:)
Xavier menyeret Hazel menjauh dari penginapan dengan langkah panjang dan tanpa kompromi. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mengkilap telah menunggu dengan mesin menyala. Tanpa banyak kata, Xavier mendorong Hazel masuk ke dalam mobil tanpa memberi celah untuk Hazel melarikan diri.Saat mobil melaju, tiba-tiba saja...“Aw!” erang Xavier pelan, terkejut saat Hazel menggigit tangannya dengan geram. Tapi bukannya merasa bersalah, gadis itu justru memalingkan wajahnya dengan ekspresi dingin.Xavier hanya menghela nafas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi. “Liar sekali mulut... dan gigimu.”Perjalanan berlangsung tak terlalu lama. Begitu mobil berhenti di depan sebuah rumah besar yang terlihat seperti benteng rahasia zaman perang, Xavier kembali memaksa Hazel turun."Apa ini? Markas penculik?!" celetuk Hazel sambil menghentakkan kakinya saat ditarik masuk.Seorang pria berbadan tegap, berwajah dingin, berdiri di ambang pintu. Matanya menusuk seperti silet.“Siapa yang Anda bawa?” suaranya din
Yacht melesat membelah ombak, dentuman mesin berpacu dengan detak jantung Hazel yang tak beraturan. Namun di belakang mereka, speedboat hitam terus mengejar, melaju ganas seperti binatang buas yang mencium aroma darah.Tembakan meletus.Peluru menghantam sisi yacht, menciptakan lubang-lubang tajam di dinding logam. Suara pecahan, debur ombak, dan desingan peluru bercampur menjadi simfoni mematikan. Hazel merunduk, menjerit pelan saat kaca kecil di dekatnya pecah.Xavier tetap fokus. Tangannya mencengkeram kemudi, memutar arah secepat mungkin menuju dermaga terdekat. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Ia tahu… jika mereka tak bisa keluar dari kapal tepat waktu, maka semuanya akan berakhir di sini.Ketika daratan mulai tampak, tembakan perlahan berhenti. Seolah pengejar sadar, mereka tak bisa menembak di area publik tanpa konsekuensi besar.Yacht menabrak pelampung dermaga dan berhenti kasar. Tanpa ragu, Xavier melompat turun, tangannya terulur ke Hazel."Cepat!"Begitu kaki Hazel menjej
Ternyata ruang bawah tanah yang Xavier tunjukkan pada Hazel bukan hanya sekedar bunker gelap tak terurus, melainkan labirin tersembunyi yang mengarah jauh lebih dalam. Sebuah lorong panjang bercabang membawanya menuju ujung yang tak terduga, berakhir di sebuah celah rahasia yang langsung menghadap ke laut terbuka.Di mulut lorong itu, tanaman liar menjalar liar dan lebat, membentuk tirai alami yang menyamarkan keberadaannya. Hazel memandangi pemandangan itu dengan takjub, di balik semak liar dan reruntuhan batu, terdapat keindahan alam yang tak tersentuh dan menenangkan.“Jadi... saat semua kekacauan itu terjadi, kau dan ibumu sempat bersembunyi di sini?” tanya Hazel saat mereka kembali ke ruang utama bawah tanah.Xavier yang tengah membongkar isi peti kayu tua menoleh sekilas. Cahaya remang memantul di wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahangnya yang kaku.“Kami bersembunyi di sini saat semuanya mulai hancur. Aku masih remaja waktu itu. Setelah ibuku meninggal, aku kabur... ke N
Pagi itu, udara Italia menyambut dengan kehangatan yang menenangkan. Laut berkilau, mentari memeluk pelan kulit bumi yang masih lembab sisa embun malam. Hazel membuka jendela kamarnya yang semalam tidak ia tutup dengan gorden, dengan penuh perasaan ia menghirup dalam-dalam udara laut yang segar.Hari ini, ia telah merencanakan liburan kecil untuk dirinya sendiri. Sebuah yacht pribadi, laut tenang, dan waktu untuk menikmati segalanya... sendirian. Ya, hanya dirinya dan lautan. Tak ada gangguan. Tak ada keributan. Tak ada...dia.Dengan semangat, Hazel melangkah menuju dermaga, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, senyum menggantung tipis di wajah. Ia sudah menyewa sebuah yacht untuk menikmati udara tenang dan hangat ini tanpa gangguan, ya begitulah rencana awalnya, sampai kekecewaan yang akhirnya Hazel dapatkan.Senyum itu langsung pudar begitu ia melihat sosok menyebalkan itu berdiri santai di atas dek yacht, tangan bersandar pada pagar kapal, dan tentu saja senyum angkuh menghi
Hazel akhirnya tiba kembali di penginapan, tanpa gangguan dari Xavier, tanpa suara langkah yang mengintai, hanya kesunyian malam yang menggantung di udara. Ia menutup pintu kamarnya perlahan, seolah takut suara berderit bisa memicu masalah lain.Dengan langkah lesu, ia menjatuhkan diri ke atas ranjang. Punggungnya menyentuh kasur dingin, dan sebuah helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka menatap langit-langit yang tak menawarkan jawaban apa pun."Ini benar-benar di luar nalar," batinnya. "Aku pergi jauh-jauh ke Italia demi menjauh dari Xavier, untuk menikmati hidup santai meski sejenak. Tapi ternyata aku justru datang ke tempat asalnya, seolah semesta sedang mempermainkanku."Hazel menggigit bibir bawahnya, perasaan frustasi dan lelah bergumul di dadanya. "Setiap kali aku berada di tempat yang sama dengannya... selalu ada yang tidak beres. Selalu ada yang berbahaya. Dan aku lelah."Ia hendak kembali memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapu
Angin malam Italia berhembus lembut, membawa aroma sungai Arno yang mengalir tenang di bawah cahaya bulan. Hazel berdiri di balkon kecil hotel tempatnya menginap, membiarkan semilir udara segar menyapu rambut dan wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang.Matanya mengamati panorama kota Firenze yang menyala hangat oleh lampu jalan dan sinar dari jendela toko-toko tua. Di kejauhan, kubah-kubah bangunan klasik berdiri megah, seolah menyambutnya ke dalam kisah lain yang akan segera dimulai.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Hazel merasa sedikit bebas. Tidak ada bayangan yang membuntuti, tidak ada suara langkah tergesa di belakangnya, dan tidak ada darah. Hanya ketenangan... setidaknya begitu yang ia harapkan.Ia mengenakan mantel tipis, lalu melangkah keluar dari hotel. Tujuannya sederhana, mencari makan malam dan menikmati malam di negeri asing ini. Langkahnya menyusuri jalanan berbatu khas kota tua, hingga matanya menangkap sebuah restoran k