Ha jadi dia serius untuk datang. Alice yang penasaran pun, segera memeriksanya. Pertama-tama dia mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. 'Ya Tuhan. Itu sungguh Ethan' Menyadari bahwa itu memang Ethan, Alice pun sontak membuka pintu. Terlihatlah Ethan yang tersenyum sembari menenteng bungkusan plastik. "Saya bawakan makanan," ucapnya sembari menunjukkan bungkusan itu di depan wajah Alice. Alice melongo. Heran, karena dia kan tidak minta, untuk apa Ethan bersusah payah membawakannya makanan. Alice yang masih terbengong-bengong pun, memberikan jalan pada Ethan agar pria itu bisa masuk. 'Benar-benar tidak bisa ditebak,' pikir Alice, lalu menggaruk belakang telinga kirinya padahal tak gatal. "Kau sebaiknya makan dulu. Setelah itu baru melanjutkan lagi desainmu," Ethan meminta Alice untuk mendekat padanya, memberikan arahan dengan tangannya yang memanggil-manggil Alice. Ahh, kenapa Ethan harus perhatian seperti ini. "Pak Direktur tidak jadi pergi menca
Setelah menghabiskan berbagai makanan yang dibawa oleh Ethan. Alice merasakan bahwa perutnya begitu penuh. Apalagi karena rasanya yang enak, membuat Alice tidak bisa berhenti makan. Ethan membuka lagi bungkusan yang dia bawa, lalu mengeluarkan isinya yang ternyata kopi instan. "Bapak sudah membelinya?" Ethan mengangguk. Bangkit berdiri dan berjalan lagi ke dapur. CTAKK!!!!!Terdengar suara kompos gas dinyalakan. Alice mengerjap. Ini sungguh Ethan sedang memainkan peran bahwa dia seperti berada di rumahnya sendiri? Astaga, bisa gawat kalau lama-lama begini. "Kau ingin minum apa?" tanya Ethan balik ke ruang tamu. "Teh hijau," "Baiklah" Setelah itu Ethan kembali sibuk dengan kegiatannya di dapur. Alice menggeleng-gelenggkan kepalanya, sudah tak bisa berpikir lagi akan tingkah Ethan. Tapi tak apa, sembari menunggu Ethan selesai, Alice lebih baik menyelesaikan desainnya. Alice pun berkutat lagi di depan laptopnya, matanya sangat fokus melihat detail desain kemasan baru ini aga
Mata Ethan dan juga Alice saling menatap. Saling berpandangan untuk beberapa detik. Sampai akhirnya Ethan lebih dulu sadar dan mengalihkan tatapan matanya. "Ya. Ini sudah pas," "Benarkah?" tanya Alice ikut melihat layar laptopnya "Ya," Alice berteriak senang, juga bertepuk tangan untuk meluapkan rasa senangnya. "Terima kasih sudah membantu saya," "Tidak apa. Santai saja" "Kalau begitu saya mau langsung mengirimkannya pada Ketua Divisi Brilley," "Silahkan," Dengan cepat Alice menyimpan desainnya, lalu membuka surel. Mengetikkan sesuatu, dan menambahkan hasil desainnya tadi lalu mengirimkannya. "Ahhhh. Akhirnya selesai juga," keluhnya senang. Punggungnya dia sandarkan pada sofa, untuk melemaskan otot-otot pundaknya yang mungkin tegang karena berada di depan laptop. "Sekali lagi terima kasih kepada Pak Direktur, hari ini sudah banyak sekali membantu saya," ucapnya terdengar tulus. "Saya hanya ingin membantumu," Alice tertawa kecil. "Bapak baik sekali. Saya sang
Alice mengerjapkan matanya beberapa kali, untuk membuatnya tersadar dari tidur yang rasanya panjang sekali. Karena masih begitu berat, Alice hanya bisa samar-samar melihat kamarnya. Alice berusaha untuk duduk, walaupun kepalanya masih terasa sakit. Tapi dia memaksakan tubuhnya untuk bangun. Hari ini adalah hari Sabtu. Menyebalkan. Kenapa hari Sabtu tetap harus masuk kerja walaupun hanya setengah hari saja. Alice meraba-raba sekitar ranjangnya, mencari di mana letak ponselnya. Setelah puas meraba-meraba ranjang, menyibak selimut dan bantal tak juga menemukan ponselnya. Sepertinya ponselnya tertinggal di ruang tamu. Alice pun berdiri dengan tubuh yang masih sempoyongan. Berdirinya saja tidak beraturan. Alice terlalu lemah ketika minum alkohol. Tak tahu bagaimana kabar Ethan sekarang. Alice belum bisa mengingat apa saja yang sudah dia lakukan setelah dia mabuk walaupun baru minum berapa gelas. CEKLEK!!!!Pintu kamar terbuka dan Alice tutup kembali. Alice dengan langkahnya yang
Sungguh benar-benar Alice penasaran. Apa saja kelakuannya malam tadi. Eh tapi dia tidak mengganti baju di depan Ethan kan. Tidak tidak tidak. Alice tidak mungkin melakukan itu, ya, pasti Alice menggantinya ketika sudah di kamar. Tapi Alice bahkan tak ingat bagaimana dia bisa sampai di kamar karena Alice sudah mabuk berat. Semoga saja, Alice pergi mengganti baju setelah dia berjalan sendiri masuk ke kamarnya. Ya ya begitulah. Pasti seperti itu kan. Astaga Alice. Kau sungguh membuat malu dirimu sendiri. Alice mengguyur tubuhnya di bawah dinginnya air pancuran shower. Bagus juga dingin seperti ini, supaya lebih efektif untuk menyadarkan dirinya dari segala tindakan bodoh yang dia lakukan. Bagaimana dia masih punya muka untuk bertemu Ethan. Alice menggosok tubuhnya, juga memakai sabun untuk rambutnya. Kamar mandinya terasa begitu harum, setelah Ethan yang pakai. Ini kedua kalinya Ethan mandi di sini. Sebenarnya apa ya alasan Ethan memilih untuk tidak pulang. Karena ya kan
"Anda punya janji makan malam hari ini dengan Pimpinan. Sebaiknya Anda tidak lagi menemui wanita itu," Ethan bergumam datar mendengar perkataan Daniel. Tadinya Ethan ingin melewatkan saja acara makan malamnya, tapi tak sempat lagi karena Daniel lebih dulu mengingatkannya. "Apa Anda mendengar saya dengan jelas?" ucap Daniel terdengar sedikit nyolot. Daniel sebenarnya tak mengerti mengapa Ethan masih saja berhubungan dengan Alice. Masalahnya juga semakin rumit karena kakeknya sudah mengetahui hal ini. "Ya, dan kau bisa pergi sekarang" jawab Ethan tak kalah nyolotDaniel mengangguk puas, "Baiklah. Hubungi saya jika Anda memerlukan sesuatu" Ethan diam saja tidak lagi menanggapi Daniel. Daniel membalikkan tubuhnya, dan berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruangan Ethan. Namun ketika tangannya menyentuh pegangan pintu, suara Ethan menahan gerakannya. "Saya mengandalkanmu tentang Ella. Sebaiknya kau tidak mengecewakan saya," Mendengar itu Daniel tidak memberikan respon apapun. Kare
'Maafkan aku. Kau tidak seharusnya mencintaiku. Aku tidak pantas untukmu' batin Ethan. Ingin rasanya dia mengucapkannya tapi bibirnya tak sanggup lagi untuk berbicara. "Aku akan menghubungimu lagi nanti. Kau jangan terlalu banyak berpikir, Ethan" Ethan masih belum mengatakan apapun. "Perasaan antara kita berdua itu sungguh rapuh, Ethan. Di tambah dengan berbagai peristiwa yang menimpa kita. Aku bertanya-tanya apakah kita memang ditakdirkan bersama atau tidak. Aku hanya ingin kau menerima rasa cintaku ini" Lalu selanjutnya Bip..... Panggilan terputus. Ethan yang masih sesenggukan berusaha untuk menenangkan dirinya. Tak disangka, dia malah menangis. Ya bagimana tidak, perasaannya yang kalut membuatnya jadi tak tahan ingin menangis. Satu hal yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bertemu dan memeluk Alice. Sungguh, Ethan adalah pria brengsek. Apakah pantas dirinya mendapatkan cinta dari seseorang yang begitu tulus mencintainya. *** "Oh Bryana-ku. Aku sungguh-sungg
Tak tahu sudah berapa banyak helaan napas dari hidung dan mulutnya. Tapi Ethan masih tetap melakukannya. Perasaan gelisah dan tak nyaman membuatnya terus begitu. "Sampai kapan kakek mau menatapku begitu?" tanya Ethan akhirnya, setelah sekitar tiga puluh menit ditatapi dengan pandangan penuh selidik oleh kakeknya. Steven Hill masih belum membuka mulutnya. Ingin menunggu apakah cucunya ini akan memberikan penjelasan sebelum dirinya bertanya, atau malah sengaja menghindarinya. "Sepertinya aku lebih baik pergi daripada-"Ucapan Ethan terhenti ketika ada salah satu pelayan setia kakeknya ini melakukan interupsi. "Makan malam sudah siap, Tuan," Mendengar itu, Steven hanya mengangguk kecil lalu berdiri dengan dibantu tongkat yang sudah seperti bagian dari hidupnya itu. Berjalan sendirian tanpa mengatakan apapun pada Ethan. Lagi, Ethan menghela napas. Dengan kesal dia beranjak berdiri dan berjalan dengan menghentakkan kakinya sengaja, menunjukkan bahwa dia sudah geram. Ethan dan kakekn