LOGINDona ikut tersentak kaget. Entah kenapa untuk sekarang ia berubah cengeng. Biasanya ia selalu kuat. Selalu menang argumen dari Bayu.
Sikap yang sekuat tadi seketika sirna. Air matanya tidak bisa lagi ia tampung. Tumpah berceceran, membasahi pipi. Mungkin perasaannya yang teramat dalam pada Bayu, yang membuatnya bisa sebodoh ini. "Keterlaluan kamu Bayu!" isaknya menangis. Dona tidak bisa tahankan lagi. Memilih untuk segera pergi. Rasanya sakit saja, kedatangannya tidak diharap. Justru Bayu terlihat tidak suka. Bahkan menggertak sekuat tenaga di depan Kartika. Padahal ia hanya butuh perhatian, serta kehadiran Bayu di tengah-tengah momen penting di hidupnya. Nyatanya sekarang, sikap Bayu mulai berubah. Jarang bersama, bahkan sangat sulit untuk ditemui. Bayu belum bersikap setelah melihat Dona pergi. Namun, bukan berarti ia acuh. Diamnya sambil terus berpikir. Perasaanya dilanda dilema. Memilih antara ego atau pergi mengejar Dona, yang notabene anak dari pemilik perusahaan sekaligus pemegang saham terbesar perusahaan. Bayu pejamkan sejenak matanya sambil mengepalkan telapak tangan. Mencoba menekan ego sekuat tenaga. "Huft!" "DONA!" lantangnya memanggil. Tidak bisa ia abaikan Dona begitu saja. Bagaimanapun, selama ini Dona telah membantu banyak dirinya. Termasuk dalam urusan pekerjaan. Bayu bangkit segera dari kursi. Berlari keluar mengejar Dona. Namun, sebelum pergi ia sempatkan menatap dulu Kartika yang berdiri di ujung sana. Kartika balas tatapan Bayu yang nanar, bingung sendiri dengan kondisinya. Tapi tidak berani Kartika berkata apapun ataupun ikut berkomentar. Sepanjang pertengkaran berlangsung, ia berdiri di sana. Menjadi saksi sekaligus menjadi pendengar. Sebenarnya bukan sekali ini saja. Selama bekerja di sana, tidak hanya sekali ia mendengar ribut-ribut antara Bayu dan tuangannya, Dona. Kartika paham akan kapastisanya untuk tidak ikut campur atau memberi nasehat pada Bayu. Termasuk tidak ingin kehadirannya jadi pemicu, orang ketiga diantara hubungan mereka. Nyatanya, hati kecilnya belum juga rela melepaskan. Perasaannya sudah terlanjur nyaman dengan Bayu. Seperti menemukan rumah baru. Kartika temenung sendiri ditemani suara tetesan air kran serta tangan yang tetap sibuk mengelap gelas-gelas kaca. Pikirannya menerawang, teringat masa-masa mesranya dengan Bayu. Saat awal pertama kali perasaan itu tumbuh. * * * Juni, 08:30 Kartika bangun lebih pagi lalu memulai semua pekerjaan rumah seperti biasa. Hari ini terhitung sudah sepekan ia tinggal dan bekerja. Ia sudah mulai nyaman serta sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Suara bising alat rumah tangga sudah terdengar riuh sejak pagi. Mulai dari mesin cuci, blender sampai vakum cleaner. Kartika begitu sibuk, berkutat dengan semua alat-alat modern ini. Beralih-alih dari memasak hingga mencuci piring. Di sebelah sana, Bayu duduk di sofa panjang sambil menikmati sebotol minuman dingin. Kepalanya masih sedikit pusing. Efek minuman yang ia konsumi. Semalam ia baru saja keluar minum dengan teman-teman. Baru juga tiba di rumah subuh tadi diantar salah seorang rekan. Namun tidak bisa lagi untuknya beristirahat. Alaram pagi memanggilnya untuk lekas bangun. Tanggung jawab pekerjaan juga ikut menyadarkannya agar lekas bangkit. Sesekali Bayu memijat kening yang masih terasa pusing. Kesadaran ini belum kembali normal. Pandangan matanya kabur. Melihat bayang-bayang Kartika yang pecah jadi sepuluh. Bayu paksakan berdiri. Berjalan mendekati Kartika meski oleng. Tanpa perhitungan ia menjatuhkan diri. Mendekap erat tubuh Kartika dari arah belakang. "Mas!" Kartika spontan kaget. Reflek melepas pelukan Bayu. "Mau kemana sih? Biarin aku gini dulu," protes Bayu lengkap dengan suara serak khas bangun tidur. Ia sudah terlanjur nyaman begini. Enggan untuk melepas. Kartika terpaksa menuruti. Membiarkan Bayu dalam posisi begini. Memejamkan mata seraya memeluknya. Ia masih begitu sulit untuk melepaskan pelukan Bayu yang teramat kuat. Kekuatannya tidak sebanding. Porsi tubuhnya juga tidak imbang melawan Bayu yang punya postur tubuh atletlis bak dewa yunani. Cukup lama Kartika dipaksa begini. Sampai membuat wanita ini risih lalu kembali melawan. "Mas lepas! Saya gak enak, takut dilihat Mbak Dona," protesnya. Bayu turuti itu, tapi mata ini belum beralih, menatap lekat kearah Kartika. Ia juga tidak menginginkan jarak. Berusaha mendekat sampai wanita ini takut. "Mas, jangan deket-deket. Saya gak enak." Kartika gugup, membuang wajah kearah lain. Tapi untuk berlari ia tidak bisa. Bayu terlalu licik mengunci tubuhnya, menyudutkannya pada tepian meja. Kartika semakin gugup saat wajah Bayu mendekat. Selalu memalingkan wajahnya kearah lain. Enggan menatap balik. Sempat terbesit keinginan untuk melawan dan berbuat kasar. Hanya saja, Kartika masih berpikir kemana nanti ia akan pergi. Sedang ia sangat butuh pekeraan ini. Baru juga ia diterima dan belum menerima gaji sepeserpun. Kartika coba pejamkan rapat-rapat matanya. Berharap Bayu iba dan mengakhiri kegilannya. "Kartika, gimana kalau kita coba jalani hubungan dewasa," bisik Bayu seketika membuka kedua matanya sampai terbelalak lebar. Kartika coba pahami maksud ucapan Bayu yang terdengar ganjil di otak. "Maksud Mas Bayu?" "Hubungan dewasa, antara kamu dan aku. Dan hanya kita yang tahu." Kartika terbelelak, mencoba mencari jawaban dari sorot mata Bayu. Bayu cukup tersenyum ringan. Meraih tangan Kartika lalu mengecup kecil pada punggung tangannya. Kartika reflek menarik tangannya. Menyembunyikannya dari Bayu. "Maaf Mas, saya gak bisa," tolaknya cepat. Berharap Bayu tersadar dari ide gilanya itu. Nyatanya tidak semudah itu, Bayu beralih meraih dagunya. Membingkai wajah cantik Kartika sambil tersenyum tipis. "Kenapa gak bisa?" "Mas Bayu, jangan gila! Gimana sama Mbak Dona?" tegur Kartika keras. Bayu masih saja bisa tersenyum. Membelai rambut Kartika sambil berkata. "Dona gak akan tahu sayang, hubungan ini hanya kita yang tahu," rayunya masih membelai lembut rambut Kartika. Kartika berusaha untuk tidak terlena. Meski sebetulnya ia juga menginginkan ini. Sudah lama ia tidak mendapat perlakuan semanis ini. Mantan suaminya yang dulu begitu cuek. Jarang sekali menyentuh atau memanggilnya dengan sebutan mesra. Pikiran dan hati Kartika sedang bertaruh. Berusaha untuk berpikir logis. Menepis tawaran Bayu. "Maaf Mas, saya gak tertarik," ungkapnya, terlihat begitu puas setelah bisa berkata. Tawa Bayu pecah, terkekeh dengan aksi penolakan Kartika. Bayu sendiri punya alasan kuat. Ia merasa tidak bisa diremehkan. Diluar sana banyak para wanita yang berebut untuk bisa dekat dengannya. Ia sangat yakin dengan ketampanan haqiqi serta kesempurnaan hidup yang ia miliki. "Kamu gak bisa bohong Kartika. Mustahil kalau kamu menolak. Bukannya selama ini diam-diam kamu selalu memperhatikanku." Bibir Kartika beku. Terkejut dengan ucapan Bayu kali ini. Tidak munafik, sejauh ini ia sangat mengagumi Bayu. Tidak menyangka Bayu memperhatikan gelagatnya. Namun, tidak berani ia berekspetasi terlalu tinggi. Ia dan Bayu terlalu jauh, bagai langit dengan bumi. Bayu kembali tersenyum kecil. Mendekat sampai menekan tubuh Kartika ke tepian meja. "Hanya kita, aku dan kamu," bisik pria ini penuh arti lebih dalam. Bayu semakin merapatkan tubuhnya. Membuat tubuh Kartika terkunci. Bibirnya ikut terkunci. Disertai pandangan mata yang kosong. Menatap samar-samar bibir Bayu yang semakin mendekati. Serta hawa panas nafasnya semakin terasa. Cup! Kartika tidak bisa berpaling. Memejamkan mata, mengikuti kata otak. Semakin dalam, dalam dan jauh. Tidak sadar jika pakainnya yang dikenakan mulai tanggal. "Ouhhh...Mas..."Ruang Direktur,Tok tok tok"Permisi Pak! Saya boleh masuk?" "Hem," dehem Bayu yang sedang duduk di kursi. Sibuk meneliti laporan. Bahkan tidak sempat melirik Sintia yang datang. "Ini obatnya Pak." Sintia mendekat, menaruh segelas air putih serta 2 butir obat di meja. Bayu melirik obat yang Sinta sodorkan. Baru teringat satu nama yang selalu ia simpan rapat-rapat dalam hati. "Kartika." ucapnya. Hampir terlupa jika ia tadi memintanya untuk datang. Bayu berdiri dari kursi. Wajahnya kebingungan, clingungkan mencari Kartika. "Mana dia?" "Maksud Bapak, Kartika?" "Iya dia ada dimana?" tanyanya antusias. "Udah pulang Pak," jawab Sintia sambil menunjuk luar, yang terjadi Bayu jutru murka. Berlari keluar mengejar Kartika. "Hah!" kesalnya berlari melewati Sintia yang masih berada di tempat. Sintia kebingunan, tidak paham letak salahnya dimana. Ia merasa sudah jadi sekertaris yang baik dan teladan, tapi masih saja salah di mata pimpinan. "Maksdunya apa coba?" gumam Sintia seorang diri
"Maaf ada urusan apa ya?" tanya balik wanita ini. "Saya Kartika, asisten rumah tangga Pak Bayu. Kebetulan saya diminta kesini buat antar obat beliau," jelasnya sambil menunjukan bungkusan kecil yang ia bawa. "Baik, sebentar ya?" Kartika mengangguk, sebentar menunggu kabar. Resepionis tersebut sedang menghubungi seseorang. Tidak lama ia muncul, balik menemui Kartika. "Pak Bayu kebetulan sedang ada tamu, tapi gak apa-apa. Mbak diminta keatas aja. Nanti bisa temui Sintia, sekertaris Pak Bayu." "Oh, iya terimakasih." "Sama-sama," sikapnya baik tersenyum ramah. Kartika balik tersenyum. Merasa begitu dihargai. Awalnya ia skeptis, berpikir tidak ada yang mungkin menggubris kehadirannya, karena penampilanya yang sesederhana ini. Nyatanya, orang-orang di kantor begitu ramah. Tidak ada diskriminasi. Semua orang berhak datang, tanpa memandang kelas atau status sosial. Kartika melangkah maju. Berjalan percaya diri menuju ruang yang wanita tadi tunjukkan. Sekarang ia
Oktober, 07.45Bayu keluar dari kamar. Berjalan menuju meja makan sambil menggulung lengan kemeja. Di meja sudah tersaji sarapan, lengkap dengan obat serta suplemen yang rutin ia konsumsi setiap hari.Sebelum duduk, Bayu menoleh ke samping. Melihat Kartika yang sibuk berkutat di dapur. "Ehem-ehem, kopiku mana?" dehemnya mengawali perbincangan di awal pagi."Sebentar." Kartika menyahut cepat. Bergegas menyajikan kopi yang baru ia buat. "Sarapannya jangan sampai tertinggal," ucapnya, ingin beranjak pergi dari sana tapi Bayu terlalu cepat menahannya. Memegang tangannya untuk sejenak tinggal. "Kamu juga, jangan lupa sarapan ya?" Kartika hanya mengangguk kecil, lantas beranjak pergi darinya.Bayu enggan untuk menahannya. Membiarkan Kartika kembali ke dapur, menyelsaikan pekerjaan rumah. Sementara ia sendiri menikmati sepotong sandiwich sambil melihat beberapa laporan yang masuk melalui email. Drrttt,Suara ponsel Bayu berdering disaat dirinya sedang memeriksa satu persatu laporan. Terp
Dalam ruang kecil, kamar mandi yang hanya tertutupi tirai putih tipis. Kartika bersandar pada sisi tembok yang basah. Membelakangi tubuh Bayu yang berdiri begitu dekat. Terlalu dekat, erat memeluk tubuhnya yang polos dari arah belakang. Gemericik suara air pagi itu menyamarkan suara gaduh yang mereka timbulkan. Sama-sama tanpa pakaian yang menutupi. Bayu belum juga berhenti dengan fantasinya. Meski sudah lebih dari sekali, bibir Kartika memintanya untuk mengakhiri. "Aahhh, Mas kita udahan ya? Aku takut Mbak Dona kesini," ucapnya seraya menahan suara erangan agar tidak keluar."Sebentar lagi Kartika. Kamu tenang saja, Dona gak akan mungkin datang sepagi ini," sahut Bayu dengan suara terengah. Tidak juga melepas Kartika dari kenikamatan yang memambukkan. Mengaburkan antara rasa takut dan logika. Egonya terlalu tinggi. Tidak ingin keintiman itu berakhir sia-sia.Sedang, Kartika kembali mencoba untuk yakin. Meski perasaan takut itu selalu menghantui, tapi selalu saja Bayu bisa menenangk
Dona ikut tersentak kaget. Entah kenapa untuk sekarang ia berubah cengeng. Biasanya ia selalu kuat. Selalu menang argumen dari Bayu. Sikap yang sekuat tadi seketika sirna. Air matanya tidak bisa lagi ia tampung. Tumpah berceceran, membasahi pipi. Mungkin perasaannya yang teramat dalam pada Bayu, yang membuatnya bisa sebodoh ini. "Keterlaluan kamu Bayu!" isaknya menangis. Dona tidak bisa tahankan lagi. Memilih untuk segera pergi. Rasanya sakit saja, kedatangannya tidak diharap. Justru Bayu terlihat tidak suka. Bahkan menggertak sekuat tenaga di depan Kartika. Padahal ia hanya butuh perhatian, serta kehadiran Bayu di tengah-tengah momen penting di hidupnya. Nyatanya sekarang, sikap Bayu mulai berubah. Jarang bersama, bahkan sangat sulit untuk ditemui. Bayu belum bersikap setelah melihat Dona pergi. Namun, bukan berarti ia acuh. Diamnya sambil terus berpikir. Perasaanya dilanda dilema. Memilih antara ego atau pergi mengejar Dona, yang notabene anak dari pemilik perus
Dona belum yakin sepenuhnya dengan yang dijumpai. Melebarkan kedua bola mata. Melihat jeli sosok lelaki yang berdiri di sebarang sana. Sementara Bayu masih dengan gaya santainya. Mengucek mata, seolah tidak ada masalah. "Kenapa sih?" katanya lagi sempat menguap lebar sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Darimana kamu?" hardik Dona curiga. Belum juga melepas pundak Kartika dari cengkraman. "Darimana? Pertanyaan macam apa ini? Apa kamu gak lihat kalau aku baru bangun tidur." Bayu sedikit tersulut, namun tetap berusaha untuk meyakinkan. Meski kebenarannya akan terdengar lebih pedih ketimbang yang ia sampaikan. Dona merubah pandangan. Berganti menatap pada Kartika. Lirikan matanya begitu tajam. Menatap cermat pada sosok Kartika yang berdiri persis di depannya. Secuil pun tidak ada hal yang lolos dari bidikan matanya. "Benar begitu?" Kartika mengangguk pelan. Mengiyakan apapun yang Bayu katakan. Sejak awal ia tidak berani untuk menatap. Menunduk takut, tidak ber







