Share

Bab 2

Di masa yang berbeda, Kekaisaran Dinasti Han.

Kaki mungil itu tersuruk-suruk mendekati ujung bukit. Itu adalah sebuah bukit yang indah dan itu cocok menjadi tempat kematiannya.

Itulah yang terus dipikirkan oleh Li Hua. Tiba di sana, pandangannya lurus ke bawah, memandang jelas aliran sungai yang nampak tenang. Ia ingin sekali hidupnya tenang seperti air sungai yang mengalir.

“Ketika aku tidak ada, orang-orang takkan menyebutku pembawa sial,” yakinnya pada diri sendiri.

Layaknya orang yang kehilangan harapan, gadis cantik itu mencoba untuk bunuh diri dengan cara melompat ke sungai dari tingginya bukit lembah.

“Maafkan aku Paman Li Meng, Bibi Lin Yun, Li Yan Gege. Xia Hexi benar, Aku tidak pantas hidup karena nasibku buruk. Bahkan, Ayah saja tidak menginginkanku.”

“Selamat tinggal.” Li Hua mengatur napasnya pelan-pelan sebelum mengambil ancang-ancang.

Detik berikutnya tubuh gadis itu terlempar ke udara, dan kemudian meluncur ke bawah pada kedalaman air.

BYURRR

Suara itu menandakan ada ceburan lain yang tidak kalah kerasnya. Tak berselang lama, seorang pemuda menyembul dari permukaan air bersama tubuh Li Hua yang berada dalam rengkuhannya. Tubuh lemas gadis itu dibaringkan di tepi sungai. Si pemuda pun mulai melakukan pertolongan dengan cara menekan perut si gadis agar air yang tertelan dapat keluar.

“Hey … sadarlah.”

“Sadarlah.”

*

Entahlah, Li Wei seperti mendengar ada suara-suara yang bergema di telinganya.

“Kumohon kau harus selamat.”

Suara itu semakin jelas dan rasanya baru saja ia merasakan sebuah sentuhan asing di bibirnya.

Yang benar saja? Alam bawah sadarnya mengeluh, selama 27 tahun hidupnya dia belum sekalipun pernah berciuman. Setidaknya ia harus melihat siapa sosok sang pencium.

Tak berapa lama, si gadis memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan setelahnya. Li Wei akhirnya mengingat jelas kejadian terakhir yang menimpanya.

Apa yang barusan kupikirkan? Aku bukannya dicium tetapi diberi napas buatan. Monolog Li Wei yang merasa malu sendiri.

Manik bening itu terbuka. Pandangannya agak mengabur dan tak melihat jelas. Namun, Li Wei masih mampu untuk menyimpulkan bahwa wajah yang berada tepat di atasnya—juga si pencium—adalah milik seorang pemuda. Sayangnya kesadaran dirinya tak berlangsung lama karena setelah itu netranya semakin buram lalu kembali pingsan.

*** 

Kediaman Gubernur Li Meng, tiga hari kemudian..

“Sudah tiga hari, tetapi Li Hua belum juga bangun.” Nyonya Lin Yun menghela napas berat. Ia teramat sedih melihat keponakannya terbaring tidak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri.

Helaan napas pasrah keluar dari bibir Gubernur Li Meng. “Aku juga tidak tahu. Tabib bilang dia sudah baik-baik saja. Namun..”

Nyonya Lin Yun menyentuh pergelangan tangan suaminya. “Apa perlu kita bawa Li Hua ke tabib lain?”

“Kita sudah memanggil lima tabib dan hasilnya tetap nihil.” Gubernur Li menggeleng-gelengkan kepala tak yakin. “Kita tunggu dulu beberapa hari sambil mencari pengobatan terbaik.”

Kepala Nyonya Lin mengangguk dengan perintah sang suami. Dia menoleh ke arah A-Xiang, pelayan pribadi sang keponakan. “Jaga terus Putri Li Hua. Jika dia sadar, segera kabari kami. Kami akan pergi tidur dulu.”

“Saya mengerti, Nyonya.” A-Xiang menunduk sopan. Sepasang suami istri pun itu beranjak keluar dari kediaman sang keponakan.

*

Pagi yang cerah, sang raja siang mulai menyebarkan cahayanya yang hangat. Saat itulah kedua kelopak mata si gadis yang terbaring itu terbuka, disertai suara lenguhan pelan. Beberapa kali bulu matanya mengepak-ngepak indah, menyesuaikan bias cahaya terang yang menyusup masuk ke dalam retina. Setelah matanya terbiasa ia justru termangu. Seingat Li Wei terakhir kali yang dirasakannya adalah pada saat seorang petugas medis menolongnya, lalu entah mengapa dia berakhir di sebuah lorong yang sangat panjang. Jadi, Li Wei menduga jika saat itu dia berada di sebuah akhirat, ia telah mati karena didorong Wang Feiyan.

Ngomong-ngomong ia penasaran … Apakah kematiannya sedang menjadi trending topic? Li Wei sangat berharap demikian. Hidupnya memang terlampau begitu susah. Tetapi, Li Wei tidak pernah berpikir akan mati secepat ini. Dia sangat menyesalkan hal yang menimpa dirinya. Padahal banyak keinginan yang belum tercapai. Dia bahkan belum menikmati bonus yang ia terima!

Yah, kira-kira itu yang ada di ingatan Li Wei. Tapi kenapa saat membuka yang ia lihat bukanlah akhirat lagi atau setidaknya ruangan rumah sakit, melainkan langit-langit ruangan yang berbahan dasar kayu, sebuah visual yang biasa ia lihat di drama kolosal. Li Wei mengerjap. Sekarang, ia ada di mana?

“Putri Li Hua sudah sadar!”

Sebuah teriakan dan suara berisik terdengar berbarengan dengan Li Wei menggeliat. Putri Li Hua? Siapa?

“Tuan Putri, apa Tuan Putri bisa mendengar saya?”

Kepala Li Wei tertoleh mencari sumber suara. Keningnya mengernyit saat menemukan seorang perempuan berpakaian pelayan di masa kuno sedang berdiri dengan ekspresi cemas di sisi ranjangnya.

“Kau berbicara padaku?” Li Wei bertanya ragu-ragu. “A-apa kau dokter yang sedang cosplay? Atau rumah sakit tengah mengadakan event coslpay? Prank?”

A-Xiang menggaruk belakang lehernya bingung. “Tuan Putri, sa-saya tidak mengerti maksud kata-kata anda.”

"Di mana alat-alat medisnya? Bagaimana bisa kalian mengerjai orang yang baru saja mengalami musibah tenggelam?! Ini bukan April Mo—" Tatapan Li Wei menyapu seluruh ruangan.

Li Wei langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. “Ini tahun berapa?”

“211 SM, Tuan Putri."

“Hah? Kau tidak salah kalen—” Li Wei langsung menghentikan ucapannya saat mulai mencerna situasi. “Ambilkan cermin.”

“Akan saya ambilkan. Mohon Tuan Putri menunggu.” A-Xiang beranjak mengambilkan cermin yang ia minta. Tak lama dari itu, A-Xiang sudah kembali lengkap dengan cermin yang tampak jadul di tangannya. “Ini cerminnya, Tuan Putri.”

Secepat kilat, Li Wei meraih cermin yang dibawa A-Xiang. Seketika Li Wei termenung. Mulutnya menganga hendak berbicara, tapi kemudian terkatup lagi. Yah, yang muncul adalah wajah cantik cantik nan jelita miliknya. Tapi, dengan versi yang lebih muda?

“Berapa umurku?” Saatnya Li Wei mengorek informasi.

“Tujuh belas, Tuan Putri.”

Mata Li Wei perlahan menginvasi keseluruhan kamar. Desain ruangan ini memang seperti yang biasa terlihat di drama kolosal. Interior dan perabotannya didominasi warna ungu muda yang memberi kesan manis dan feminin.

Sebuah spekulasi muncul di kepala Li Wei. “Jangan bilang aku sedang bertransmigrasi ke masa lampau? Sekarang ini? Yang benar saja! Ini bukan novel atau drama?”

Ya, dia memang sempat bingung akan situasinya. Tetapi, Li Wei sudah seringkali membaca ratusan novel bergenre transmigrasi. Jadi, ia tidak akan menutup kemungkinan tersebut.

Sambil berjalan mondar-mandir, Li Wei terus menelaah kebenaran yang ia alami. Li Wei menyentuh kain yang membalut tubuhnya. Ini adalah hanfu, baju tradisional khas China khas jaman dulu. Lembutnya hanfu yang dikenakan olehnya menyiratkan bahwa hanfu ini terbuat dari kain sutera yang berkualitas, mungkin dikhususkan bagi kalangan bangsawan.

Li Wei sedikit menghela napas lega. Hanfu mewah dan kamar yang estetik ini menandakan pemilik tubuh ini bukan orang biasa. Ia cukup tenang. Jika memang benar ia bertrasnmigrasi, itu haruslah di tubuh orang yang bernasib baik—minimal kaya raya—sehingga dia tidak perlu hidup susah saat beradaptasi kelak. Namun, Li Wei masih butuh pembuktian.

“Kau..” Li Wei tiba-tiba berpaling pada A-Xiang yang sedari tadi menatapnya bingung. “Tampar aku.”

“Ya, Tuan Putri.” A-Xiang menunduk sebelum akhirnya tersadar. “Hah? Ta-tapi mengapa saya harus menampar Anda?”

“Tampar aku!” Li Wei mengulangi ucapannya. Ia harus ditampar guna memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak.

A-Xiang berdiri sambil menggigit bibir bawahnya. “Sa-saya tidak bisa Tuan Putri.”

“Kesinikan tanganmu.” Li Wei meraih tangan A_Xiang lalu ditempatkan di depan pipinya. "Ayo tampar aku. Tidak perlu takut."

“Tuan Putri..” A-Xiang memandang iba sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Lakukan!” perintah Li Wei mutlak.

A-Xiang menelan ludahnya pahit. Matanya terpejam erat, melaksanakan keinginan Li Wei dengan berat hati.

PLAK

Li Wei pun seketika mengaduh demi merasakan sakit yang teramat nyata. Agaknya A-Xiang menggunakan kekuatan penuh.

“Lagi,” pinta Li Wei. Sekali lagi maka ia akan benar-benar percaya kejadian ini memang nyata,

“Tuan Putri..” rengek A-Xiang yang merasa bersalah, posisinya masih mengambil ancang-ancang untuk menampar Li Wei kembali.

KREEEK

“Akhirnya kau sadar.” Bersamaan dengan suara seorang laki-laki, bunyi pintu yang dibuka terdengar. Di belakang lelaki itu ada derap suara langkah lain yang mengikuti memasuki kamar.

Raut wajah salah satu sosok lelaki itu tiba-tiba berubah menjadi emosi saat melihat tangan A-Xiang menggantung di depan wajah Li Wei. “A-Xiang apa yang kau lakukan?!”

“Sa-saya. A-anu. Tuan Putri..”

A-Xiang yang gugup langsung berlutut di depan lelaki yang baru saja berteriak. “Mohon maafkan saya, Tuan Muda Li Yan.”

“Beraninya kau menampar Li Hua?! Kau minta dihukum?”

Reaksi Li Wei langsung mengerjap. “Tidak seperti itu. Kau salah paham,” sela Li Wei tidak mau A-Xiang menjadi orang yang dipersalahkan. “Ini salahku.”

Pemuda Bernama Li Yan mengernyitkan dahi. “Kenapa menjadi salahmu.”

“Aku yang menyuruh—hm, siapa namamu?” Li Wei menoleh ke arah A-Xiang.

“A-Xiang, Tuan Putri.”

“Ya. Aku menyuruh A-Xiang menamparku. Itulah yang terjadi.”

“Kenapa kau harus menyuruh A-Xiang menamparmu?” Li Yan menaikkan alisnya curiga. “Dan barusan… Kau tidak mengenal A-Xiang?”

“A-aku.” Li Wei membasahi bibirnya gugup.

“Li Yan,” panggil Nyonya Lin Yun dari belakang. “Li Hua baru saja sadar. Biarkan Tabib Yu memeriksa.”

Li Yan menghembuskan napas lalu mundur membiarkan Tabib Keluarga berjalan menghampiri Li Wei. “Silahkan.”

“Tabib Yu.” Nyonya Lin Yun mengendikkan dagunya memberi perintah.

Tabib Yu membungkuk hormat lantas mengajak Li Wei duduk di ranjang dan mulai memeriksa kondisinya.

Si tabib memulai dari bagian nadi. Dan ini terlalu nyata bagi Li Wei. Alih-alih dokter yang ada di hadapannya sekarang justru adalah tabib.

“Apa kau merasakan sesuatu?” Tabib Yu mulai dengan sesi pertanyaan.

“Ya, sedikit pusing.”

“Apa kau mengenali orang yang ada di sini.”

Li Wei memperhatikan satu persatu dan jawabannya. “Tidak.”

“Sama sekali?” tanya Tabib Yu dan dibalas gelengan kepala.

Hembusan napas panjang keluar dari bibir Tabib Yu. “Kau beristirahatlah dulu.”

Li Wei hanya mengangguk pelan.

“Tabib Yu. Apa yang terjadi dengan Li Hua?” serbu Gubernur Li Meng yang tiba-tiba datang.

Jawaban selanjutnya, Li Wei sudah bisa menebaknya. Tabib Yu pasti akan berkata bahwa ia lupa ingatan akibat benturan yang tidak disengaja.

“Putri Li Hua mengalami gegar otak serius sehingga kehilangan ingatannya,” katanya muram.

Yah, secara garis besar sama. Tapi, diagnosis itu salah total. Karena nyatanya, dia tak pernah sedikit pun mempunyai memori dari si pemilik tubuh. Pula, ia tidak bisa mengatakannya sebab hal itu di luar nalar manusia.

“Apa hal itu bisa sembuh?” tanya Nyonya Lin khawatir.

“Pada beberapa kasus hal ini bisa disembuhkan dengan melakukan terapi. Misalnya, ajaklah ke tempat biasa dia datang atau melakukan kebiasannya. Maka itu bisa membantu mengembalikan ingatannya.”

Kepala Li Yan manggut-manggut. “Li Hua jangan khawatir. Aku akan membantumu.”

Li Wei hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.

“Li Yan terus temani Li Hua. Jangan sampai dia sendirian lagi,” sahut Gubernur Li Meng dengan nada getir di akhir kalimat.

Mendongak, Li Wei menatap penuh permohonan pada semua orang asing di hadapannya. “Bisakah kalian keluar dulu? Aku ingin istirahat,” pintanya.

Semua mata yang berada di ruangan kamar langsung tertuju pada gadis itu, memandangnya dengan raut prihatin. Lalu, dengan isyarat persetujuan dari Gubernur Li Meng satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Li Wei seorang diri di kamar asing tersebut. Tetapi, tidak dengan lelaki berjubahkan hanfu berwarna hitam dengan sulaman motif daun itu.

“Aku tetap di sini.” Li Yan bersikeras.

Tak punya pilihan Li Wei pun mengangguk menyutujui. Ia menunduk, tak berani menatap lebih lama mata pria itu—yang terlihat menyeramkan.

Li Wei melirik Li Yan yang sekarang menunjukkan raut sedih. “Kau kenapa?”

Kepala Li Yan tertoleh ke arahnya. Memandang dirinya lekat-lekat sampai tahap Li Wei merasa canggung. “Ke-kenapa memandangku seperti itu?”

Hembusan napas berat sesekali terdengar. Li Yan kemudian beralih menoleh ke arah Li Wei yang masih duduk di ranjang. “Aku bersalah padamu..” desahnya penuh penyesalan. 

Sedangkan, Li Wei mengernyit tak mengerti. “Memang apa yang kau lakukan padaku sebelumnya?"

“Aku tidak bisa menjagamu ... Ini salahku!” Li Wei seperti bisa merasakan ada nada frustasi dari kalimatnya. Dia jadi ikut merasa bersalah walaupun sebenarnya ini bukan salahnya, sih!

“Se-sebenarnya apa yang terjadi padaku?” tanya Li Wei penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status