Share

Kenangan Masa Lalu

[“Ibu... Ibu... lihat Widuri juara 1 Ibu, dan Widuri juga mendapat gelar juara 1 umum. Lihat Ibu, bahkan Widuri mendapatkan 2 piala sekaligus,” Widuri kecil berlari ke arah Ibu. Namun tidak sedikitpun Isma menoleh, dan ketika Tasya datang kemudian dengan lesu Isma langsung mendekati Tasya.

“Ada apa sayang? Mengapa kamu terlihat begitu sedih? Sini duduk. Ayo cerita sama Ibu.” ucap Ibu penuh kasih pada Tasya.

“Aku sedih Ibu, aku Cuma dapat juara 2. Aku tidak dapat piala. Aku benar –benar sedih,” ucap Tasya yang mulai meneteskan airmatanya.

“Juara 2? Waaah.. anak Ibu pintar, ibu bangga sekali denganmu nak. Untuk sampai ketingkat itu tidaklah mudah, dan kamu sungguh membuat Ibu bangga,” ucap Isma menenangkan Tasya kecil.

“Tetapi aku tidak dapat piala seperti Widuri ibu,” ucap Tasya sambil melihat lirih pada Widuri.

“Hmmm... apa pentingnya piala. Piala itu hanya sebua benda, dan Ibu bisa membelinya di toko –toko. Tapi buat apa kita beli piala, kan tidak bisa di mainkan. Bagaimana jika Ibu nanti berikan kamu hadiah boneka karena kamu sudah berjuang mendapatkan juara 2?” ucap Isma lagi yang terus membujuk Tasya.

Sedangkan Widuri kecil sudah rusak hatinya, bahkan pialanya sama sekali tidak di pandang oleh ibunya. Jangankan pujian dilirik saja tidak. Dengan penuh kesedihan Widuri berjalan kekamarnya yang hanya di sekat oleh lemari tua dan di beri selembar tirai, lalu kamarnya di alasi tikar jerami tampa bantal.

...

...

Hari berikutnya.

“Ayoo Tasya kamu harus sarapan dulu, biar di sekolah kamu bisa lebih konsentrasi lagi belajarnya. Ayo –ayo sini Ibu suapkan,” ucap Isma lagi.

“Waaah... Ibu masak ayam ya? Kelihatannya lezat. Aku makan ya Ibu,” ucap Widuri saat melirik ke meja makan. Widuri langsung mengambil piring dan nasi, tanyanya menjulur tiang mengambil ayam saus buatan ibu. Tiba –tiba roll besi mendarat di punggung tangannya membuat ayam yang sedang di berada di atas sendok terjatuh lagi di tempat semula.

“Ibu...” ucap Widuri dengan genangan air matanya.

“Ayam itu Ibu buat untuk Tasya. Dia perlu gizi biar pintar. Kamukan sudah juara satu jadi tidak perlu gizi lagi. Ini kamu makan pake ini saja, biasanya kan begitu juga,” ucap Isma sembari menebar garam halus ke piring Widuri lalu menyiram sedikit air termos ke dalam piring Widuri yang berisi nasi.

“Sudah duduk di bawah sana. Habiskan makananmu. Jangan sebutir nasipun kamu sisakan. Karena ada berkah di setiap butir nasi itu dan juga beras sangat mahal jadi jangan buang –buang makananmu,” bentak Isma lagi.

“Ya... baik Ibu. Ini saja sudah enak kok, lagi pula aku tidak perlu gizi. Yang aku perlukan Cuma kenyang. Hehehe. Selamat makan kak Tasya,” ucap Widuri sembari duduk melantai dengan menelan kesedihannya.

Kemudian ayah datang, Ducan baru saja siap mandi dan akan berangkat mengampas jajanan anak –anak keluar kota. Ducan hanya pulang sekali seminggu. “Waaahh... Anak Ayah lagi makan? Kenapa makan di bawah? Ayo sini makan sama ayah di kursi,” ucap Ducan.

“Biarkan dia makan di sana, bagi anak seusianya makan melantai lebih nyaman,” ucap Isma dengan ketus.

Ducan kemudian mengambil nasi, “Waaahh... ibu bikin ayam saus ya? Kelihatan enak. Widuri kenapa nasi putih aja? Ayo makan ayam buatan ibu, ini enak loh,” mendengar tawaran ayah air liur Widuri seakan berdecah. Hatinya seakan bersorak hore.

“Aduuh sayang... apa kamu lupa? Widuri itukan tidak suka lauk pauk, makanan kesukaannya hanya garam di campur air. Dari bayi juga begitu. Makanan yang lain seperti alergi buat dia,” jawab Isma sebelum Widuri berlarian mengambil ayam tawaran Ducan.

“Ibu benar Ayah... aku lebih nikmat makan seperti ini. Lihat aku makan dengan lahap, lagi pula lidahku tidak sanggup terkena sambal Ayah. Aku sangat tidak suka pedas. Ayah aku akan makan dengan cepat dan tidak bersisa, lihat ini Ayah...,” Widuri seakan menghibur dirinya sendiri dengan memperagakan suapan pesawat terbang.

“Hmm.. kalau begitu Ayah akan makan bersama denganmu, Ayah juga sangat suka makan melantai,” ucap Ducan sembari membawa piring berisi nasi dan lauknya lalu duduk di samping Widuri.

 Ketika Isma selesai menyuapi Tasya dan berjalan ke dapur, ducan mencoba untuk menyuapi Widuri dengan secubit daging ayam. “Coba ini sayang, ini enak loh... masak kamu tidak suka? Coba deh sesuap aja. Yok!” Ducan menyodorkan tangannya yang berisi nasi ke mulut putrinya.

Widuri melirik ke arah dapur, ketika tidak ada ibunya Widuri kemudian segara melahap nasi suapan ayahnya dengan cepat. Ya Tuhan, ini enak sekali. Gumam Widuri dalam hatinya. Bagaimanapun anak seusia Widuri saat itu sangat mudah merasa tergiur dengan makanan yang belum pernah dicicipinya.

“Bagaimana? Enakkan?” tanya Ducan. Lalu Isma keluar dari dapur sambil melototinya.

“Ahh... aku tidak terlalu suka Ayah. Terlalu pedas,” ucap Widuri berbohong.

“Bu... lain kali buatlah makanan yang manis, kayak ayam kecap begitu. Biar Widuri bisa makan juga. Kasihan jika terus –terusan makan pakai garam, mana ada gizinya Bu,” ucap Ducan pada Isma.

“ Tasya mana suka masakan yang manis –manis,” ucap Isma lagi.]

Segelintir kenangan yang selalu mengiris –iris hati Widuri. Kesedihan selalu datang di hatinya. Dalam tangisan mengingat semua kenangan Widuri tertidur.

Tiba –tiba ada semburan air membangunkannya. “Sampai kapan kamu mau tidur begitu Widuri. Lihat kain kotor dan piring sudah menumpuk, kamupun hari ini belum mengepel. Walaupun rumah kita ini tidak besar dan bagus, setidaknya terus perhatikan kebersihannya!” titah Isma.

Ternyata baru saya Isma menyiram tubuh Widuri dengan air bekas cucian beras. Yang artinya bertambah lagi kerjaan Widuri yaitu membersihkan kamarnya yang yang berukuran 1.5 meter kali 2 meter itu. Air siraman itu juga membasahi semua baju lusuhnya yang hanya berjumlah beberapa lembar.

Tidak! Aku tidak akan biarkan diriku tertindas lagi! Aku harus keluar dari rumah ini. Aku yakin, dengan ijazahku aku bisa lamar pekerjaan sembari aju juga akan kuliah dengan mengajukan surat undangan ini. Batin Widuri mulai meronta, sembari tampa berkata Widuri mulai berdiri membereskan terlebih dahulu pekerjaan Rumahnya. Setelahnya barulah membersihkan kamarnya.

Satu persatu tugas rumah Widuri sudah di selesaikannya. Baju yang tadinya basah akibat siraman sudah mulai mengering di badan. Widuri tidak dapat mengganti bajunya karena baju yang lain ikut basa.

Sehingga widuri bisa berganti pakaian ketika baju yang lainnya sudah kering. Akibat pekerjaan rumah yang di kerjakannya sendiri, peluhnyapun tidak luput ikut membasahi bajunya. Rutinitas yang sudah di kerjakannya bahkan sejak Widuri berada di kelas tiga SD, membuatnya menjadi seorang wanita yang sigap dalam berbenah. Rumahnya yang kecil tetapi terus terlihat rapi dan bersih, tidak ada sedikitpun demu yang melekat.

Tiba –tiba ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Widuri, membuat perhatiannya sangat terusik. Sebuah mobil hitam yang tampilannya begitu elegan. Setelahnya seorang lelaki keluar dari mobil di ikuti seorang wanita cantik yang ikut keluar dari mobil. Mereka datang dan mendekat ke rumah Widuri.

^_^

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status