Share

Bab 3

“Kau bunuh diri.” Suaranya bernada sendu. “Kau tertekan selama ini, tapi kau tidak pernah menceritakan kesulitanmu. Aku yang tak peka, harusnya aku—” Suara Li Yan hampir tercekat tidak sanggup melanjutkan ucapannya. "Harusnya aku terus menemanimu. Jadi, setidaknya kau tidak akan kesepian ... Beruntung pada saat kejadian Gu Jian ada di sekitar sungai itu.”

Mendengar ungkapan hati Li Yan, sekali lagi Li Wei dibuat merasa bersalah secara tidak langsung. Betapa Li Hua telah menyia-nyiakan keluarganya yang tulus. Li Wei menggeleng cepat, tersadar bahwa ia tidak boleh sembarangan menghakimi perbuatan Li Hua yang bunuh diri tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya. Karena di sisi lain, ia tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaan Li Hua—yang bisa jadi sudah sangat tertekan.

Li Wei yang merasa seakan bertanggungjawab atas kesedihan yang dialami pria itu berusaha menghibur pemuda itu. “Aku sudah tidak apa-apa.”

Seulas senyum tipis Li Wei berikan demi menandakan bahwa ‘Li Hua’ sudah ‘baik-baik saja’. “Dan lain kali aku akan berterima kasih pada Gu Jian, yang kau bilang telah menyelamatkanku..” Yang sebenarnya ialah ia sangat ingin mengetahui wajah si pencium.

Li Wei lantas memaksakan senyum getir. “A-aku tidak tahu kenapa aku bunuh diri waktu itu. Tetapi, aku tak akan melakukannya lagi.”

Li Yan menoleh pada Li Wei. Senyum manisnya langsung merekah mendengar pengakuan itu. “Kau janji?”

“Ya. Jadi, kau jangan merasa bersalah lagi dan jangan minta maaf. Aku tidak suka mendengarnya.”

Suara kekehan pun meluncur dari bibir Li Yan. “Baiklah karena sudah diperingatkan seperti itu, aku takkan mengatakannya." 

“Itu lebih baik.” Li Wei menghembuskan napas lega.

Senyum Li Yan langsung mengembang. Ia menatap lurus tepat di kedua bola mata Li Wei. “Tapi berjanjilah! Mulai saat ini kau akan membagikan keluh kesahmu pada kami.”

Li Wei menganggukkan kepalanya mengiyakan permintaan pemuda itu dan bertanya, “Oh iya. Aku harus memanggilmu siapa?”

“Li Yan. Usiaku empat tahun di atasmu. Kakak sepupumu.”

“Kalau begitu aku akan memanggilmu Yan Gege? hehe.”

Li Yan terkekeh sambil mengusak pelan rambut Li Wei. “Kau benar-benar tidak mengingat apapun ya..”

Hati Li Yan merasa sakit, ada penyesalan di dalam dirinya. Namun, kini nasi sudah menjadi bubur.

Tangan yang berada di atas kepalanya diraih Li Wei untuk digenggam. “Mn, maka dari itu bantu aku untuk mengingatnya.”

Ya, Li Wei sudah memutuskan untuk mengenal lebih jauh identitas dari pemilik tubuh ini agar dia bisa beradaptasi secepatnya di lingkungan baru. Ia sudah terlanjur terlempar di masa ini. Maka anggap saja Tuhan sedang memberikan kesempatan padanya sebuah kehidupan baru yang barangkali akan lebih baik daripada kehidupan sebelumnya.

“Katakan ingin mulai dari mana?” tukas Li Yan dengan lembut,

Jarinya terketuk di dagu. “Mungkin dimulai dari siapa namaku dan orang seperti apa aku ini?”

Li Yan mengangguk-angguk mengerti lantas mulai memberitahu, “Namamu adalah Li Hua, artinya bunga pir yang mekar. Karena saat itu kau lahir pada waktu musim bunga pir bermekaran (sekitar bulan April).”

Kepala Li Wei manggut-manggut. Jika nama pemilik tubuh ini adalah bunga pir yang mekar maka arti nama dirinya adalah bunga mawar yang indah. Li Wei menunduk, di mulai hari ini mungkin tak akan ada lagi yang mengenal si bunga mawar. Itu membuat perasaan Li Wei serasa bercampur aduk ketika membayangkan dirinya kelak harus menjadi sosok orang lain.

Segera ia menggeleng pelan guna menghilangkan perasaan kacau di hatinya dan kembali fokus mendengarkan penuturan Li Yan.

“Kau adalah gadis yang penurut. Kau sudah menghapal 4000 sastra kebajikan. Ibu juga sering memuji sulamanmu dan Ayah paling suka mendengar guqin yang kau mainkan.”

Li Wei tersenyum hambar mendengarnya lalu menggumam sendiri. “Sangat bertolak belakang denganku..”

"Selain itu, kau adalah gadis paling cantik di seluruh negeri Kekaisaran Dinasti Han," ujar Li Yan secara jenaka.

"Yah, itu tidak perlu diragukan." Li Wei membalas dengan gelak tawa.“Oh iya … Jika orang yang tadi adalah Paman dan Bibi. Lalu, di mana orangtuaku?”

“Mereka ada istana. Karena ayahmu adalah Raja Kerajaan Xianli dan Ibumu adalah Selir Agung.”

“Wow. Impresif.” Li Wei berseru tidak menyangka. Mata Li Wei berkilat secara jenaka.

Apakah akan datang hari di mana aku akan berlimpah harta? Dalam benaknya, Li Wei sudah mengkhayalkan skenario dirinya yang sedang menghambur-hamburkan uang tanpa tanpa takut akan kehabisan uang. Jika saja Li Yan mempunyai kacamata sensor pembaca ekspresi, dia akan dapat melihat emoji dollar di mata Li Wei saat ini.

Li Wei adalah orang yang realistis. Menurutnya uang memang bukan segalanya. Namun, di dunia ini segalanya membutuhkan uang. Begitupun di dunia kuno ini, sekalipun harus tinggal ia ingin hidupnya lebih terjamin terutama dalam segi materi.

Tapi, sorot matanya langsung redup ketika menyadari sesuatu yang janggal. “Terus kenapa aku tidak tinggal di istana..?”

Sesaat Li Yan terkesiap dengan pertanyaan Li Wei. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Itu.. Itu karena Xingnan adalah provinsi yang indah. Jadi, kau suka di sini.”

“Oh begitu..” Li Wei bersikap seolah-olah percaya dengan alasan Li Yan. Dia bukannya tidak tahu dan gampang dibohongi. Li Wei jelas melihat Li Yan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Itu kentara sekali.

Tangan Li Yan terulur merapikan anak rambut sang adik sepupu yang sedikit berantakan. “Pelan-pelan saja. Tidak usah memaksakan diri untuk mengingatnya,” saran pria itu disertai raut khawatir yang berlebihan.

“Iya, Ge.”

Kemudian, tidak ada lagi pembicaraan antara mereka berdua, hanya senyum yang bisa Li Wei lontarkan kepada pemuda itu sebagai balasan.

Merasakan ketulusan Li Yan, mulai hari ini mungkin Li Wei akan benar-benar menggangap pria itu sebagai kakak sepupunya. Sosok Li Yan yang tampak penyayang, membuat Li Wei seperti bisa merasakan arti sebuah kasih sayang persaudaraan.

Menilai sikap Li Yan dan keluarganya saat ia baru saja terbangun. Li Wei dapat melihat, kendati Li Hua asli tinggal jauh dari orangtua kandungnya, tetapi dia rasa Li Hua juga tidak kekurangan kasih sayang dari keluarga angkatnya.

Ngomong-ngomong, dia jadi merindukan Zi Jin. Kira-kira sedang apa sahabatnya di dunia modern. Apakah dia menangisi kepergiannya. Apa dia masih tertidur seperti terakhir kali ia menelponnya. Wajah Li Wei sedikit muram. Mereka bertemu di Panti Asuhan, menjadi teman lalu saling mengandalkan satu sama lain. Sekarang dia tidak ada di sana untuk saling menemani. jadi, Li Wei berharap semoga sahabatnya di dunia modern dapat hidup dengan baik. 

***

Matahari mulai bersinar hangat menuju permukaan. Namun, di dalam kamar suasana pagi tetap terasa dingin seperti seharusnya. Membuat Li Wei semakin menarik selimut yang menggelungnya lebih atas.

“Tuan Putri..! cepatlah bangun..!" Suara A-Xiang cempreng saat memasuki gendang telinga.

Itu tak berlangsung lama sebab Li Wei mulai menggeliat tak nyaman akibat terusik oleh keberadaan A-Xiang yang sejak tadi bolak balik membangunkan tidurnya.

“Anda harus bangun sekarang, Tuan Putri!” A-Xiang berkata sambil menyingkap tirai kelambu ranjang. “Ingat! Hari ini Anda kembali masuk ke Baoyu.”

Katakanlah Baoyu adalah sekolah perempuan jika di jaman modern. Itu adalah sekolah yang kegiatannya melatih keterampilan para gadis untuk menyiapkan diri sebelum nantinya menikah.

Menarik napas jengah. “Iya. Iya. Aku bangun!” Li Wei memaksakan bangun setengah duduk. Mengucek matanya demi melihat keseluruhan kamar yang terlihat masih sama.

“Nah. Ini baru Tuan Putri yang rajin.”

Ia berpaling ke arah A-Xiang yang kini berdiri dengan senyum cerah yang kekanakkan. Usai menjauhkan selimut dari tubuhnya, Li Wei beranjak dari Kasur dengan mata diputar malas.

“Mandi.”

Kepala A-Xiang mengangguk-angguk dengan semangat. “Akan saya siapkan airnya, Tuan Putri.”

Kemudian, Li Wei menyaksikan tubuh A-Xiang menghilang ke balik bilik lain yang terdapat di sisi lain kediaman. Perasaanya mendadak gamang. Satu bulan sudah ia habiskan di masa ini. Terkadang ia masih belum mengetahui apa yang harus ia lakukan di sini—di masa lampau. Semuanya masih terasa seperti mimpi bagi Li Wei. Akan tetapi ingatkan ia akan pepatah ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Jadi, ia mesti cepat beradaptasi dengan segala kehidupannya di sini.

“Putri kemarilah, airnya sudah siap.” A-Xiang setengah berteriak dari dalam kamar pemandian.

Suara A-Xiang yang tiba-tiba membuatnya tersentak dari lamunan. Li Wei menganggguk meski yang memanggilnya tidak dapat melihatnya. Gadis itu kemudian bergegas membersihkan badannya di bak pemandian besar yang sudah dipenuhi air hangat disertai berbagai bunga-bungaan yang berfungsi sebagai aroma wewangian.

Li Wei merendamkan seluruh tubuhnya hingga meninggalkan kepalanya saja. Sentuhan air hangat ditambah wangi bunga chamomile dari lilin aromaterapi yang menguar memenuhi area kamar pemandian membuat otot di tubuh Li Wei merileks. Saking nyamannya, Li Wei sampai memejamkan matanya hampir tertidur lagi. Intinya gadis itu menikmati aktivitas berendamnya hingga sempat ditegur oleh A-Xiang agar segera mentas dari bak pemandiam.

Setelah cukup lama merilekskan tubuh, Li Wei pun mengakhiri acara mandinya. Di kamar, A-Xiang sudah menyiapkan baju yang akan dikenakan oleh ‘Putri Li Hua’. Li Wei mengelus dagunya dengan pandangan meneliti pada hanfu yang diletakkan di ranjang.

Kemudian gadis itu menggeleng sebagai tanda penolakan. “Ganti yang lain.” Yang segera diangguki oleh A-Xiang. “Baik, Tuan Putri.”

Setelah beberapa saat dihabiskan dengan memilih baju, akhirnya Li Wei sudah rapi dengan penampilan yang dibalut hanfu berwarna perpaduan merah muda dan ungu. Itu membuat dirinya terlihat lebih anggun. Setidaknya, hanfu ini terlihat lebih modis ketimbang yang tadi.

Kini Li Wei duduk terdiam. Sementara itu, A-Xiang bersama dua pelayan lain dengan telaten menghias rambutnya yang panjang dengan berbagai aksesoris rambut yang sangat indah.

Li Wei memperhatikan pantulan dirinya sendiri lewat cermin kecil yang ada di meja. Ia tersenyum dengan kekehan kecil. Sangat cantik! Dan kembali muda haha!

“A-Xiang.” Li Wei memanggil dari balik bahu.

“Iya, Tuan Putri.”

“Memangnya ke Baoyu itu wajib?”

“Kata Nyonya Lin Yun sih begitu,” jawab A-Xiang dengan polos.

“Hmm … Aku tidak ingin ke sana. Bagaimana jika kita ke tempat lain?” ujarnya mencoba membujuk.

Di belakang A-Xiang tampak menggeleng. “Tidak boleh. Kata Nyonya Lin, saya harus memastikan anda kembali bersekolah.”

“A-Xiaaaaang……” Sekarang Li Wei menggunakan jurus merengek. Dia tahu A-Xiang merupakan tipe orang yang tidak tegaan.

“Tidak boleh! Ini demi kebaikan anda. Aku saja iri dengan anda yang dapat bersekolah di sana. Sebagai perempuan apalagi anda seorang bangsawan harus dibekali keterampilan yang dapat menyenangkan suami anda nantinya.” Jawaban A-Xiang sangat template.

“Jika begitu, kau saja yang bersekolah di sana! Aku tidak mau! Karena aku belum ingin menikah!” Bibirnya terkerucut ke depan sambil mendumel lirih kemudian. “Jika di dunia modern kau akan dimarahi SJW feminisme telah bicara begitu! Lagian jika ingin menyenangkan suami tinggal goyang saja, ‘kan?”

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Tahu-tahu terdengar suara isakan kecil. Li Wei terkesiap ke belakang dan mendapati pundak A-Xiang bergetar karena tangis.

“Apa ucapanku tadi sangat keterlaluan?” Li Wei menggumam kebingungan campur heran, tetapi tak menghilangkan rasa bersalahnya telah membuat sosok gadis yang selalu menemaninya di dunia kuno ini menunduk sedih.

“Bagaimana bisa Tuan Putri berkata seperti itu? Saya hanyalah seorang pelayan di sini bagaimana anda bisa menyuruh saya menggantikan anda bersekolah...?” tangisnya tergugu.

Ludahnya terasa kelu saat ditelan. Ia akui bahwa tadi ia sudah bertindak impulsif.  “Aku minta maaf soal ucapanku barusan, em? Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya merasa belum bisa kembali ke Baoyu dengan ingatanku yang belum pulih.” Li Wei beralasan kemudian mengelus bahu A-Xiang lembut.

“Jangan menangis lagi. Aku janji akan menuruti perkataanmu. Ayo kita segera berangkat ke Baoyu,” bujuknya kemudian.

A-Xiang mendongak pada Li Wei yang lebih tinggi sambil menyusut air matanya. “Benarkah anda sudah setuju ke Baoyu.”

Sejenak ia menatap A-Xiang dan dengan berat hati akhirnya mengangguk. “Yaaa. Mau bagaimana lagi.”

Helaan napas kasar keluar dari hidung Li Wei. Ini salahnya yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan keterampilan perempuan dunia ini yang meliputi;

1. Seorang perempuan yang belum menikah wajib bisa menyulam dan bordir agar dapat membuat pakaian yang layak bagi suaminya kelak.

Aku ingin mencari suami kaya agar tidak direpotkan membuat hanfu!

2. Harus pandai memainkan alat musik agar kelak bisa mengibur suami ketika sedang lelah.

Tidak! Berlatih selama beberapa hari saja sudah membuat jari-jariku melepuh.

3. Sebagai perempuan apalagi seorang Putri Kerajaan diwajibkan hafal 5000 sastra kebajikan.

Untuk mengingat seluruh tokoh novel favoritku saja aku tidak mampu. Sekarang aku disuruh menghafal sebanyak 5000 sastra kebajikan? Yang benar saja?!

4. Harus belajar menulis kaligrafi hanzi.

Yang ini tidak masalah. Dulu saat sekolah dia pernah juara 3 kaligrafi! 

Nyatanya, ia ingin sekali menangis. Jika dengan Nyonya Lin Yun, dia masih bisa mengelak dari pelajaran. Tetapi, jika di Baoyu? Dia yakin peraturan sekolah akan lebih ketat dan dia terlalu malas melakukan pembelajaran semacam itu. Dia lebih tertarik melakukan hal lain, misalnya … bela diri?

Li Wei mengetuk dagunya seolah tengah berpikir. “A-Xiang apakah pelajaran di Baoyu lama?”

“Tidak, Tuan Putri.” A-Xiang menggeleng dengan senyum manis di wajahnya. “Biasanya cuma sebentar saja.”

Kepala Li Wei manggut-manggut. “Baguslah. Kita berangkat sekarang!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status