Dua tahun yang lalu ....
Naila tengah asyik mencuci piring di belakang warung ketika ibu Diana datang menghampiri dirinya.
"Naila, ada yang mencarimu di depan."
Wanita muda itu menoleh, lalu mengerutkan keningnya.
"Siapa, Bu?" tanyanya.
"Tinggalkan saja pekerjaanmu, Naila. Temui dulu orangnya. Sejak tadi ia menunggumu." Wanita setengah baya itu tersenyum tipis.
Masih dengan hati yang bertanya-tanya, Naila mencuci tangannya sampai bersih. Ia merapikan jilbabnya, lalu beranjak pergi dari tempat itu.
"Bang Ammad," seru Naila saat masuk ke ruangan depan warung.
Laki-laki itu melambaikan tangan. Seulas senyum tersungging dari bibir polos tanpa lipstik itu.
"Ade malam ini ada acara?" tanyanya. Mereka tengah duduk berhadapan.
"Setelah selesai kerja, biasanya Ade langsung pulang. Kasihan Nayra di rumah hanya di temani Mama," kata Naila. Ia menggelengkan kepala.
"Bagaimana kalau malam ini kita jalan-jalan? Kalau memang Ade merasa tidak nyaman pergi berdua dengan Abang, kita bisa membawa Nayra. Ade mau kan?"
Perempuan muda itu menundukkan wajahnya. Ujung jemarinya seketika mengetuk-ngetuk meja.
"Kalau Ade tidak mau, tidak apa-apa. Abang tidak memaksa. Abang bisa memahami posisi Ade."
"Ade tanya putri Ade dulu ya. Kalau dia mau di ajak jalan, maka Ade mau."
"Baiklah. Kalau putri Ade bersedia, kabari Abang ya."
"Ya sudah. Sekarang Abang balik kerja lagi ya. Jam istirahat Abang sudah hampir habis." Ammad melirik arloji di pergelangan tangannya.
Laki-laki itu menyapu tangannya yang basah dengan tissu. Kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Naila hanya bisa mengangguk. Dia membiarkan laki-laki itu melangkah menuju tempat duduk ibu Diana untuk membayar makanannya.
❣️❣️❣️
Laki-laki itu begitu gagah. Tak tampak kerutan sedikitpun di wajahnya, meski usianya sudah memasuki kepala empat.
Muhammad Yahya Siregar. Dia berasal dari kota Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Dia baru dua bulan menjejakkan kaki di kota ini. Sebuah kota yang mendapat julukan sebagai kota idaman.
Bang Ammad, begitulah Naila biasa memanggilnya. Dia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor nasional, dengan posisi yang sangat bagus. Dialah yang mengurus proyek disini, hasil kerja sama perusahaannya dengan pabrik Indomie yang berlokasi di kab. Tanah laut.
Entah karena dia yang pandai membujuk atau karena faktor keberuntungan, akhirnya gadis cilik berumur tujuh tahun kesayangannya itu mau ikut dengannya malam ini.
Naila tidak akan berani jalan bersama dengan teman laki-laki, kecuali jika bersama putrinya.. Dia paham akan statusnya. Naila adalah seorang janda. Sudah punya anak satu pula. Apalagi cara pandang masyarakat terhadap seorang janda masih kurang baik. Dia tidak ingin menjadi bahan omongan orang sekampung.
Dengan senyum simpul, Naila pun segera menghubungi Ammad.
[Bang, Nayra mau di ajak jalan-jalan]
[Ohya? Alhamdulillah]
[Tunggu Abang setelah magrib ya. Abang jemput Ade di rumah][Oke Abang]
Naila begitu terkesima memandang penampilan laki- laki di hadapannya. Ammad mengenakan celana jins di padu dengan kemeja warna biru muda.
Laki-laki itu tersenyum menatap Naila. Sebuah senyuman yang hanya dia sendiri yang mengerti maknanya. Senyum seorang laki-laki yang ....
"Ade." Suara bariton itu mengembalikan kesadaran Naila yang masih tersisa.
"Iyaa, Bang," sahut Naila tergagap.
"Silahkan masuk dulu, Bang," ajak Naila.
Setelah laki-laki masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi tamu, Naila bergegas ke kamar untuk memanggil Nayra dan ibunya.
"Hai gadis cantik," ujar Ammad begitu melihat gadis kecilnya muncul.
Nayra yang malu-malu memilih bersembunyi di belakang Naila.
"Ma, paman ini siapa sih?" bisik Nayra.
Naila tersenyum.
"Nayra,, paman ini adalah teman baru Mama. Nama paman ini, Ammad. Nayra boleh memanggilnya Om Ammad." Naila menjelaskan dengan hati-hati.
"Om Ammad?" ulang Nayra. Ia mengamati laki-laki dewasa di hadapannya dengan mata kecilnya.
"Om Ammad orang mana? Kenapa cara bicara Om beda dengan kami?"
Naila menepuk jidatnya. Gadis kecil ini benar-benar teliti rupanya. Sampai cara bicara orang dia bisa membedakan, padahal baru sekali ini mereka bertemu.
"Di sekolah kan Nayra pernah di ajari sama bapak atau ibu guru, kalau bangsa kita ini terdiri dari berbagai suku. Nah, salah satu suku di Indonesia ini adalah suku batak yang berasal dari propinsi Sumatera Utara."
"Berarti Om ini orang Medan dong?" celutuk gadis kecil itu.
Ammad mengacungkan jempolnya.
"Pintar sekali keponakan Om."
"Ya udah. Nanti lanjut obrolannya di mobil saja ya. Kita berangkat sekarang. Oke?"
"Hati-hati di jalan, Nak. Jangan pulang terlalu malam," pesan ibunya.
❣️❣️❣️
"Nayra mau kemana malam ini?" tawar Ammad kepada Nayra. Sekilas terlihat mereka seperti sebuah keluarga yang utuh. Sepasang laki-laki dan perempuan berusia dewasa dan seorang anak perempuan yang duduk di tengah-tengahnya.
Naila menyerngitkan kening.
"Kan Abang yang mengajak kami jalan-jalan. Kenapa malah bertanya pada Nayra?"
Laki-laki itu tergelak.
"Abang juga nggak ada tujuan nih. Abang cuma ingin jalan-jalan dengan kalian. Itu aja," ucapnya.
Naila berdecak kesal. Waduih, parah nih si Abang.
"Sebaiknya kita makan dulu. Kalian mau makan apa?" tawarnya.
"Terserah Abang saja."
"Oke deh," Laki-laki itu mengacungkan jempolnya.
Tak berapa lama akhirnya mobilpun berhenti di depan sebuah warung pinggir jalan.
"Gadisnya Om ini mau makan apa? Hayoo," tawar Ammad. Mereka tengah duduk berhadap-hadapan.
"Ayam," ucap Nayra polos.
"Dasar pecinta Upin Ipin,." Naila mencubit hidung Nayra dengan gemas.
"Kalau Ade mau makan apa?" Dia bertanya di sela-sela tawanya.
"Kalau Ade, nila goreng aja," sahut Naila.
Ammad bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati pemilik warung untuk mengatakan pesanannya.
"Nayra sekarang sudah kelas berapa?" Pertanyaan itu Ammad lontarkan ketika ia sudah kembali duduk di kursinya.
"Kelas dua SD, Om," jawab Nayra.
"Nayra sudah pinter ngaji lo. Nayra belajar ngaji udah dapat 9 juz," ceritanya dengan mata yang berbinar.
"Wuih, hebat. Toss dulu dong!"
Naila menggelengkan kepala.
Astaga, kenapa gadis kecil ini mudah sekali akrab dengan teman barunya?
Di hadapan mereka telah terhidang dua porsi nila goreng dan satu porsi ayam goreng request Nayra. Ada juga lalapan serta sambal terasi. Nasi yang masih hangat dan tak lupa dua gelas teh hangat sebagai teman makan yang sempurna. Nayra memilih minum dengan air putih. Hahaha... Ada-ada saja request gadis kecilnya. "Makanan dah siap," seru Ammad sembari bertepuk tangan. "Wah, ada ayam goreng," pekik Nayra. Jelas tergurat rasa senang di wajahnya. Naila memandang gadis kecilnya dengan rasa iba. Di tengah keterbatasan kondisi ekonomi mereka, Naila tidak bisa membelikan ayam untuk Nayra setiap hari. Pekerjaannya hanya membantu di warung ibu Diana dengan upah yang tak seberapa. Paling kalau lagi beruntung, dia bisa membawa sisa lauk dan sayur yang tak terjual dari warung itu. "Iya, Sayang. Makan yang lahap ya," ucap Naila sambil tersenyum. Dia segera mencuci
Waktu yang semakin beranjak siang membuat warung ibu Diana semakin ramai oleh pengunjung. Naila sibuk dengan pekerjaannya. Menyiapkan makanan pesanan pengunjung, mengangkat peralatan makan yang kotor, membersihkan meja bekas makan, bahkan mencuci piring dan gelas. "Ade." Naila mengurungkan niatnya untuk membawa piring dan gelas kotor ke belakang warung, ketika di lihatnya sosok lelaki gagah itu bergegas menghampirinya. "Abang." Ada binar di matanya. Sekilas ia mengamati penampilan laki-laki yang baru datang itu. Semakin hari sosoknya terlihat semakin menawan di dalam pandangannya.. "Abang mau makan apa?" tanyanya. "Apa saja, Ade. Asal jangan masakan yang rasanya agak manis. Abang tidak suka." "Silahkan Abang pilih sendiri. Ade gak tahu makanan kesukaan Abang," ucapnya. Laki-laki itu mengamati berbagai macam masakan yang ada di hadapannya, kemudian m
Naila buru-buru meneguk minumannya untuk menetralisir kecamuk rasa yang bergejolak di dadanya. "Nayra ngomong apa sih?" sergahnya. "Insya Allah kalau Mama ada uang, Nayra bisa makan ayam goreng. Kita tidak perlu menunggu om Ammad mengajak jalan," ucapnya sambil mengelus rambut anak itu. "Tapi beda rasanya, Mama," bantah Nayra. Wajahnya mendadak murung. "Beda apanya, Sayang? Kan sama saja makan ayam goreng juga," sahut Naila. "Beda, Ma. Kalau makan ayam goreng dengan om Ammad bisa sambil ngobrol macam-macam. Kan rame, Ma," sambungnya. Naila seperti tertohok. Barulah ia paham dengan maksud pembicaraan putri semata wayangnya. Gadis kecilnya merindukan sosok seorang ayah di dalam kehidupannya. Sosok seorang ayah yang tak akan pernah di temui seumur hidupnya. Naila menatap putri kecilnya dengan perasaan iba. "InsyaAllah, nanti om Ammad mengajak jalan lagi. Nayra berdoa saja ya," hibur wanita muda itu, meskipun ia tenga
"Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu, Nak? Mama lihat kamu sudah begitu dekat dan Nayra pun begitu menyukainya." "Tidak ada hubungan apa-apa, Mama," *Mama lihat Ammad menyukaimu," bantah ibunya. "Naila hanya menganggapnya sebatas teman dan saudara, Ma. Buat Naila, bang Ammad hanya sebatas abang yang baik dan perhatian kepada Naila dan Nayra." "Hubungan kalian sudah terlalu dekat, Sayang. Mama bisa melihat, bagaimana sorot mata laki-laki itu memandangmu. Mama ini juga pernah muda, Nak." Naila menghela nafas panjang, seolah ingin membuang segala rasa di dalam dadanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar. Ibunya masih setia memperhatikan dari sisinya. "Naila juga bukan anak kecil lagi, Mama. Naila pun mengerti arti dan sikap seorang laki-laki, tapi Naila tidak mau gegabah. Karena boleh jadi, perhatian dan sikap bang Ammad selama ini hanya sekedar untuk mengekspresikan rasa sayangnya kepada Naila dan Nayra. Mungkin dia merasa
"Abang minta maaf karena kemarin tidak main ke sini. Kebetulan Abang sedang ada urusan di Banjarmasin. Ade tidak apa-apa, kan?" ujarnya ketika perempuan itu menaruh satu porsi nila goreng lengkap dengan sambal kesukaannya. "Tidak apa-apa, Bang. Lagian juga buat apa Abang minta maaf. Abang tidak punya salah apa pun," sahut Naila. "Terima kasih ya, De. Oh, ya, besok hari minggu. Ade dan Nayra mau nggak Abang ajak jalan-jalan lagi?" Naila hanya membalas dengan sebuah senyuman. "Ade tanya Nayra dulu ya." "Ya Allah ... semuanya tergantung dengan Nayra." Laki-laki itu tertawa kecil. Dia memulai ritual makan siangnya. Lembut dan gurih daging ikan nila goreng berpadu dengan sambal yang terasa pas di lidahnya. "Habis mau gimana lagi? Nayra itu putri Ade satu-satunya dan Ade tidak mau jalan bersama dengan seorang laki-laki yang tidak disukai oleh Nayra." "Iya
Pagi ini begitu cerah. Hanya sedikit awan yang memenuhi biru warna langit. Matahari bersinar, membiaskan rasa hangat hingga sampai ke hati. Naila sudah siap dengan gamis biru kesayangannya dengan di padu jilbab warna senada. Demikian juga Nayra. Sejak tadi ia sibuk berceloteh dan bertanya pada Naila, kapan om Ammad datang menjemput mereka. Sebuah mobil berhenti tepat di halaman rumah. Naila menengok ke depan. "Om ...!" pekik Nayra. Gadis kecil itu berlari menghampiri Ammad. Laki-laki itu mencondongkan badannya untuk merangkul tubuh mungil Nayra. "Apa kabar, gadis kecil Om?" tanyanya. Ia mengusap pipi "Baik, Om. Nayra kangen dengan Om. Udah beberapa hari tidak ke sini," ucapnya polos. Ammad tertawa. Dia mencubit hidung Nayra dengan gemas. "Om juga kangen Nayra. Sudah beberapa hari ini Om banyak pekerjaan,"" sahutnya.
Drrrt.. Naila menguap berkali-kali sebelum akhirnya membaca doa bangun tidur. Alhamdulillahil ladzii ahyaanaa ba'damaa amaatana wa ilaihin nusyuur.. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami sesudah mati (membangunkan kami dari tidur) dan hanya kepadaNya kami menyembah.. Sembari menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya, Naila meraih ponsel. Sebuah nama yang sangat di kenalnya menghias layar ponsel. Naila mengerutkan dahi. [Sudah subuh, Ade. Bangun yuk] Ah, saat subuh seperti ini dia sudah memberikan perhatian. Benar-benar laki-laki yang baik! [Sudah bangun, Abang. Ade mau shalat subuh dulu ya] Naila meletakkan kembali ponsel ke samping bantalnya. Dia bergegas bangkit dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berwudhu, dia kembali ke kamar. "Nayra."
Sesampainya di warung tempat kerjanya, Naila buru-buru melangkah masuk ke dalam warung. Suasana masih sepi. Hanya ibu Diana dan Kak Imah yang nampak sedang sibuk mengolah bahan mentah menjadi berbagai macam masakan untuk di jual nantinya. Warung ibu Diana buka dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. "Nai," panggil ibu Diana. "Dari tadi ibu perhatikan, muka kamu cemberut saja. Ada apa, Nai? Apakah Nayra minta ayah baru lagi?" tanyanya sembari mengedipkan mata. Naila menggelengkan kepala. "Bukan, Bu. Naila cuma kesal dengan omongan orang. Padahal Nai nggak ngapa-ngapain dengan bang Ammad. Kalau lagi jalan, ya biasa aja. Bahkan jalannya juga sama Nayra. Kenapa orang-orang pada mikir yang enggak-enggak?" Dia menghembuskan nafasnya. "Ya wajar saja, Nai. Kamu kan janda. Jadi kalau kamu kelihatan dekat dengan laki-laki, orang-orang mikirnya ke situ. Ada hubunga