Share

Bab 5 : Janji Mas Ifan

Entah kekuatan dari mana, aku mulai berhenti menangis lalu kuhapus air mataku.

"Aku memaafkanmu, Mas," jawabku sambil menatapnya.

Mas Ifan terdiam, dihapusnya air matanya.

"Benarkah, Tik?" tanya Mas Ifan sambil menatap mataku.

"Hem,"

"Terima kasih, Tik. Aku janji akan kuperbaiki segalanya.”

"Jangan janjikan apa pun lagi, Mas." Kutarik tanganku dari genggamannya dan membelakanginya.

"Karena jika sekali lagi kau mengingkarinya, aku tak tahu, apa aku masih bisa memaafkanmu lagi atau tidak.”

"Kau benar, Tika. Tapi kali ini akan aku usahakan untuk bisa menepati janjiku," jawabnya singkat.

"Untukmu, untuk Riska, untuk kita bertiga."

Aku menghela napas panjang.

"Hhm, baiklah, Tik. Terima kasih sudah mau mendengarkan, terima kasih juga sudah mau memaafkanku. Istirahatlah," katanya lagi.

"Hem," jawabku singkat.

Mas Ifan berlalu. Kupandangi punggungnya sampai hilang di balik pintu. Kemudian berjalan ke arah tempat tidur dan merebahkan tubuh di atas kasur. Entah mengapa beban yang kurasakan sedikit berkurang. Apa karena aku sudah bisa memaafkan Mas Ifan? Yah, kurasa itulah jawabannya.

Kadang menyimpan dendam membuat hidup kita menjadi tak tenang. Ikhlas dan yakinlah kunci dari ketenangan hidup. Ikhlas menerima apa yang ditakdirkan Allah untuk kita, dan yakin kalau Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk kita.

Bersabarlah, Tika! Semua akan indah pada waktunya.

***

Aku terbangun karena mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Segera aku bangun dan menuju ke sana. Kulihat Mas Ifan tengah membereskan pecahan kaca di lantai dan buru-buru mengambil sebuah mangkok dari lemari. Ada raut cemas di wajahnya.

"Ada apa, Mas?"

"Riska, Tik. Dia mimisan lagi," jawabnya cemas.

Aku segera berlari ke kamar Mbak Riska.

"Mbak Ris," panggilku langsung masuk ke kamarnya dan segera menghampirinya yang sedang duduk bersandar di tempat tidur sambil mengusap tisu di hidung.

"Mbak, Mbak kenapa?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

"Nggak apa-apa, Tik. Ini sudah biasa," jawabnya.

"Tapi, Mbak. Darahnya banyak sekali," kataku sambil melihat beberapa tisu yang penuh darah di atas nakas.

"Bener, kok, Nduk. Mbak nggak apa-apa," jawabnya lagi.

Mas Ifan muncul dengan membawa sebuah mangkok berisi air hangat. Segera kuambil mangkuk dari tangannya dan mulai membersihkan hidung Mbak Riska.

"Mas, kita bawa Mbak Riska ke Rumah sakit aja," pintaku cemas sambil menoleh ke arah Mas Ifan.

"Niatnya begitu, Tik, tapi Mbakmu menolak," jawab Mas Ifan sambil menatap tajam ke arah Mbak Riska.

"Ya ampun kalian berdua ini. Aku nggak apa-apa, kok. Darahnya juga sudah berhenti," ucap Mbak Riska.

"Nggak apa-apa gimana, Ris? Ini yang ketiga kali dalam seminggu ini. Biasanya nggak pernah sesering ini," jawab Mas Ifan sambil berjalan ke seberang tempat tidur, lalu duduk di samping Mbak Riska.

"Mas Ifan benar, Mbak. Muka Mbak juga pucat."

"Udah, ya. Aku benar-benar nggak apa-apa. Aku mau istirahat aja," jawab Mbak Riska sambil berbaring.

Aku dan Mas Ifan saling memandang.

"Ya udah Mbak istirahat, ya. Aku buatkan makan siang," kataku sambil berdiri.

"Nggak usah masak, Tik. Aku udah pesan makanan jadi. Mungkin sebentar lagi sampai," kata Mas Ifan.

"Oh, begitu, ya sudah" kataku sambil berjalan ke pintu. Saat akan menutup pintu, kulihat Mas Ifan membelai kepala Mbak Riska yang sedang berbaring di sampingnya.

Seperti biasa, ada rasa perih di hati.

***

Aku mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. selesai sholat, tak lupa menyelipkan doa untuk kesembuhan Mbak Riska.

Aku buru-buru keluar dari kamar kerena mendengar bel pintu berbunyi. Kubuka pintu. Ternyata catering yang dipesan Mas Ifan sudah sampai. Kubayar dan membawanya masuk, lalu kuhidangkan di atas meja.

Setelah semua terhidang, aku menyendokkan nasi, sayur, dan lauk ke sebuah piring. Lalu segera menuju kamar Mbak Riska.

"Mbak Ris," panggilku sambil mengetuk pintu sekali dan langsung membuka pintu kamarnya.

Jantungku berdetak kencang, kaget melihat pemandangan saat itu dan langsung terdiam. Kulihat Mbak Riska merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Ifan. Sementara Mas Ifan mengelus kepalanya mesra.

 Aah ... bodohnya aku kenapa harus masuk?

Mas Ifan dan Mbak Riska kaget dengan kehadiranku.

"Kamu, Tik. Masuklah," kata Mbak Riska.

"Ma-maaf, Mbak. Aku langgsung masuk begini," kataku dengan gugup. Detak jantung pun mulai tak beraturan.

"Nggak apa-apa, Tik," jawab Mbak Riska.

Mas Ifan langsung berdiri dan berjalan ke arahku.

"Apa ini Tik, harusnya kamu nggak usah repot-repot" tanya Mas Ifan saat dia melihat ada sepiring nasi di tangan ku.

"Nggak apa-apa, Mas. Nggak repot, kok. Ini makan siangnya, Mbak Riska," kataku sambil menyodorkan piring pada Mas Ifan.

Aku langsung berbalik hendak buru-buru keluar dari kamar itu.

"Makasih, ya, Tik," kata Mas Ifan.

Aku menoleh dan melihat senyum tulus tersungging di bibir Mas Ifan.

"Iya." Aku mengangguk, lalu menutup pintu meninggalkan mereka berdua.

Selesai makan siang, seperti biasa, kubereskan semua makanan yang ada di meja, karena Mas Ifan sama sekali tak keluar dari kamar untuk makan siang.

Begitu pun saat makan malam, Mas Ifan tak keluar untuk makan malam. Hanya aku yang ke kamar Mbak Riska untuk mengantar makan malamnya.

Kuketuk pintu kamar itu lagi.

"Masuk," jawab Mas Ifan.

Aku segera masuk. Kulihat mas Ifan sedang duduk di kursi menghadap ke tempat tidur tepat di samping Mbak Riska.

"Mas biar aku yang nyuapin Mbak Riska," kataku.

"Baiklah, Tik," Mas Ifan menggeser kursinya dan berdiri.

"Aku keluar sebentar," kata Mas Ifan. Sambil berlalu dan keluar dari kamar.

"Mbak makan dulu," kataku membangunkan Mbak Riska.

"Hhm, iya, Tik." Mbak Riska membuka mata bangun perlahan.

Kubantu memperbaiki posisi duduknya. Kemudian mulai menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya.

"Makasih, ya, Tik. Maaf, Mbak merepotkanmu kali ini."

"Nggak, kok, Mbak. Jangan merasa begitu" jawabku sambil terus menyuapinya.

"Jangan bosan, ya, Tik." Mbak Riska tertawa.

"Mbak ini, masih saja suka bercanda."

"Kamu urus rumah dulu, ya," pintanya.

"Tenang aja, Mbak. Ada aku hi hi hi." Aku meringis

"Urus Mas Ifan juga."

Aku terdiam sejenak ...

"He'em." Aku mengangguk.

Selesai makan, kuberikan obat yang biasa diminum Mbak Riska, kemudian membiarkannya untuk istirahat.

Aku keluar dari kamar Mbak Riska dan mendapati Mas Ifan tertidur di meja makan. Kuperhatikan wajahnya yang terlihat lelah.  

Kupakaikan selimut padanya dengan perlahan, takut Mas Ifan terbangun. Saat kembali ke dapur, langkahku terhenti karena Mas Ifan menarik tanganku.

Aku menoleh dan kami saling memandang. Ada raut sedih di wajahnya kemudian dengan cepat dia menarik tangan dan memelukku. Ia meletakkan kepalanya tepat di perutku kemudian menangis.

Kurasakan tubuhnya bergetar hebat. Karena saat ini Mas Ifan benar-benar sedang menangis.

Ada perih menyeruak dari dalam hati melihatnya seperti ini. Aku tau dia takut kehilangan Mbak Riska, tapi Mas Ifan sadar dia tak mampu berbuat apa-apa selain menerima ini semua.

Aku letakkan kembali piring yang hendak kubawa ke dapur, lalu perlahan membelai kepalanya.

Ya Rabb ....

Tak kuasa menahan tangis, air mataku pun tumpah. Sambil terus mengusap kepalanya. Aku tak tau Apa yang harus kulakukan. Aku bingung. Haruskah aku bahagia? Atau sebaliknya? Yang kutau saat ini, hatiku sakit melihatnya seperti ini.

***Bersambung

Terima kasih buat teman-teman yang sudah mampir. Sehat selalu buat kalian semua. πŸ™

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status