LOGIN
Malam adalah satu–satunya jam kerja yang benar–benar hidup bagi Zhiya. Ia duduk di depan meja kerjanya, layar laptop menyala redup. Kalimat–kalimat yang ia tulis tampak seperti bayangan panjang yang baru saja kehilangan tubuhnya.
Di luar jendela apartemen lantai dua puluh tiga, Aetheria City tidak pernah tidur. Lampu neonnya menyala seperti kota yang terbuat dari ribuan pengakuan yang tidak pernah selesai.“Pameran artefak digital — jam sepuluh besok,” gumamnya pelan, membaca ulang notifikasi di sudut layar.
Tangannya berhenti di atas keyboard. Kursor berkedip, menunggu keputusan. “Jangan tidur, Zhiya. ” katanya setengah sadar.
Namun, matanya tiba-tiba mengerjap.
Jantung Zhiya berdetak ringan tapi seperti seseorang sedang mengetuk permukaan kaca tipis yang memisahkan dua realitas terlalu dekat.
Ia memejamkan mata sejenak.
Matanya berat. Tubuhnya letih. Tapi ia selalu menunda tidur selama mungkin.
Penundaan yang ia tahu sia–sia. Karena akhirnya ia tetap akan tertarik masuk ke sana. Ke dalam dunia laki-laki itu.
Lingga.Dan ini bukan yang pertama kali.
Nama itu tidak pernah ia sebutkan bahkan dalam pikirannya dengan lantang. Ia takut nama itu memiliki bobot magis yang bisa mempercepat transisi.
Kadang, tepat sebelum ia jatuh, Zhiya bisa merasakan jejak nafas lelaki itu… seperti memanggilnya dari celah antara mimpi dan kuburan.
Seolah ruhnya masih mengembara di ujung senja, menunggu seseorang datang… hanya untuk tetap hidup beberapa detik lebih lama.Ada sesuatu yang hangat, namun tidak pernah sepenuhnya bersifat manusia.Zhiya memegang cangkir bibirnya dengan tangan gemetar samar. Ia tahu ia tidak bisa bertahan lagi. Tubuhnya terjatuh perlahan, punggungnya bersandar ke kursi, kelopak matanya semakin merendah, dan suara kota yang semula hiruk pikuk berubah menjadi gema panjang, seperti sesuatu yang ditarik menjauh, semakin menjauh.Hingga hanya nada sunyi yang tersisa. Seperti nihil. Seperti jeda sebelum kematian.
Dan tepat ketika bayangan hitam menelan pandangannya, ia merasakan sesuatu menyentuh sisi dalam kesadarannya. Sentuhan fisik. Lelaki itu.
Lelaki ini lagi.Lingga, katanya. Seolah mengatakan tanpa suara.“Kau kembali.”Dan dunia Zhiya runtuh dalam satu helaan napas terakhir yang masih ia miliki sebagai manusia yang sadar.Saat Zhiya membuka mata, ia tidak lagi berada di apartemennya.Langit di atasnya adalah senja yang tidak pernah mati. Ungu keperakan yang seperti direndam dalam cahaya bintang yang belum pernah jatuh ke dunia manusia. Tidak ada garis horizon yang jelas. Dunia ini seperti digantung di antara dua realitas yang pernah ada, dan yang seharusnya sudah tiada.Zhiya berdiri di hamparan batu pelataran istana. Batu–batunya halus, hitam seperti obsidian, dingin seperti waktu yang telah berhenti. Istana itu menjulang diam. Menawan dan asing dan mematikan. Qingzhou terasa, mendesah sunyi.Seolah memanggil namanya tanpa suara. Seolah dunia ini sudah mengenalnya jauh lebih lama daripada ia mengenal dirinya sendiri.Tubuhnya, tetap tubuhnya. Tangannya tetap tangannya sendiri. Kulitnya tetap kulit yang ia kenal.Tidak ada penyamaran. Tidak ada medium lain.Dan itu membuat semuanya lebih mengerikan.Karena ini berarti Lingga tidak sekadar menarik “jiwa”. Ia menarik siapa Zhiya itu secara utuh. Langkah angin bergerak pelan di belakangnya. Suara kain tipis menyeret lantai batu. Zhiya tidak berani menoleh.“Kau tiba lebih cepat malam ini.”Nada itu halus. Tidak tinggi. Tidak rendah. Tapi memiliki dampak yang membuat dunia Qingzhou sendiri menahan napas. Zhiya perlahan memutar tubuhnya. Dan ia melihatnya.Mata gelap yang tidak hanya melihat tubuhnya. Tetapi menggenggam inti dirinya, seperti ia telah menyimpannya sebelum Zhiya pernah mengingat apa pun dalam hidup.Cahaya senja ungu keperakan memantul pada irisnya, dan Zhiya merasakan udara di sekitar mereka menegang.“Lingga…” lirih Zhiya.Namanya keluar sebagai bisikan. Hampir seperti mantra terlarang. Lingga menatapnya seolah ia baru saja melanggar satu hukum kuno.Pria itu mendekat. Ia kemudian mencengkram dagu Zhiya.“Kau tidak boleh menyebut namaku. Kecuali kau siap menerima konsekuensinya.”Zhiya menggigit bibirnya. “Apa— apa yang kamu mau?”“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus berada di sini.”Lingga kembali mendekat satu langkah. Hanya satu. Tapi jarak dunia terasa runtuh bersamanya.“Kau tahu,” katanya pelan. "Pada akhirnya, kau yang memanggilku.” lanjutnya.Zhiya menggeleng. “Aku tidak pernah memanggilmu,” tukas Zhiya.“Roh tidak pernah berbohong. Tapi ingatan manusia lah yang berbohong,” ujar Lingga dengan seringai tajamnya.Zhiya menatap tajam mata Lingga. Seolah masih tak percaya bahwa ia melihat raja yang telah mati ribuan tahun lalu berada tepat di depan matanya.Lingga kemudian melepas cengkraman pada dagu Zhiya. Tangannya beralih pada tangan mungil Zhiya yang tertutup hanfu. Ia kemudian menarik tubuh Zhiya dan mengangkat tubuh mungil itu meninggalkan pelataran istana yang mulai terasa dingin.“Akhirnya aku bisa menyentuhmu dengan sempurna,” bisik Lingga.Gadis itu terdiam. Tubuhnya seolah kaku dan tak bisa melawan perlakuan pria yang sedang mendekapnya itu.Semuanya terasa nyata. Tapi ia tahu, ini adalah mimpi panjang yang selalu ia hindari setiap malam. Mimpi yang terasa sangat menyesakkan. Lingga. Pria itu benar-benar terasa nyata baginya.
Zhiya mulai berkeringat begitu menyadari bahwa Lingga membawanya menuju kamar pribadi miliknya. Kamar yang bernuansa sangat mewah dan megah. Langit-langitnya tinggi, ditopang pilar kayu hitam obsidian yang dipoles hingga berkilau seperti hujan malam.
Di tiap ujung pilar, ukiran naga air meliuk dengan detail halus, seolah hidup, seolah setengah detik lagi mereka akan bangkit dan mengeluarkan napas dingin.Cahaya yang menerangi ruangan tidak berasal dari api merah. Tetapi dari lentera kaca giok hijau pucat. Cahaya lembut yang seperti kabut spiritual sungai kuno. Cahaya itu tidak menghangatkan tubuh. Tapi hanya menghangatkan jiwa.Di bagian tengah ruangan, terdapat ranjang raja yang cukup lebar, bersusun dua tingkat, terbuat dari kayu wangi langka dari gunung timur Qingzhou. Tirainya dari benang sutra perak tembus pandang, bergerak halus walau tidak ada angin.Dengan perlahan, Lingga meletakkan Zhiya diatas ranjang itu. Menatap wajah gadis itu dengan penuh arti. Zhiya membalasnya. Ia menatap tajam wajah Lingga dengan penuh pertanyaan yang terputar di otaknya.“Apa yang kau inginkan dariku…?” Suara Zhiya nyaris tidak terdengar.Lingga menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat sampai Zhiya dapat merasakan panas napasnya. Tatapan Lingga bukan milik lelaki biasa, tetapi milik raja yang kehilangan dunia, kehilangan nyawanya, dan kini akhirnya menemukan satu hal yang masih bisa ia genggam.“Aku ingin memastikan kau tetap menjadi nyata di sini,” bisiknya. “Aku ingin memastikan kau tidak lenyap lagi.”Tangannya menyentuh garis rahang Zhiya. Sentuhan itu kokoh. Nyata. Hangat. Tubuh Zhiya merespon, bukan hanya secara fisik. Namun secara esensi rohnya.Satu detik itu saja sudah cukup untuk membuat api yang bertahan dalam Lingga kembali menyala. Zhiya menatapnya balik, tanpa menolak.Ia tahu pilihan cinta ini akan merusak keseimbangan dua dunia. Dan ia tidak lari dari konsekuensinya. Lingga mencondongkan wajahnya, dengan lambat, dengan intensitas yang berbahaya, dengan kesadaran penuh bahwa yang ia lakukan bukan sekadar hasrat tubuh.Ini adalah ritual. Ini adalah pemanggilan kembali jiwa. Ia menyentuhkan keningnya pada kening Zhiya terlebih dahulu, bukan bibir.Karena pada roh, itu adalah bentuk paling sakral untuk mengikat.
“Jika kau tetap ingin bertahan di sini, jika kau memilih aku, maka setelah malam ini, api antara kita tidak akan pernah bisa padam.”Suara Lingga rendah. Nyaris seperti mantra.Zhiya mengangguk kecil, seolah terhipnotis oleh Pria yang berada di hadapannya.Untuk pertama kalinya, Bibir mereka mulai tertaut. Ragu, tapi Zhiya tak mampu melawan hasratnya. Ia tak bisa berbohong. Pria yang sedang bersamanya saat ini, membuat ia merasa sangat nyaman. Bahkan lebih nyaman daripada di dunianya sendiri.Sentuhan halus dari tangan Lingga mulai liar. Jari lentiknya mulai meraba dan menarik tali yang mengikat hanfu milik Zhiya dengan sempurna. Zhiya tak melawan. Ia membiarkan Pria itu melanjutkan aksinya.“Eungh…”Satu desahan lolos dari mulut Zhiya. Lingga tersenyum. Ini pertanda bahwa gadis itu akan menjadi miliknya seutuhnya. Pria itu mulai menindih tubuh Zhiya. Ia menyingkap rambut Zhiya yang menutupi wajah teduhnya itu.Kini, Zhiya sudah polos tanpa tertutup sehelai kain pun. Lingga berhasil meluluhkan gadis itu tanpa perlawanan sedikit pun. Jari lentik Lingga mulai meraba dan meraih tangan Zhiya sembari terus mencium bibir mungil gadis itu yang membuatnya candu.Ia tak kuasa mengecupi seluruh tubuh Zhiya yang dilapisi kulit mulus bak kristal salju. Sementara Zhiya, gadis itu hanya bisa memejamkan matanya dan menikmati setiap sentuhan Lingga yang membuatnya semakin terlena.“Yu Zhiya. Mulai hari ini, kau akan menjadi milikku seutuhnya,” bisik Lingga.“Ahh…..”Erang Zhiya begitu Lingga mendorong tubuhnya dan memecah seluruh jarak yang menghalangi mereka. Kini, Zhiya benar-benar memasrahkan dirinya pada pria yang berada diatas tubuhnya.Malam-malam berikutnya, pikiran itu tidak lagi sekadar bayangan. Ia menetap. Zhiya duduk sendirian di pantai, pasir dingin menyentuh telapak kakinya. Laut berkilau gelap, memantulkan cahaya bulan yang kian menipis. Di kejauhan, mercusuar berputar pelan—penanda arah bagi kapal yang ragu. Ia menatapnya lama, lalu menunduk, menyadari ironi yang membuat dadanya sesak. Selama ini ia bertahan di Aetheria karena tubuhnya ada di sini. Karena kehidupan yang seharusnya. Karena rasa aman yang masuk akal. Namun Qingzhou memanggilnya bukan sebagai pelarian. Melainkan sebagai tujuan. Ia teringat wajah Lingga saat berkata ia merindukannya—bukan permintaan, bukan tuntutan. Hanya kebenaran yang dibiarkan berdiri apa adanya. Ia teringat kematian yang disaksikannya, pengorbanan yang tak pernah diberi pilihan. Dan ia teringat kata-kata ibunya: jangan pergi karena ditarik—pergilah karena memilih. Zhiya menutup mata. “Aku tidak ingin kembali sebagai roh yang terseret,” bisiknya pada angin l
Udara di kamar itu kembali berubah. Bukan seperti mimpi yang runtuh, melainkan seperti kenyataan yang bergeser setengah langkah. Cahaya lampu meredup tanpa padam. Bayangan di sudut ruangan memanjang, lalu berhenti—terlalu teratur untuk sekadar permainan cahaya. Zhiya merasakannya lebih dulu daripada melihatnya. Ia menoleh perlahan. Di dekat jendela, di tempat tirai tipis bergoyang pelan, sebuah bayangan berdiri. Bukan hitam pekat, melainkan berlapis—seperti siluet yang diisi cahaya redup dari dalam. Garis bahunya tegas. Posturnya dikenalnya terlalu baik. “Lingga…?” suaranya nyaris tak keluar. Bayangan itu bergerak satu langkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi, namun keberadaannya terasa—menekan udara, menenangkan sekaligus menggentarkan. “Aku tidak ingin kau melihatnya dengan cara itu,” suara Lingga terdengar. Bukan gema, bukan bisikan. Nyata. Berat. “Tapi kau memang harus tahu.” “Lingga, aku, tak sanggup melihatmu menderita seperti itu,” lirih Zhiya dengan air mata ya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seolah waktu di pesisir Aetheria kehilangan kebiasaan lamanya. Zhiya tenggelam dalam pikirannya. Ia tetap bangun pagi, membantu ibunya di rumah, berjalan menyusuri pantai saat matahari naik rendah. Dari luar, ia tampak baik-baik saja—lebih sehat bahkan, dibanding saat ia terbaring tak sadar di rumah sakit. Namun di dalam dirinya, kata-kata Lingga terus berulang, berlapis-lapis, tak mau diam. Bulan hitam akan naik. Rohmu akan tertarik kembali. Setiap kali angin laut menyentuh kulitnya, Zhiya bertanya-tanya apakah itu benar-benar angin, atau hanya cara lain dunia lain mengingatkannya. Saat malam tiba dan bulan biasa menggantung pucat di langit, ia menatap terlalu lama, menunggu sesuatu yang tidak seharusnya datang. Tidurnya dangkal. Dalam mimpi, ia tidak selalu kembali ke Qingzhou. Kadang hanya koridor kosong tanpa lentera. Kadang suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Kadang bayangan Lingga yang berdiri jauh, ti
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang pelan—ritme yang sengaja dipilih agar tubuh Zhiya benar-benar belajar tinggal. Pagi itu, sinar matahari jatuh lembut di kamar rawat. Zhiya duduk setengah bersandar, sudah tanpa infus, hanya monitor kecil yang sesekali berbunyi tenang. Ibunya duduk di kursi dekat jendela, mengupas apel dengan gerakan hati-hati, seolah setiap potongan adalah doa kecil agar semuanya baik-baik saja. Arga berdiri di ambang pintu ketika dokter masuk, membawa map tipis. “Kondisi pasien stabil,” katanya. “Hari ini boleh pulang, dengan catatan istirahat total. Tidak begadang, tidak stres berat.” Zhiya tersenyum kecil. “Siap, Dok.” Setelah dokter pergi, ibunya menoleh. “Kita pulang ke rumah ibu dulu,” katanya tegas namun penuh sayang. “Apartemenmu terlalu sunyi untuk orang yang baru kembali.” Zhiya mengangguk. “Aku juga ingin itu.” Arga membantu membereskan barang-barang kecil. Saat semuanya siap, Zhiya berdiri pelan, merasakan lantai dingin di telapak kakinya
Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik
Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.







