-lari di sepanjang koridor rumah sakit. Wajahnya begitu terlihat panik dengan tidak memperdulikan orang-orang sekitar, tidak hanya satu atau dua orang yang ditabraknya. Ia harus secepatnya mencari dokter untuk menolong Meli."Harap tunggu di luar, Tuan! Dokter akan segera menanganinya." cegah seorang perawat saat melihat Andika ingin ikut masuk ke ruangan ICU.Selang berapa jam Meli sudah di bawa di ruangan rawatnya. Dan Andika boleh menjenguknya.Begitu sampai di depan pintu Andika segera membuka cepat dan masuk ke dalam dan tepat di sebuah ruangan terbaring seorang gadis tengah tidur dengan selang infus, dan alat bantu pernapasan.Andika berdiri cukup lama dengan terus menatap Meli. Setelahnya ia melangkah pelan kearah sosok lemah tersebut."Bodoh ...." ucap Andika tepat di sebelah Meli.Tak lama berselang gadis tersebut mulai menunjukan resfon positif untuk sadar, sebelum membuka mata sempurna. Andika seg
🌹🌹🌹Setelah menjenguk ayah Andika ia kembali ke ruangannya, bila sudah begitu pikiran Naira kembali melayang dalam kesendirian. Ia kembali mengingat percakapan dengan ibunya semalam."Apa kau membenci ayahmu, Nai?""Aku tidak akan pernah membencinya, Ibu. Walaupun ayah tak pernah ada saat aku membutuhkannya! Aku bahkan merindukan hadirnya.""Andai kamu bertemu ayahmu, apa yang akan kau lakukan, Naira!""Aku akan memeluknya ibu. Dan berkata bahwa aku begitu merindukan hadirnya."Dan kini Naira diberi sebuah foto oleh ibunya. Ia seperti pernah bertemu tapi ia lupa dimana tempatnya."Apa yang kau lakukan, Dokter Naira!" panggil seseorang membuyarkan lamunannya."Tasya ...." seru Naira saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya."Masa seorang dokter melamun sih! Aku berdiri dihadapanmu sejak tadi, tidak ditahu." celetuk Tasya sambil manyun."Hah ... Yang benar saja kamu berdiri disitu sej