"Dia, Liana tidak akan berhasil menghancurkannya, kalau kamu tidak ikut mendukungnya. Jangan berkilah sekarang, kalau kamu khilaf, ada khilaf bertahun. Hati, hati itu, ketika berbuat salah, saat itu juga sadar kok, hanya pikiran dan na*su kamu yang lebih berkuasa. Jadi, sampai sini paham, Mas.""Bukan aku yang pergi, tapi kamu yang melepaskan, melepaskan aku sejak kamu mengkhianati aku juga Kinara. Simpan permintaan kesempatan kamu itu, Mas. Nikmati hasil pengkhianatan dan pendzoliman yang kamu lakukan selama ini.""Aku bukan perempuan berhati sempurna. Banyak kekurangan, seperti yang pernah kamu ucapkan di malam itu. Masih ingat bukan, bagaimana kamu membanggakan Liana. Ya, aku memang perempuan banyak kekurangan, termasuk kurang untuk memberimu kesempatan, sampai kapanpun!"Laras menyeka air matanya, memejamkan mata sesaat, dan membalikkan tubuhnya.Sesak di dada, kata-kata yang selama ini hanya terangkai dalam benaknya keluar juga, terluapkan tanpa dia menginginkannya.Menerima takd
Ibra tersentak kaget. Merasa tak dihargai, di pikirannya, pasti orang di luar itu sedang bersama istrinya. "Huh, kamu mau bermain-main denganku, Annisa!""Dobrak saja!" seru salah seorang dari lelaki itu."Jangan, kita saja dia keluar."Derap langkah kaki Ibra terdengar jelas menuju pintu utama."Ada apa? Bisa sopan tidak kalau bertamu," serangnya tanpa basa-basi."Wuis, belagak dia." Seorang lelaki tadi pun ikut terbawa emosi. Namun, ditenangkan sama temannya satu lagi."Tenang, kalau dia tidak bisa memenuhi apa yang kita minta baru kita hajar.""Mau apa kalian ke sini, saya tidak banyak waktu untuk berbasa-basi," serang Ibra kembali."Jangan gertak aja yang gede. Bayar hutangmu. Kalau nggak mampu bayar jangan beli! ujar lelaki tanpa rambut, botak licin, saking licinnya, semut bisa bermain seluncuran di kepala lelaki ganas itu."Hutang apa? Kalian datang-datang malah nagih hutang. Saya tidak punya hutang!"Bugh!Sebuah pukulan lumayan keras mendarat di pipi kiri Ibra, membuat diriny
"Kenapa, Ras?" tanya Dennis yang sejak tadi sangat penasaran, padahal baru saja sambungan telepon itu berakhir, ponsel saja belum sempat dimasukkan Laras ke dalam tasnya."Nggak tahu, sih, Den. Katanya pihak rumah sakit, mas Ibra parah katanya.""Parah? Kok bisa? Terus gimana?""Begitu katanya, nggak tahu juga penyebabnya, dia cuma minta aku ke sana.""Kamu mau ke sana?""Hmm ...." Laras kembali menarik napas."Ma, papa ya, yang sakit? Papa masuk rumah sakit, Ma?" celetuk Kinara tiba-tiba yang duduk di kursi penumpang bagian belakang Laras.Laras menoleh, menjawab agak ragu, lalu kembali menghadap ke depan. Berbohong dengan menatap kedua mata Kinara dia tidak tega."Bukan, Nak. Bukan papa kamu, tapi teman mama," kilah Laras. Dia tampak memejamkan mata sebentar dan menghela napas. Mungkin berat bagi Laras berujar demikian. "Tadi mama nyebut nama papa 'kan?""Oh itu, bukan papa kamu, Ki. Namanya pak Ibrahim.""Tapi kenapa mama manggilnya mas Ibra, sama kayak manggil papa?""Iya, Ki. Ma
"Kamu di mana, Sayang? Kenapa tadi di telpon tidak diangkat?""Oh jadi, nomor baru yang masuk tadi itu kamu?""Iya, aku di rumah sakit, bisa ke sini?""Di rumah sakit? Mas ... Mas ... kamu pikir aku percaya kalau kamu di rumah sakit?""Aku serius, Sayang. Aku di rumah sakit, tadi ada yang ke rumah, mobil ditarik karena aku nggak bayar selama tiga bulan. Aku sampai ditonjok, hingga pingsan. Untung ada warga yang nolongin dan dia bawa aku ke rumah sakit. Sekarang, aku udah dibolehkan pulang, cuma aku nggak pegang uang buat bayar. Kamu bisa ke rumah sakit 'kan?""Hahahhaha ...." Bukannya prihatin mendengar penuturan Ibra yang benar adanya, Annisa malah tertawa lepas. "Kamu pikir aku percaya, Mas? Nggak sama sekali, akting mu, aku acungkan jempol sepuluh. Keren. Sayangnya aku bukan mangsa yang mudah kamu jinakkan," ucap Annisa dengan sombongnya."Say-sayang ---."Sambungan telepon diputuskan Annisa, dia yang sedang bersenang-senang di sebuah kafe."Aku tahu kamu berpura-pura, Mas. Ingat!
"Soalnya liat wajah kamu memar begitu, saya jadi curiga.""Tenang, Pak. Saya tidak sejahat yang ada dipikiran bapak, kok."Ibra sibuk memperhatikan gerak-gerik bu Nani dari kejauhan. Sedangkan bapak ojek, sibuk memainkan ponselnya. Karena yakin Ibra ini akan membayarnya lebih, dia pun menonaktifkan aplikasinya.Pergerakan bu Nani semakin jelas terlihat, karena dia duduk paling pojok tak jauh dari tempat Ibra bersembunyi.Bu Nani tampak menelepon seseorang dan Ibra penasaran siapa yang diteleponnya itu. Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda seseorang menemui bu Nani."Pak, gimana? Kalau begini, saya bisa banyak rugi," keluh pak ojek."Sabar, Pak. Lima belas menit lagi, kalau misal tidak ada perubahan kita pergi!""Oke, saya tunggu. Tolong tepati janjimu!""Pasti, Pak."Lima menit kemudian, tampak sebuah mobil berhenti di pintu masuk hotel. Seorang perempuan turun dari pintu belakang."Annisa, berarti benar feeling-ku. Ibu menelepon Annisa. Ini pasti ada sesuatu," gumam Ibra."Pak,
"Pak, ini banyak sekali.""Tidak apa, Pak. Uang segitu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang saya lihat tadi. Bapak memang penolong saya."Saling mengucap rasa terima kasih, kemudian Ibra meminta bapak ojek mengantar dirinya untuk pulang ke rumah. Tadi, Ibra memberi uang sebagai ucapan terima kasihnya pada bapak ojek sebanyak dua juta rupiah.Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Ibra teringat akan Laras juga Kinara. Berulang kali dia mengutuk dirinya karena sudah mengambil tindakan b*d*h selama ini."Pak, kalau misal ada seseorang orang yang sudah terlanjur kecewa sama kita, apa mungkin bisa kembali ke tangan kita lagi, Pak," ujar Ibra pada bapak ojek."Tergantung takdir, Pak. Kalau Allah masih menjodohkan, akan kembali. Namun, jika tidak berarti memang jodohnya sampai sana."Deg!Ucapan bapak ojek semakin mengiris luka yang menganga. Sakit? Sakitnya tidak bisa diungkapkan Ibra dengan kata-kata.Dinginnya malam yang makin larut, menambah bekunya hati Ibra."Tuhan, andai aku bis
Sinar matahari cukup bersinar meskipun baru menunjukkan pukul delapan pagi. Ibra berusaha menghubungi Laras dari semalam juga mengirim pesan. Pesan berisikan penyesalan yang dia kirim panjang-lebar. Jangankan dibalas, dibaca pun enggak.Biasanya, pesan masuk dari Ibra sengaja diberi pin oleh Laras. Pesannya selalu teratas. Namun, ketika luka mulai menganga satu per satu, Laras menghilangkan tanda pin, dan menjadikan pesan yang diarsipkan. Tidak lagi menjadi prioritas."Halo, Din. Maaf pagi-pagi menganggu.""Ya, Mas. Ada apa? Tumben?" Dinda sangat terkejut ketika ponselnya berdering nyaring, matanya membola saat melihat nama Ibra terpampang nyata di layar ponselnya. Berulang kali dia memastikan, apakah deretan huruf itu benar mas Ibra mantan suami Laras. Meski pada akhirnya tanpa sadar jemarinya menyentuh icon telepon berwarna hijau."Bisa kita bertemu?""Ada apa, ya? Nggak ada angin, nggak ada hujan minta bertemu.""Aku mau minta tolong sama kamu, Din!""Haa? Minta tolong, Mas. Apa ak
Kejadian semalam terngiang jelas di pelupuk mata Ibra. Harapan yang tidak sesuai realita. Berharap Dinda mengerti dirinya sudah menyesali perbuatannya, akan tetapi kenyataan yang terjadi malah berbanding terbalik.Dia terduduk di lantai setelah teleponnya berakhir dengan Dinda. Menyandarkan tubuhnya lemah tak berdaya ke ranjang kayu model lama. Pikirannya berkecamuk meratapi apa yang sudah diperbuat.Lupa kapan pastinya, lelaki yang wajahnya sudah tak terawat ini meneteskan air mata. Yang jelas hari ini, pagi ini, lolos dari manik mata hitam pekat nan tajam. Dia biarkan lolos beberapa saat. Setelahnya, dia seka bulir bening tersebut, seiring ratapan penyesalan. "Ras, apa yang harus aku lakuin biar bisa memperbaiki semuanya, Ras?""Aku menyesal, Ras.""Sangat-sangat menyesal.""Betapa bodohnya aku, lebih percaya pada orang yang sejak awal sudah menghancurkan pernikahan kita.""Betapa bodohnya aku, termakan omongan murahan, padahal aku sadar dan tahu betul, kamu bukan perempuan seperti