Meskipun dirinya masih kesulitan untuk berjalan tanpa bantuan tongkat penyangga bahu, Retno tetap tidak menghentikan pekerjaannya. Terlebih kini ia seakan memiliki asisten baru yang rela mengikutinya ke mana saja tanpa digaji sepeserpun. Bahkan siang ini ketika mereka baru keluar dari kantor pengacara untuk mengurus pemecahan kongsi usaha resto Retno dengan Handi
"Kalo aku jadi Tante, aku mending di rumah aja. Masa habis terapi jalan, terus kita ke kantor pengacara begini."
"Target Tante semua kelar sebelum acara lamaran tiga hari lagi, Mik."
"Aku tadi lihat wajah Om Handi enggak tega gitu, Tan. Kaya lagi stress berat. Baru juga dua minggu yang lalu Eyang jual sahamnya yang milyaran. Sekarang giliran Tante," kata Mikha pelan lalu ia menggelengkan kepalanya.
<Retno duduk di hadapan Nico sambil menatapnya lekat-lekat. Sudah hampir setengah jam ini dirinya meminta Nico untuk jujur kepadanya namun tetap saja Nico memilih bungkam."Kenapa kamu masih diam saja, Nic?'"Enggak, Mbak. Aku enggak diam ini.""Lalu sebenarnya apa yang terjadi.""Jawaban aku sama dengan apa yang Rio sampaikan ke Mbak Retno."Ya Tuhan, Retno merasa kesabarannya yang setipis tisu ini sudah di ujung tanduk. Tidak mungkin juga ia akan memaksa anak orang sampai menangis agar jujur kepadanya. Dengan berat hati, akhirnya Retno membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop coklat. Ia taruh amplop coklat dengan cap salah satu nama bank swasta ternama di ne
Retno duduk di kursi kerjanya yang ada di dalam butik. Ia tatap handphone miliknya sambil mengetuk-ngetuk pelan handphone itu di atas meja kerjanya. Dalam hatinya ia sudah yakin jika akan menanyakan kepada Rio perihal semuanya, namun bagaimana jika Rio curiga dari mana ia mengetahui semua itu? Sudah cukup Rio membenci Mikha, jangan sampai Rio tahu jika ia menguping semua ini dari pembicaraan Mikha di telepon dengan temannya.Cukup lama Retno berpikir hingga akhirnya ia memilih membalas pesan Rio dengan pesan saja. Rasanya itu lebih aman untuk dirinya karena ia memiliki waktu untuk berpikir tentang apa yang akan dirinya katakan kepada Rio. Di samping itu, saat ini Rio sudah memasuki jam kerjanya. Tidak mungkin Retno akan mengganggu konsentrasi Rio dengan bahasan yang tidak terlalu penting ini.Retno : Ri, maaf
Sikap Retno yang seperti ini membuat Rio cukup pusing menghadapinya. Ini adalah pengalaman pertama di hidupnya dan ia juga berharap merupakan pengalaman terakhirnya. Ia tidak mau ada jilid dua, tiga dan seterusnya. Beberapa saat berpikir hingga akhirnya Rio memilih untuk bertanya kepada yang lebih berpengalaman dalam urusan seperti ini. Ya, kemungkinan Juna bisa membantunya dan memberikan solusi atas masalahnya ini.Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rio segera mengambil handphonenya dan ia membuka group percakapannya dengan teman-teman pendakiannya. Tidak perlu malu, karena di sana ada istri Juna juga yang mungkin bisa memberikan sedikit solusi serta pandangannya dalam masalah yang sedang ia hadapi ini.Rio : Mas Juna, lo di mana, Mas?Pr
Meskipun dirinya masih kesulitan untuk berjalan tanpa bantuan tongkat penyangga bahu, Retno tetap tidak menghentikan pekerjaannya. Terlebih kini ia seakan memiliki asisten baru yang rela mengikutinya ke mana saja tanpa digaji sepeserpun. Bahkan siang ini ketika mereka baru keluar dari kantor pengacara untuk mengurus pemecahan kongsi usaha resto Retno dengan Handi"Kalo aku jadi Tante, aku mending di rumah aja. Masa habis terapi jalan, terus kita ke kantor pengacara begini.""Target Tante semua kelar sebelum acara lamaran tiga hari lagi, Mik.""Aku tadi lihat wajah Om Handi enggak tega gitu, Tan. Kaya lagi stress berat. Baru juga dua minggu yang lalu Eyang jual sahamnya yang milyaran. Sekarang giliran Tante," kata Mikha pelan lalu ia menggelengkan kepalanya.
Setelah menghabiskan waktunya hampir dua Minggu di rumah sakit, akhirnya kali ini Retno diijinkan untuk pulang ke rumah. Mengingat bagaimana perdebatannya dengan Hartono kemarin, Retno hanya bisa menghela napas panjang. Memang paling benar jika beradu debat dengan orangtua, yang merasa muda mengalah. Karena orangtua selalu punya jalan untuk memenangkan perdebatan."Kamu pulang ke rumah Papa sama Mama saja.""Enggak, Pa. Aku punya rumah sendiri. Aku mau pulang ke rumahku. Lagian kasian Susi di rumah sendirian.""Kalo kamu mau kontrol ke rumah sakit, terus kamu mau terapi jalan, gimana? Susi 'kan enggak bisa nyetir, Ret.""Masih banyak taxi online, Pa."
Ari : Ayah sama Bunda akan datang ke Jogja, Ri. Kamu enggak usah pusing-pusing lagi memikirkan masalah ini.Rio mengedipkan matanya beberapa kali saat membaca pesan ini. Benarkah semua ini? Jika benar maka semua akan cepat bisa diatasi. Segera Rio bangun dari atas ranjangnya dan berjalan keluar dari kamar.Ia panggil-panggil Nico yang sejak ia memasuki rumah ini belum bertemu dengan dirinya."Nic... Nico... lo di mana?"Tidak ada yang menyahut. Kini Rio memilih menaiki tangga untuk menuju ke kamar Nico. Ternyata saat ia membuka pintu kamar Nico, tidak ada si empunya rumah. Rio memilih menutup kembali pintu kamar itu. Rio kembali turun dan masuk ke kamar lagi untuk mengambil handphonenya. Segera saja ia menghubungi Nico. Beberapa saat menunggu sampai