Dada kiri Viana tertembak.“Viana!” Teofilano turun dari tempat tidur setelah sadar apa yang terjadi. Dia menatap tajam Cintya sebelum mengangkat tubuh Viana yang lunglai berlumur darah.“Pengacaraku akan mengurus perceraian kita,” ancam Cintya.“Sebaiknya begitu.”“Aku akan membunuhmu jika berani keluar dengan wanita sialan ini!” Cintya menangis.Teofilano tidak peduli. Dia membawa Viana keluar kamar, meskipun tahu resikonya. Hanya satu di otaknya saat ini, mengeluarkan peluru dari tubuh Viana secepat mungkin.Tubuh Viana mengigil, merasakan nyeri luar biasa di dada dan bahunya. Dia takut mati, tapi lebih takut lagi tertangkap wartawan.“Turunkan aku.”“Diam, Viana!”Dorr!“Ssshh!” Viana mendesis, peluru Cintya mengenai kakinya.Dorr! Dorr! Dorr!Tak peduli seberapa marah Cintya kepada Teofilano, dia hanya bisa melampiaskan kepada Viana—wanita selingkuhan suaminya. Sama halnya seperti kepada Lauren dan wanita-wanita lain yang pernah ditiduri Teofilano.3 tembakan Cintya meleset semua
“Tidak ada hubungan apa-apa diantara kami. Dia resepsionis saya,” jawab Teofilano, saat di wawancarai wartawan di King Palace Hotel pagi ini.Hari ini King Palace Hotel menjadi trending topik. Bukan hanya baku hantamnya, tapi juga scandal perselingkuhan Teofilano dengan Viana. Sebab wajah mereka tertangkap kamera ponsel pengunjung hotel.Viana yang baru stabil keadaannya, senang mendengar jawaban Teofilano di layar televisi. Dari tadi pria itu berhasil menutupi perselingkuhannya.Jawaban Teofilano sangat meringankan bebannya. Dengan begini, dia tak perlu cemas sampai migrain mencari alasan untuk Galla, keluarga dan kakeknya“Tapi menurut keterangan istri anda, anda mengencaninya dalam 2 tahun terakhir?” tanya seorang wartawan perempuan.Astaga, kepala Viana kembali migrain mendengar pertanyaan wartawan yang semakin lama semakin tajam. Tapi dia percaya Teofilano bisa menjawab pertanyaan itu dengan cerdas. Seperti yang dari tadi pria itu lakukan.“Boleh ditanyakan ke suaminya, pengusaha
Viana kesal ucapan Teofilano benar. Yang membuatnya tidak bisa melupakan Teofilano adalah kepiawaiannya memainkan titik C, G, dan A nya, sehingga dia tahu nikmatnya sebuah sentuhan. Apalagi pria itu pria pertama baginya.Tapi, perempuan waras mana yang meninggalkan suami dan berlari ke pria lain karena urusan batin?Norma mana yang akan membenarkannya?Apalagi Galla sudah merawatnya siang malam. Tidak. Viana tidak bisa melakukan ini.Ceklek“Pagi Viana!”Fokus Viana teralihkan. Dia tersenyum kepada pria paruh baya berpakaian serba putih yang baru masuk ke dalam kamar rawat inapnya. Di belakangnya seorang suster dengan menggunakan masker.“Pagi Dokter Andrew.”“Gimana, ada keluhan?”“Sakit,” keluh Viana. Dia memang merasakan nyeri di dada.Dokter Andrew tertawa. “Sudah minum obat?”“Belum, Dok,” sahut Viana.“Coba nanti diminum dulu obatnya, kalau masih sakit, tambah dosis.”Sementara suster menegecek infus Viana, Dokter Andrew bertanya. “Sudah berapa lama?”“Apa, Dok?” Vian tidak paha
“Kenapa Bapak tidur di sini?!” nada Viana mulai tinggi.“Mau buat saya mati?!” imbuh Viana.Viana tidak habis pikir, Teofilano benar-benar tidak memikirkan nasibnya yang sudah mengenaskan setelah ditembak Cintya. Terpaksa Viana turun dari ranjang, karena tidak mau dekat-dekat dengan Teofilano lagi.Sembari menyeret tiang infus dan kaki kanan, Viana mendekati Teofilano yang tidur di ranjang. Dia akan memaksa Teofilano keluar dari kamarnya karena takut Cintya datang tiba-tiba seperti semalam.Viana menarik tangan Teofilano. “Kalau Bapak sayang sama saya, tolong pergi dari sini!”Viana benar-benar takut Cintya tiba-tiba muncul dan menembaknya lagi. Belum lagi jika Galla atau kakeknya datang. Bisa tamat riwayatnya.Viana salah perhitungan. Dia mendekati singa yang sedang marah. Dalam sekejab tubuhnya yang lemah sudah berada di bawah kungkungan Teofilano.“Justru karena sayang, aku harus di sini.”Viana cemas, jari pipih Teofilano mulai melepas kancing bajunya satu persatu.“Bapak nggak sa
Viana memaksa diri memejamkan mata sebab obatnya tidak akan bekerja jika dia tidak tidur.Meskipun tidak mudah memejamkan mata di tengah hantaman perut yang seperti lubang sebesar ember, pinggang seperti putus dan paha linu, tapi Viana berusaha tidak mempedulikan rasa sakitnya.Seperti biasa, dia berusaha mengosongkan pikiran. Setiap gelombang sakit itu datang, dia melarang otaknya merespon. Tangannya berhenti memijit paha, tapi masih meremas perut. Entah kenapa, hangatnya telapak tangan mengurangi rasa sakitnya.Setelah beberapa lama, Viana merasa intensitas sakitnya berkurang, pertanda obat mulai bekerja. Tubuh Viana lemas setelah melalui sakit luar biasa, namun dia senang sebentar lagi penderitaannya berakhir.Melihat Viana sudah tenang dan tidur, Teofilano keluar kamar. Dia melihat Reynhart dan beberapa anak buahnya berjaga. “Kalian sudah sarapan?”“Belum, Pak,” sahut Reynhart mewakili teman-temannya.“Pergilah bergantian.” Perintah Teofilano yang langsung diiyakan oleh Reynhart.3
Perawat itu melongo melihat Dokter Dante yang selama ini terlihat tegas terhadap aturan malah menemani Teofilano merokok. Ya, mereka berdua merokok di depan poster dilarang merokok. Dia pergi sebelum mendapat masalah.Teofilano melirik sekilas punggung perawat itu. “Saya butuh baju ganti untuk pasien di dalam dan kain pel.”Lantai kamar Viana memang kotor terkena darah menstruasinya. Begitu pula bajunya.“Baik, Tuan. Ada yang lain?” tanya Dokter Dante.“Itu saja.”“Stevi!” Dokter Dante segera memanggil perawat senior itu. “Tolong ambilkan baju ganti untuk Nona Viana dan panggilkan Office boy untuk membersihkan kamarnya.”Stevy menghela nafas tajam sebelum menghembuskannya. Sadar, dirinya sedang diincar Teofilano gara-gara menegur masalah rokok. “Ya. Dok.”“Saya mau dia yang ngepel,” ucap Teofilano.Dokter Dante segera meralat perintahnya. Tidak memberi ruang bagi Stevy yang keberatan karena sedang sibuk mengurus 5 pasien lansia.Sembari menunggu Stevi, Teofilano menceritakan keadaan V
Glek!Cairan kental Teofilano tertelan. Viana marah karena rasanya tidak enak. Dia memukuli perut six pack Teofilano.“Jilat, Viana!” Teofilano benar-benar ingin Viana menuntaskan tugasnya hingga tetes terakhir.Satu jam berlalu. Viana menatap makanan di depannya tapi tidak bisa menelan. Meskipun sudah menetralkan lidahnya dengan mouthwash, tapi rasanya menancap di pikiran.Viana lari ke toilet. “Huek!” masih tidak percaya dengan apa yang barusan dia lakukan.Selama menikah, Viana tidak pernah membahas nafkah batin dengan Galla kecuali saat menstruasi. Karena di moment itu libidonya sedang tinggi. Dan jawaban Galla sangat menyenangkan hatinya. Pria itu akan berkata “Siapa yang tidak mau sama kamu, aku mau.”Nyatanya, meskipun siklus itu berulang, Galla lupa dengan ucapannya.Viana kembali ke meja makan. Bagaimanapun dia harus menelan makanan itu karena ada obat yang perlu dia minum.“Dari mana kamu belajar?” Teofilano masih surprise.“Ilham.”Teofilano tertawa. Perempuan seperti Vian
Viana mengeluarkan tiket bioskop yang dia temukan di saku kemeja Galla, dia letakkan di dashboard mobil lalu pergi. Hati Viana sakit. Galla punya waktu untuk nonton dengan orang lain, tapi tidak punya waktu dengannya.Tapi sakit hatinya tak bertahan lama, sebab dia menyimpan dosa yang lebih mengerikan dibanding tiket bioskop itu. Perselingkuhan.Meskipun terlihat tenang, Viana depresi. Itulah kenapa moodnya swing, selain dasarnya sudah moody. Dia heran, sudah seminggu sejak Galla menjenguknya di rumah sakit, 24 jam sejak dia kembali ke rumah ini, pria itu tidak pernah bertanya tentang berita perselingkuhannya dengan Teofilano. Apa separah itu sikap tidak keponya?Memikirkan Galla, Teofilano, Cintya, dan bayangan ketika dirinya tertembak, semua itu membuat kepala Viana hampir pecah. Disaat yang sama dia harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa karena belum berani mengklaim ingatannya pulih.“Viana, tunggu!”Viana membalik badan, sebagai bukti tidak sakit hati. “Kenapa?”Mata adalah
Vonny memejamkan mata. Menikmati alunan music yang menenangkan jiwa dan pikiran, aroma terapi yang menyegarkan tubuh, dan nikmatnya pijatan terapis favoritnya.“Ibu lama nggak datang ke sini, saya kira pindah ke tempat lain.”“Nggak sempet, Deb,” sahut Vonny kepada Debora—terapis favoritnya“Gimana kabar, Ibu? Baik-baik saja?”“Ada baik, ada enggak.”Debora tertawa. “Mikirin Bapaknya apa anaknya?”“Dua-duanya. Tapi Bapaknya udah sembuh sekarang, nggak berani keluar kota bawa cewek lagi setelah aku coba bunuh diri waktu itu. Anaknya yang belum.”Vonny memang sering curhat dengan terapis favoritnya ini.“Belum pisah sama istrinya yang bermasalah itu?” Debora memang mengingat semua cerita client-clientnya.“Belum. Makin hari aku makin nggak ngerti sama jalan pikirnya. Entah apa yang dilihat dari perempuan itu, sudah diselingkuhi 2 kali masih aja mau, kayak nggak ada perempuan lain. Aku sampe nggak berani ketemu temen atau saudara, takut ditanya macem-macem,” curhat Vonny.Sebenarnya, Gal
Viana terkejut melihat mobil Teofilano masih ada di ruko. Dia membuka pintu ruko dengan kunci duplikat yang biasanya dibawa Ivana dan Ilyasa. Sementara kunci aslinya, yang biasa dia bawa dibawa Teofilano.Viana naik ke lantai 2, mulutnya mengangga, melihat lantai 2 disulap seperti rumah. Triplek penyekat kamar dan kasur busa hilang. Diganti sofa busa yang muat untuk 2 orang, meja, karpet dan lampu berdiri.Entah kenapa Viana merasa ruko ini homy. Viana segera membuang pikiran buruknya. Ruko ini memang punya kenangan, pertemanannya dengan Mr Fox dan percintaannya kemarin pagi dengan Teofilano, tapi bukan untuk dikenang.Viana mendengar kran menyala, artinya pria itu di kamar mandi. Viana kembali ke bawah, dia menyiapkan pesanan sembari mengirim pesan kepada Galla.Viana : Aku minta maaf sudah berpikiran jelek ke kamu. Aku akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.Pesan Viana terkirim tepat saat ada tangan kurang ajar memeluknya dari belakang.“Udah dari tadi?” tanya Teofilano.“Bar
“Viana.”“Jasmine.”Mereka berjabat tangan usai Galla mengenalkan Jasmine kepada Viana. Viana terkejut, karena pernah melihat perempuan ini sebelumnya. Perempuan inilah yang hari itu dia lihat di toko buku horizon.2,5 tahun lalu, Viana disuruh beli kalender khusus oleh kepala marketing KIC. Dia pergi ke toko buku horizon dan melihat seorang wanita cantik bergelayut manja di lengan Galla. Meski Viana tidak tahu hubungan mereka, tapi dari cara perempuan itu bergelayut, Viana merasa ada hubungan istimewa diantara mereka berdua.Viana menelpon Galla saat itu, berpura-pura menanyai keberadaan pria itu. Galla mengatakan dirinya ada di kantor padahal ada di toko buku horison. Viana menangis dan kembali ke KIC dengan mood buruk. Dia tidak menyangka ada orang ketiga dalam rumah tangganya.Itu sebabnya saat Agung—sopir Cintya tiba-tiba mengatakan mereka sudah ada di parkiran, Viana marah kepada Agung karena moodnya sudah buruk sejak awal. Akhirnya Lauren tak punya waktu untuk keluar dari ruang
Mereka masuk ke sebuah restoran. Vonny bingung menentukan menu yang akan mereka makan bersama.“Pa, kamu mau makan apa? Ayam? Sapi?” tanya Vonny.“Apa aja, Ma.”“Michael, Reyna, Galla, mau makan apa kalian?” lanjut Vonny, sengaja tak menyebut Viana.Viana pun peka, tahu Vonny tak menginginkan dirinya ikut makan bersama mereka. Dia membuka ponsel untuk mengecek olshopnya, barang kali ada order lagi.Semua satu suara dengan Gustav, makan apa saja boleh. Viana merasa Vonny beruntung. Punya anak dan suami yang nurut dan sangat sayang padanya. Entah apa yang dilakukan Ibu mertuanya itu, dia seperti kepala di rumah ini.Jika Vonny bilang A, semua akan A. Vonny bilang B, semua akan B. Viana sekarang tahu arti Vonny di mata suami dan anak-anaknya. Jujur Viana suka melihat rumah tangga seperti ini.Vianapun juga ingin punya suami dan anak-anak nurut seperti itu suatu hari nanti, jika diijinkan.Tak terasa pesanan mereka datang. Vonny mengisi piring Gustav. Michael mengisi piring Reyna. Viana m
“Toko lampu?” Viana teringat toko lampu Ayah dan Ibunya ketika kecil. Ayahnya menjual lampu mulai dari bohlam hingga lampu kristal gantung yang biasanya ada dirumah orang-orang kaya.Tapi, lampu-lampu seperti itu tidak hanya di rumah orang kaya, tapi juga di hotel dan mall. Dan di kota yang berjuluk surga bagi orang kaya ini, lampu sudah seperti fashion. Anehnya, sedikit yang menjalani bisnis itu. Teofilano melihat peluang itu.“Ya.”Viana menggeleng. “Aku tidak pandai berbisnis.”“Tidak ada orang yang pandai, semua learning by doing.”“Tahu, tapi aku tidak mau berbisnis lagi kecuali dengan uangku sendiri. Dan aku tidak bisa menerima ruko ini.”Viana kapok bisnis menggunakan uang orang lain. Karena kalau bangkrut, rasa bersalahnya seberat ini.sViana pergi membersihkan diri dan ketika keluar dari toilet Teofilano sudah tidur. Dia turun ke lantai 1 untuk melanjutkan packingannya.Viana melamun. Entah bagaimana nasibnya nanti. Teofilano kekeh ingin menjadikannya teman hidup sampai tua n
Viana mengambil red wine yang ditawarkan oleh pembawa minuman. “Terima kasih.”Dari tadi Viana menghindari Teofilano, karena kesal pria itu memperkenalkan dirinya ke teman-temannya sebagai Stevanie Laurencia King, anak Nit King. Dan calon istri ketiganya.Sebab itu beberapa orang tampak terpaksa baik padanya. Seperti perempuan yang saat ini duduk di depannya, Cintya!Viana duduk menyilangkan kaki, tangan kiri terlipat di dada, tangan kanan memegang gelas wine. Dia memutar isi gelas winenya, ketika Cintya mengajaknya berbicara.“Kamu pasti senang saat ini karena akan dinikahi Teofilano.”“Tidak. Aku justru sedih. Karena aku punya suami,” sahut Viana, tenang.Cintya berdecih. “Munafik.”Cintya terpaksa harus menerima Viana sebagai istri ketiga Teofilano. Hanya dengan begitu, Teofilano memperbarui perjanjian nikah mereka. Pria itu akan memperlakukan dirinya sebagaimana layaknya istri, bukan teman bisnis.Hati Cintya sakit, tapi dia harus bertahan demi merebut hati suaminya kembali. Lagi
Viana mematung Teofilano mengeratkan pelukannya. Padahal matanya terpejam.“I miss you, Viana.”“Kamu nggak kangen aku, tapi tubuhku!”“Itulah maksudku.”Viana berdecak, dia lempar lengan Teofilano dari tubuhnya namun pria itu memeluk Viana.“Nasib Fox tergantung sikapmu padaku.”Viana terperangah. Meski ingin mencakar Teofilano sampai dagingnya habis, dia memilih mendengarkan orang gila itu. Dia tidak mau Mr Fox terluka karenanya.Menjelang sore Viana bangun. Kali ini benar-benar bisa bangun karena Teofilano tidak memeluknya lagi.Viana duduk di kursi taman di lantai 3 ini. Dia menikmati pemandangan sembari memperhatikan orang-orang yang memasang meja kursi dan meja prasmanan di taman belakang dekat kolam, sebelum akhirnya membuka olshopnya.Namun, baru membalas beberapa chat pembeli, perut Viana berbunyi, dia lapar karena sudah lebih dari 12 tidak makan.“Keterlaluan!” Viana kesal, entah dimana Teofilano menyembunyikan anak kuncinya. Tanpa pikir panjang, untuk menyelamatkan perutnya
Mr Fox tahu Viana berbohong, selain matanya tidak berani menatap dirinya saat berbicara, tidak ada raut ceria seperti biasanya.“Gimana kabar Mr?”“Seperti yang kamu lihat.”Viana lihat Mr Fox baik-baik saja. “Mr mau minum apa?”Mr Fox menjatuhkan diri di sofa karena kelamaan bila nunggu Viana suruh. Viana semakin malu pria itu memutar kepala memperhatikan kondisi ruko yang seperti kapal pecah. Untung ada 2 Ibu-Ibu datang.“Mr, aku tinggal dulu ya?”“Silahkan.”Viana lega, untuk saat ini lolos dari kenyataan dirinya jorok. Banyak sampah bekas packingan well shop yang belum dia buang. Viana berjalan mendekati calon pembelinya.“Pagi, Bu, silahkan,” sambut Viana, murah senyum dan ramah seolah tidak punya masalah.“Mau lihat-lihat sandal.”“Sebelah sini,” Viana mengarahkan ke display sandal Ibu-Ibu.Pelanggan itu mencoba sandal dan melihat penampilannya di cermin.“Bagus nggak?” tanya seorang ke temannya.“Kurang.”“Kalau mau model yang lebih muda juga ada, sebentar.” Viana berjalan menu
Lauren mengirimi Viana foto tiket pesawat Teofilano. Kemudian memberi caption dibawahnya bahwa pria itu hari ini terbang untuk menemuinya hanya karena mendengar dirinya demam.Nomor asing : Apa dia pernah seperti itu padamu?Biasanya Viana tidak membalas, tapi entah kenapa kali ini ingin membalas, seperti ingin mencari gara-gara.Viana : Tidak, biasanya dia menemuiku kalau sedang ingin.Usai membalas pesan Lauren, Viana mencoba tidur. Namun usahanya untuk tidur terganggu. Dia menelpon Galla sebelum keadaan memburuk.“La, kamu dimana?”“Kenapa?” nada Galla masih dingin.Viana tahu Galla masih marah padanya karena ditanya tempat tidak dijawab. “Tolong beliin aku makan, pembalut dan ponstan.” 45 menit kemudian Galla baru datang. Viana sudah lemas karena menahan sakit yang luar biasa.***’“Pemandangannya bagus,” celetuk Viana.“Siang lebih bagus.”Saat ini Viana dan Galla makan malam di restoran hotel. Viana takjub melihat pemandangan kota kana saat malam hari.“Dari mana kamu tahu temp