Share

Bab 7

Pada malam hari, Tuan Li Meng di ruangannya telah menunggu Li Wei dengan duduk bersila.

“Paman.” Begitu tiba Li Wei langsung menyapa serta membungkuk sopan.

“Duduklah,” sambutnya sembari menunjuk tempat di seberang mejanya.

Duduknya turut bersimpuh. Selagi menunggu Tuan Li Meng membuka suara, Li Wei terus meremas kedua tangan di atas pahanya guna menekan rasa gugup yang mendadak menyergapnya.

Setelah beberapa lama hening barulah sang paman bergerak menyerahkan sebuah gulungan perkamen. “Hua’er, terimalah titah dari Istana.”

Tangan Li Wei gemetar saat hendak menerimanya. Matanya memindai satu persatu huruf yang sedikit asing.

Tuan Li Meng mengatakan, “Istana mengabari jika kau sudah bisa kembali ke Istana Kerajaan Xianli. Pulanglah, … Selir Agung pasti sudah merindukanmu.”

Keningnya mengerut heran seraya berseru secara tidak sadar. “Bukankah katanya Putri Li Hua sudah dibuang?”

“Siapa yang berkata semacam itu?!” bantah Tuan Li Meng dengan nada lumayan keras. “Kau tidak pernah dibuang. Kau hanya dititipkan pada Paman saja.”

Li Wei langsung menunduk tak berani menatap Tuan Li Meng. “Ma-maaf, Paman. Aku tidak bermaksud..”

Hembusan napas Tuan Li Meng terdengar berat. Dia teringat dulu, bagaimana kecilnya bayi Li Hua saat baru dibawa ke Xingnan. Dan seolah waktu memang bergerak cepat dia tak menyangka bayi itu sudah sebesar ini sekarang.

Sebenarnya, Tuan Li Meng juga merasa berat menyuruh Li Hua kembali ke Istana. Ada rasa sedikit sesak saat membayangkan bagaimana kehidupannya nanti di sana tanpa orang-orang yang gadis itu kenal. Akan tetapi, ini adalah titah kerajaan yang artinya tak boleh di bantah.

“Paman tahu kau pasti enggan pergi ke istana yang kau anggap asing. Paman juga merasa demikian. Tapi, biar bagaimanapun kau adalah seorang Putri Kerajaan. Maka sudah sepantasnya kau pulang ke sana,” bujuk Tuan Li Meng agar gadis itu merasa tenang.

Perkataan Tuan Li Meng harusnya dapat menenangkan hatinya. Namun, entahlah Li Wei tetap tak bisa mengurangi kecemasan hatinya. Li Wei sadar Istana bukanlah tempat yang sederhana. Mungkin di sana akan terdapat banyak konspirasi dan konflik politik yang bisa saja melibatkan nyawa orang lain. Sedangkan Li Wei adalah jenis manusia modern yang tak memiliki minat dalam segala perselisihan. Dia hanya ingin hidup kaya raya, enak dan tenang. Itu saja!

Kepala Li Wei menengadah dan kembali menatap Tuan Li Meng serius. “Paman, aku dengar saat aku masih bayi aku tidak diterima oleh para Menteri. Lalu, mengapa sekarang aku disuruh kembali ke sana? Bukankah ini terasa aneh?”

Mendengar itu Tuan Li Meng lantas tersenyum lembut. “Waktu berlalu maka sudut pandang seseorang juga bisa berubah. Lagipula aturan itu berlaku sampai kau 17 tahun. Dan inilah waktunya. Hua’er, jangan khawatir, di manapun kau berada Paman akan selalu berdoa akan keselamatanmu. Kebetulan juga Gu Jian ada keperluan di He Jiang jadi dia bisa ikut ke sana bersamamu.”

Dengan sangat terpaksa Li Wei akhirnya mengangguk. “Paman, … kira-kira kapan aku harus berangkat?”

“Tiga hari lagi,” putus Tuan Li Meng sebagai kesimpulan final. “Oh iya, Hua’er. Kau harus terus memakai cadar saat bertemu dengan anggota keluarga kerajaan yang lain agar tidak menjadi masalah. Pergilah … Paman sudah meminta Bibimu menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa ke sana.”

“Baiklah, Paman. Aku mengerti.”

Li Wei lantas memberi salam hormat pada Tuan Li Meng sebelum berpamitan. Walau dia baru sebentar mengenal keluarga ini, dia sangat menghargai mereka dan merasa berat hati harus pergi dari kediaman.

Di luar, kepalanya sedikit terangkat seraya mengamati langit malam yang bermandikan kerlip bintang. Bibirnya terlihat mengguratkan simpul kecut, sekali lagi ia akan membiarkan takdir yang menuntun jalan hidupnya. “Lagi-lagi tempat asing,” pasrahnya.

***

Setelah memakan waktu sepuluh hari di perjalanan, rombongan kuda yang mengantarkan Li Wei akhirnya tiba tepat di depan gerbang Istana Kerajaan Xianli. Li Wei  merasakan kereta kuda yang ia naiki telah berhenti. Dengan sigap dia turun dibantu oleh A-Xiang yang sudah turun lebih dulu.

Saat menapakkan kaki, Li Wei sekilas terperangah akan pemandangan di hadapannya. Bangunan yang berada di depannya sungguh sangat besar, megah, dan menawan. Di sana sudah ada beberapa orang yang menunggunya termasuk Selir Agung Yu Jie yang tak kuasa menahan air matanya tatkala sosok yang ia anggap ‘Li Hua’ kian mendekat ke arahnya. Tak sabar, Selir Agung Yu Jie berjalan cepat segera memeluk putrinya yang baru dapat ia pandang lagi wajahnya. Terakhir kali ia melihatnya saat bayi itu baru saja terlahir dan masih merah.

“Bayiku!..” tangisnya pecah seketika.

Pelukan tiba-tiba itu membuat Li Wei mematung sesaat. Walau canggung perlahan tangannya balas memeluk wanita yang Li Wei duga adalah ibu kandung Li Hua. Setidaknya Li Wei harus mewakili Li Hua asli yang pasti selama ini sangat berharap dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Dan sejujurnya—pelukan ibu Li Hua terasa begitu hangat dan nyaman, membuat Li Wei jadi ikut merindukan sosok ibunya yang telah lama meninggal dunia.

Selang beberapa saat, pelukan sepasang ibu dan ‘anak’ itu terlepas. Selir Agung Yu Jie lantas mengamati tubuh ‘Li Hua’ kemudian beralih menatap mata ‘Li Hua’ dengan wajah yang sudah bercucuran air mata. Mungkin air matanya melambangkan rasa kerinduan sekaligus kebahagiaan. Setelah sekian lama seorang ibu dipisahkan dengan anaknya. Dan semuanya kini sudah terbayarkan, sekarang ia telah bertemu kembali dengan anaknya yang kini sudah berusia 17 tahun.

”Bayiku sudah besar,” bisiknya haru sambil mengelus tangan Li Wei penuh kelembutan.

“Mn…” angguk Li Wei. Gadis itu kemudian tersenyum hangat sambil satu tangannya mengusap air mata yang menetes di pipi Selir Agung. “Aku sudah kembali, Ibu.”

Jawaban itu dapat membuat senyum cerah di wajah Selir Agung kembali terukir. Ia sangat bahagia dan tak sanggup lagi bertahan hidup andaikan dirinya harus dipisahkan dari putrinya sekali lagi.

“Permisi, Selir Agung dan Putri Li Hua.” Suara sumbang khas milik seorang kasim mendadak menginterupsi momen temu haru tersebut.

Sepasang Ibu dan anak itu sama-sama menoleh. Selir Agung seketika menatap waspada kala mengetahui yang datang merupakan Kasim Ling, utusan Permaisuri Zhou. “Ada apa?” tanyanya ketus.

“Hormat pada Selir Agung.” Kasim Ling menunduk hormat. “Hamba diutus Permaisuri Zhou untuk mengantarkan Putri Li Hua ke kediamannya,” sambungnya.

“Tidak perlu! Aku sendiri yang akan mengantarkan putriku,” tolak Selir Agung.

“Ayo, Li Hua,” ajaknya sembari menarik tangan Li Wei agar menjauh dari Kasim Ling. Namun sebelum itu pengawal yang ada di belakang Kasim Ling langsung bergerak menghadang langkah mereka.

“Mohon maafkan hamba Selir Agung, ini adalah perintah dari Permaisuri. Anda tidak boleh membantahnya.”

“Kau—” Selir agung menahan emosinya, terlihat dari urat lehernya yang menegang. Ia sadar dia tak bisa melawan wanita itu yang merupakan Permaisuri, di mana kedudukannya lebih tinggi daripada dirinya.

Menyadari hal tersebut Li Wei segera menyentuh lengan Selir Agung bermaksud meredakan emosi beliau.

“Ibu, tenanglah. Biarkan kasim yang mengantarku. Aku masih bisa mengunjungimu nanti,” bujuk Li Wei.

Bujukan itu perlahan membuat sedikit emosi Selir Agung mengendur. Wanita itu sempat melirik sinis pada Kasim Ling baru kemudian beralih menatap Li Wei.

“Berjanjilah untuk sering mengunjungi Ibu di Istana Teratai, hm?” pintanya dengan nada rendah dan lembut.

“Aku janji, Ibu,” ujarnya dengan menunjukkan jari tengah dan telunjuknya.

Dengan terpaksa kepala Selir Agung pun tampak mengangguk, pertanda memperbolehkan kasim untuk mengambil alih tugasnya.

“Kalau begitu Tuan Putri, mari hamba antar,” ajak kasim membuka tangannya mempersilahkan Li Wei agar berjalan terlebih dahulu di depannya.

“Sampai nanti, Ibu,” pamitnya diiringi senyum lembut sebelum memutar tubuhnya meninggalkan Selir Agung yang bergeming tak rela.

***

Sepanjang perjalanan ke kediaman, Li Wei terus saja berdecak kagum sekaligus takjub akan kemegahan istana yang tersuguh di mata coklat cemerlangnya. Kendati ini adalah tipe bangunan kuno, namun setiap detail yang terdapat di istana ini sama sekali tak menghilangkan unsur mewah dan indah saat pertama kali melihatnya.

Semakin lama berjalan, Li Wei merasa seperti dia terus menjauhi kemegahan istana. Benar saja. Saat Kasim Ling memberhentikan langkahnya,  Li Wei dapat melihat sebuah kediaman yang rupanya tampak berbeda jauh dari kediaman lainnya di istana.

Kasim Ling berkata, “Mulai sekarang anda akan tinggal di Istana Gelap ini, Tuan Putri.” Li Wei bergidik seketika, kenapa bahkan dari namanya saja sudah terdengar menyeramkan.

Masuk ke dalam, pelan-pelan Li Wei berkeliling mengamati kamar tersebut yang tampak seolah tidak terawat. “Ka-Kasim Ling apakah kau tidak salah tempat?” tanya Li Wei masih mencoba berpikir positif.

“Tidak, Tuan Putri. Ini memang tempat yang sudah dipersiapkan oleh Permaisuri,” tegas kasim tersebut.

“Apanya yang mempersiapkan?! Jelas-jelas ini sedang menindasku!” gerutunya dengan suara rendah agar tidak kedengaran oleh Kasim Ling. Li Wei mendengkus dalam hati ketika sudah mulai merasakan hawa-hawa penindasan.

“Oh iya, Tuan Putri. Anda dilarang menemui semua keluarga kerajaan termasuk Selir Agung dan anda tak boleh keluar dari kediaman ini,” papar Kasim Ling kemudian.

Mata Li Wei membeliak kaget. “Mengapa demikian?” tanyanya gusar pasalnya Li Wei tadi telah berjanji pada ‘Ibunya’ untuk mengunjungi beliau.

“Ini adalah syarat yang diberikan oleh Kementerian Ahli Bintang jika anda tinggal di istana. Kalau Tuan Putri sudah mengerti, hamba pamit undur diri terlebih dahulu,” kata Kasim Ling kemudian beranjak keluar meninggalkan ‘Li Hua’ dan A-Xiang yang dari tadi terdiam mengekori.

Tak bisa menepati janjinya pada Selir Agung, wajah Li Wei berubah memberengut. “Kementerian Ahli Bintang sialan itu lagi?!... Hahhh”

Li Wei mendesah tertahan, sepertinya hidupnya di sini sungguh akan sulit. Ekspresi yang tercetak di wajah Li Wei mengatakan : Baiklah! Lupakan hidup tenang, selamat datang penderitaan. Sementara dalam diri Li Wei, ia sudah menangis dan merengek ngenes memikirkan kondisi dirinya di masa lampau ini. Alih-alih hidup kembali dengan nasib menjadi orang kaya raya tanpa penderitaan ia justru harus menggantikan hidup Li Hua yang penuh permasalahan.

“Putri...” panggil A-Xiang sambil menggoyang-goyangkan lengannya. “Benarkah kita akan tinggal di sini?” tanyanya takut saat melihat ke atas di mana di langit-langit atap itu tergantung tali bekas—untuk ini Li Wei tidak akan menyebutkannya secara gamblang, yang jelas gara-gara itu kediaman ini menjadi terkesan angker.

“Sudahlah tinggal dibersihkan saja.” Tanpa merespon lebih, Li Wei lantas beranjak membuka seluruh jendela yang ada di ruangan dan membiarkan udara bersih bisa masuk ke dalam. Pekerjaan membersihkan tempat tentu bukan asing bagi dirinya yang sebelumnya pernah tinggal di panti asuhan.

Sementara itu di luar sana, para dayang dan pengawal sedang bergosip tentang Istana Gelap yang konon katanya—dulunya kediaman ini adalah tempat buangan bagi anggota kerajaan seperti selir-selir atau anak-anak yang terlahir tidak normal. Selama tinggal di tempat ini orang-orang itu banyak yang putus asa sampai terkadang akan melakukan perbuatan yang mampu menghilangkan nyawa.

Itulah mengapa jarang sekali ada dayang yang datang untuk membersihkan tempat tersebut. Karena bahkan untuk sekedar lewat saja, mereka tak berani. Apalagi letaknya yang memang jauh sekali dari kediaman istana lainnya, makin lah membuat kediaman ini dianggap berhantu oleh warga istana.

Tanpa tahu mengenai hal tersebut. Li Wei dan A-Xiang nyatanya kini telah selesai membersihkan seluruh kediaman. Dengan bantuan beberapa pengawal dan dayang yang mereka seret secara paksa akhirnya pekerjaan ini pun dapat rampung selama lima jam.

Li Wei tersenyum lega. Ruangan yang tadinya penuh debu dan beberapa sarang laba-laba kini berubah sangat bersih. Bau apek dan pengap pun sudah berangsur-angsur berkurang. Dengan uang pemberian Paman Li Meng mungkin Li Wei akan membeli beberapa perabotan baru serta menambah hiasan agar kamar ini nampak lebih hidup dan nyaman nantinya.

“A-Xiang kita perlu ke beberapa barang untuk tempat ini..”

A-Xiang menjawab setelah menetralkan napasnya yang memburu kelelahan. “Bagaimana caranya, … Anda kan tidak boleh keluar sembarangan.”

Sudut bibir Li Wei menyerigai tipis, sarat arti. “Itu bisa diatur.”

***

“Sebenarnya anda sedang apa, Tuan Putri?” tanya A-Xiang yang dibuat penasaran oleh aktivitas Li Wei yang sedari tadi sibuk menggores tinta di beberapa kertas kanvas. Ia berdiri dua meter dari jarak Li Wei duduk karena dilarang mengintip pekerjaannya.

Li Wei belum berniat menanggapi ocehan A-Xiang. Sampai ketika semuanya selesai matanya tampak berseri-seri. “Selesai!”

“Apakah saya boleh melihatnya, Tuan Putri?”

“Hmm..”

A-Xiang langsung bergerak antusias, melongok dari belakang tubuh Li Wei dan spontan matanya membelalak tatkala mendapati hasil kerja Li Wei yang—“Tuan Putri, ini?!” syoknya.

“Bagaimana? Bagus kan?” tanya Li Wei sambil mengedipkan matanya dengan jenaka.

“Tuan Putri ini sangat memalukan.” A-Xiang tergesa menutup kedua matanya. “Ba-bagaimana bisa anda menggambar i-itu, a-anu.” A-Xiang menunduk karena malu sendiri jika mengatakannya.

“Yaaa! Berapa umurmu kenapa masih malu dengan gambar komik dewasa.” Li Wei hanya terkekeh. “Sebenarnya kalau di dunia modern, gambar ini disebut manhua, cuma di sini aku membuatnya agak lebih dewasa saja agar lebih banyak peminat.”

“Tetap saja i-itu menjijikkan..” rengeknya nyaris menangis. “Lagipula umur Tuan Putri lebih muda dari saya.”

“Tapi ini sangat berguna, A-Xiang. Aku ramal para prajurit akan menyukai komikku.” Li Wei ragu-ragu melirik A-Xiang. “Jadi, … kau bertugas sebagai Sales Marketing yang menjual gambar ini.”

“Hah?” A-Xiang mengangkat kepalanya makin terkejut. “Sa-saya menjual gambar porno itu?”

“Bukan gambar porno A-Xiang, tapi komik.” Li Wei meluruskan sembari mendengkus. “Jika ini laku terjual ini akan membantu bagi kelangsungan hidup kita di istana ini.”

“Saya tidak mengerti, Tuan Putri.” A-Xiang menggaruk pelipisnya denga raut bingung.

Li Wei menghembuskan napas panjang. “Kau lihat kediaman ini?” Dibalas anggukan oleh sang pelayan. “Di sini bahkan tidak ada dayang. Walau kau bisa melayaniku tapi tetap saja kediaman ini perlu dayang lain yang artinya kita membutuhkan uang untuk membayar, dan uang bisa kita dapatkan dari menjual komik ini. Kau paham sekarang?” tanya Li Wei mengkonfirmasi.

Kepala A-Xiang manggut-manggut dengan penjelasannya. “Saya mengerti, Tuan Putri. Meski malu, … saya akan melakukan perintah anda.”

“Nah, begitu lebih baik.” Senyum Li Wei langsung cerah.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Cix Line
kak ditunggu lanjutannya
goodnovel comment avatar
Nsyazarena aisyah04
tk ada sambungan ke?
goodnovel comment avatar
lulu natsu
loh kok sabungannya mana?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status