แชร์

Tawanan Hasrat Raja Lingga
Tawanan Hasrat Raja Lingga
ผู้แต่ง: QuinzeeQ

Awal keterhubungan

ผู้เขียน: QuinzeeQ
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-10 12:30:33

Malam adalah satu–satunya jam kerja yang benar–benar hidup bagi Zhiya. Ia duduk di depan meja kerjanya, layar laptop menyala redup. Kalimat–kalimat yang ia tulis tampak seperti bayangan panjang yang baru saja kehilangan tubuhnya.

Di luar jendela apartemen lantai dua puluh tiga, Aetheria City tidak pernah tidur. Lampu neonnya menyala seperti kota yang terbuat dari ribuan pengakuan yang tidak pernah selesai.

“Pameran artefak digital — jam sepuluh besok,” gumamnya pelan, membaca ulang notifikasi di sudut layar.

Tangannya berhenti di atas keyboard. Kursor berkedip, menunggu keputusan. “Jangan tidur, Zhiya. ” katanya setengah sadar.

Namun, matanya tiba-tiba mengerjap.

Jantung Zhiya berdetak ringan tapi seperti seseorang sedang mengetuk permukaan kaca tipis yang memisahkan dua realitas terlalu dekat.

Ia memejamkan mata sejenak.

Matanya berat. Tubuhnya letih. Tapi ia selalu menunda tidur selama mungkin.

Penundaan yang ia tahu sia–sia. Karena akhirnya ia tetap akan tertarik masuk ke sana. Ke dalam dunia laki-laki itu.

Lingga.

Dan ini bukan yang pertama kali.

Nama itu tidak pernah ia sebutkan bahkan dalam pikirannya dengan lantang. Ia takut nama itu memiliki bobot magis yang bisa mempercepat transisi.

Kadang, tepat sebelum ia jatuh, Zhiya bisa merasakan jejak nafas lelaki itu… seperti memanggilnya dari celah antara mimpi dan kuburan.

Seolah ruhnya masih mengembara di ujung senja, menunggu seseorang datang… hanya untuk tetap hidup beberapa detik lebih lama.

Ada sesuatu yang hangat, namun tidak pernah sepenuhnya bersifat manusia.

Zhiya memegang cangkir bibirnya dengan tangan gemetar samar. Ia tahu ia tidak bisa bertahan lagi. Tubuhnya terjatuh perlahan, punggungnya bersandar ke kursi, kelopak matanya semakin merendah, dan suara kota yang semula hiruk pikuk berubah menjadi gema panjang, seperti sesuatu yang ditarik menjauh, semakin menjauh. 

Hingga hanya nada sunyi yang tersisa. Seperti nihil. Seperti jeda sebelum kematian.

Dan tepat ketika bayangan hitam menelan pandangannya, ia merasakan sesuatu menyentuh sisi dalam kesadarannya. Sentuhan fisik. Lelaki itu.

Lelaki ini lagi.

Lingga, katanya. Seolah mengatakan tanpa suara.

“Kau kembali.”

Dan dunia Zhiya runtuh dalam satu helaan napas terakhir yang masih ia miliki sebagai manusia yang sadar.

Saat Zhiya membuka mata, ia tidak lagi berada di apartemennya.

Langit di atasnya adalah senja yang tidak pernah mati. Ungu keperakan yang seperti direndam dalam cahaya bintang yang belum pernah jatuh ke dunia manusia. Tidak ada garis horizon yang jelas. Dunia ini seperti digantung di antara dua realitas yang pernah ada, dan yang seharusnya sudah tiada.

Zhiya berdiri di hamparan batu pelataran istana. Batu–batunya halus, hitam seperti obsidian, dingin seperti waktu yang telah berhenti. Istana itu menjulang diam. Menawan dan asing dan mematikan. Qingzhou terasa, mendesah sunyi.

Seolah memanggil namanya tanpa suara. Seolah dunia ini sudah mengenalnya jauh lebih lama daripada ia mengenal dirinya sendiri.

Tubuhnya, tetap tubuhnya. Tangannya tetap tangannya sendiri. Kulitnya tetap kulit yang ia kenal.

Tidak ada penyamaran. Tidak ada medium lain.

Dan itu membuat semuanya lebih mengerikan.

Karena ini berarti Lingga tidak sekadar menarik “jiwa”. Ia menarik siapa Zhiya itu secara utuh. Langkah angin bergerak pelan di belakangnya. Suara kain tipis menyeret lantai batu. Zhiya tidak berani menoleh.

“Kau tiba lebih cepat malam ini.”

Nada itu halus. Tidak tinggi. Tidak rendah. Tapi memiliki dampak yang membuat dunia Qingzhou sendiri menahan napas. Zhiya perlahan memutar tubuhnya. Dan ia melihatnya.

Mata gelap yang tidak hanya melihat tubuhnya. Tetapi menggenggam inti dirinya, seperti ia telah menyimpannya sebelum Zhiya pernah mengingat apa pun dalam hidup.

Cahaya senja ungu keperakan memantul pada irisnya, dan Zhiya merasakan udara di sekitar mereka menegang.

“Lingga…” lirih Zhiya.

Namanya keluar sebagai bisikan. Hampir seperti mantra terlarang. Lingga menatapnya seolah ia baru saja melanggar satu hukum kuno.

Pria itu mendekat. Ia kemudian mencengkram dagu Zhiya.

“Kau tidak boleh menyebut namaku. Kecuali kau siap menerima konsekuensinya.”

Zhiya menggigit bibirnya. “Apa— apa yang kamu mau?”

“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus berada di sini.”

Lingga kembali mendekat satu langkah. Hanya satu. Tapi jarak dunia terasa runtuh bersamanya.

“Kau tahu,” katanya pelan. "Pada akhirnya, kau yang memanggilku.” lanjutnya.

Zhiya menggeleng. “Aku tidak pernah memanggilmu,” tukas Zhiya.

“Roh tidak pernah berbohong. Tapi ingatan manusia lah yang berbohong,” ujar Lingga dengan seringai tajamnya.

Zhiya menatap tajam mata Lingga. Seolah masih tak percaya bahwa ia melihat raja yang telah mati ribuan tahun lalu berada tepat di depan matanya.

Lingga kemudian melepas cengkraman pada dagu Zhiya. Tangannya beralih pada tangan mungil Zhiya yang tertutup hanfu. Ia kemudian menarik tubuh Zhiya dan mengangkat tubuh mungil itu meninggalkan pelataran istana yang mulai terasa dingin.

“Akhirnya aku bisa menyentuhmu dengan sempurna,” bisik Lingga.

Gadis itu terdiam. Tubuhnya seolah kaku dan tak bisa melawan perlakuan pria yang sedang mendekapnya itu.

Semuanya terasa nyata. Tapi ia tahu, ini adalah mimpi panjang yang selalu ia hindari setiap malam. Mimpi yang terasa sangat menyesakkan. Lingga. Pria itu benar-benar terasa nyata baginya.

Zhiya mulai berkeringat begitu menyadari bahwa Lingga membawanya menuju kamar pribadi miliknya. Kamar yang bernuansa sangat mewah dan megah. Langit-langitnya tinggi, ditopang pilar kayu hitam obsidian yang dipoles hingga berkilau seperti hujan malam.

Di tiap ujung pilar, ukiran naga air meliuk dengan detail halus, seolah hidup, seolah setengah detik lagi mereka akan bangkit dan mengeluarkan napas dingin.

Cahaya yang menerangi ruangan tidak berasal dari api merah. Tetapi dari lentera kaca giok hijau pucat. Cahaya lembut yang seperti kabut spiritual sungai kuno. Cahaya itu tidak menghangatkan tubuh. Tapi hanya menghangatkan jiwa.

Di bagian tengah ruangan, terdapat ranjang raja yang cukup lebar, bersusun dua tingkat, terbuat dari kayu wangi langka dari gunung timur Qingzhou. Tirainya dari benang sutra perak tembus pandang, bergerak halus walau tidak ada angin.

Dengan perlahan, Lingga meletakkan Zhiya diatas ranjang itu. Menatap wajah gadis itu dengan penuh arti. Zhiya membalasnya. Ia menatap tajam wajah Lingga dengan penuh pertanyaan yang terputar di otaknya.

“Apa yang kau inginkan dariku…?” Suara Zhiya nyaris tidak terdengar.

Lingga menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat sampai Zhiya dapat merasakan panas napasnya. Tatapan Lingga bukan milik lelaki biasa, tetapi milik raja yang kehilangan dunia, kehilangan nyawanya, dan kini akhirnya menemukan satu hal yang masih bisa ia genggam.

“Aku ingin memastikan kau tetap menjadi nyata di sini,” bisiknya. “Aku ingin memastikan kau tidak lenyap lagi.”

Tangannya menyentuh garis rahang Zhiya. Sentuhan itu kokoh. Nyata. Hangat. Tubuh Zhiya merespon, bukan hanya secara fisik. Namun secara esensi rohnya.

Satu detik itu saja sudah cukup untuk membuat api yang bertahan dalam Lingga kembali menyala. Zhiya menatapnya balik, tanpa menolak.

Ia tahu pilihan cinta ini akan merusak keseimbangan dua dunia. Dan ia tidak lari dari konsekuensinya. Lingga mencondongkan wajahnya, dengan lambat, dengan intensitas yang berbahaya, dengan kesadaran penuh bahwa yang ia lakukan bukan sekadar hasrat tubuh.

Ini adalah ritual. Ini adalah pemanggilan kembali jiwa. Ia menyentuhkan keningnya pada kening Zhiya terlebih dahulu, bukan bibir.

Karena pada roh, itu adalah bentuk paling sakral untuk mengikat.

“Jika kau tetap ingin bertahan di sini, jika kau memilih aku, maka setelah malam ini, api antara kita tidak akan pernah bisa padam.”

Suara Lingga rendah. Nyaris seperti mantra.

Zhiya mengangguk kecil, seolah terhipnotis oleh Pria yang berada di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, Bibir mereka mulai tertaut. Ragu, tapi Zhiya tak mampu melawan hasratnya. Ia tak bisa berbohong. Pria yang sedang bersamanya saat ini, membuat ia merasa sangat nyaman. Bahkan lebih nyaman daripada di dunianya sendiri.

Sentuhan halus dari tangan Lingga mulai liar. Jari lentiknya mulai meraba dan menarik tali yang mengikat hanfu milik Zhiya dengan sempurna. Zhiya tak melawan. Ia membiarkan Pria itu melanjutkan aksinya.

“Eungh…”

Satu desahan lolos dari mulut Zhiya. Lingga tersenyum. Ini pertanda bahwa gadis itu akan menjadi miliknya seutuhnya. Pria itu mulai menindih tubuh Zhiya. Ia menyingkap rambut Zhiya yang menutupi wajah teduhnya itu.

Kini, Zhiya sudah polos tanpa tertutup sehelai kain pun. Lingga berhasil meluluhkan gadis itu tanpa perlawanan sedikit pun. Jari lentik Lingga mulai meraba dan meraih tangan Zhiya sembari terus mencium bibir mungil gadis itu yang membuatnya candu.

Ia tak kuasa mengecupi seluruh tubuh Zhiya yang dilapisi kulit mulus bak kristal salju. Sementara Zhiya, gadis itu hanya bisa memejamkan matanya dan menikmati setiap sentuhan Lingga yang membuatnya semakin terlena.

“Yu Zhiya. Mulai hari ini, kau akan menjadi milikku seutuhnya,” bisik Lingga.

“Ahh…..”

Erang Zhiya begitu Lingga mendorong tubuhnya dan memecah seluruh jarak yang menghalangi mereka. Kini, Zhiya benar-benar memasrahkan dirinya pada pria yang berada diatas tubuhnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status