"Peluk," pinta Oliver seraya merentangkan tangannya lebar-lebar saat dia masuk ke dalam kamar setelah dia menyelesaikan olahraga paginya.Dengan riang dan gembira, dia berjalan menghampiri Lena yang saat itu sudah tampak segar setelah mandi dan begitu cantik dalam balutan dress vintage berbahan sifon."Tidak sudi. Menyingkir dariku, kau bau keringat!" tolaknya seraya mendorong dada Oliver agar menjauh darinya dengan cara yang cukup kasar."Jika aku selesai mandi dan tak bau keringat, apa aku akan mendapatkan pelukan?" Oliver tak sekalipun merasa jera. Dia tetap riang dan bersikap hangat pada Lena, bahkan tak jarang dia sengaja menggoda perempuan itu sekalipun respon yang selalu didapatkannya adalah hal yang sangat menyakiti hatinya."Hanya dalam mimpimu!" ujar Lena ketus, seraya menedelikan matanya sinis ke arah Oliver, sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan kembali memejamkan matanya ubtuk berpura-pura tidur.Dia terlalu muak mengobrol dengan Oliver, tapi juga en
"Aku sudah bebas dari penjara, Lena. Kau ke mana? Aku tak menemukanmu di apartemen milik paman Oliver," suara berat milik Vincent dari seberang telepon sana itu terdengar putus asa.Panggilan telepon dari nomor asing yang hampir Lena tolak tenyata adalah panggilan telepon dari Vincent. Pria itu langsung menghubunginya dan hal itu benar-benar membuat hati Lena terenyuh sampai-sampai dia tak bisa menahan dirinya untuk yang menangis.Di satu sisi dia merasa sangat lega, tapi di sisi lain dia merasa sangat sedih karena kini dia sudah tak bisa bersama Vincent lagi. Lebih dari itu, kinu dia bahkan sudah berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauan Vincent.Yang terdengar hanya isak tangis, sehingga Vincent yang berada di seberang telepon sana pun kembali berkata, "Aku merindukanmu, Lena. Maaf karena aku membiarkanmu menikahi paman Oliver hanya demi uang satu juta dolar yang kuinginkan. Tapi, sekarang aku sudah bebas, Lena. Tak bisakah kau kembali padaku?""Aku harap aku bisa," cicit Len
"Kau pembohong," tuduh Lena. Dia semakin menatap Oliver dengan tatapan bencinya. "Kau sengaja mengatakan hal itu untuk mempengaruhiku, kan? Aku tak akan terpengaruh untuk membenci Vincent karena Vincent sudah lebih dulu mengatakan yang sebenarnya padaku kalau kaulah yang menjebaknya. Dia tak pernah menjualku padamu demi uang jutaan dolar. Kaulah yang mengancamnya dengan uang itu."Oliver mengerutkan keningnya mendengar tuduhan itu. "Kau mendengar cerita yamg salah, Aralena. Aku tak pernah mengancam Vincent dan aku tak pernah memenjarakan pria itu.""Pembohong." Lena menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup telinga karena enggan mendengarkan ucapan Oliver."Vincent akan menjualmu pada pria hidung belang yang jadi pelanggan VVIP-Nya. Aku menentang hal itu dan dia memintaku membayar 1 juta dolar sebagai tebusan kalau tak ingin dia menjualmu. Dia tertangkap di pelabuhan saat menyelundupkan para remaja dan narkoba yang akan di jualnya, Aralena. Aku tak pernah menjebaknya, percayala
Setelah kepergian Oliver, tak lama kemudian seorang maid meminta izin masuk kepada Lena untuk membersihkan kepingan-kepingan ponsel yang hanya bisa Lena tatap dengan tatapan nyalang.Ponsel yang dia beli susah payah harus hancur begitu saja hanya karena Oliver tak menyukai dirinya berkomunikasi dengan Vincent."Dasar pria gila," gumam Lena pelan. Sangat pelan sampai terdengar seperti sebuah bisikan hanya karena dirinya tak ingin maid itu mendengan makiannya untuk Oliver."Saya sudah selesai membersihkan pecahan kacanya," ucap maid itu memberitahukan, sebelum kemudian dia pamit undur diri.Tak lama kemudian maid yang lain datang, tapi kali ini dia membawakan sarapan juga sebuah paperbag."Sarapan untuk anda saya taruh di nakas, lalu ini-" maid itu mengulurkan paperbag yang dibawanya kepada Lena. "Tuan Eduardo meminta saya untuk memberikan ini kepada anda, nona Blade."Tanpa memberikan jawaban, Lena sudah lebih dulu melihat isi paper bag itu dan dibuat tertegun karena dia melihat kotak
"Relakan Lena, Oliver. Kau akan terluka lebih dalam kalau kau mempertahankannya di sampingmu," ujar Esme memberikan saran.Mendengar itu, Oliver semakin memasang ekspresi sedih di wajahnya. "Kau tahu betul kalau aku tak bisa melakukan hal itu, kan?""Tapi, Lena juga akan terus berusaha kabur darimu. Pecayalah, Oliver... aku mengatakan hal ini karena aku pernah ada di posisi sebagai Lena. Bukankah kau tahu betul tentang bagaimana yang terjadi pada pernikahanku juga suamiku?"Oliver diam."Lalu bagaimana dengan undangan pesta dari rekan bisnismu itu? Apa kau yakin bisa membawa Lena ke sana?""Dia pasti mau. Aku akan membawanya bagaimana pun caranya."Esme tersenyum miring mendengar kesungguhan pada ucapan Oliver. Dia merasa iba pada Oliver karena dia tahu betul situasi seperti apa yang dihadapi sahabatnya itu ketika menikahi perempuan yang membencinya."Aku juga menikah dengan suamiku tanpa cinta. Kau tahu kan aku memperlakukan suamiku dengan sangat buruk dan tentu itu tak hanya berlaku
Walau harga dirinya menolak, tapi pada akhirnya Lena hanya bisa diam dan pasrah ketika Oliver mulai melumat bibirnya.Ini kali pertama dia berciuman dengan Oliver dalam keadaan sama-sama sadar, dan untuk sesaat hal itu membuat Lena tertegun. Ciuman Oliver kali ini terasa hangat dan lembut, tak seperti ketika pria itu menciumnya saat dalam keadaan mabuk. Namun, sehangat dan selembut apapun ciuman itu tak membuat Lena membalasnya."Apa kau hanya akan berdiam diri saja? Bukankah kau sudah setuju dengan kesepakatan yang kita buat."Antara tertegun dengan ciuman itu atau karena kebenciannya pada Oliver, Lena merasa tak punya tenaga untuk membalas ciuman pria itu. "Iya," jawab Lena datar. Pada akhirnya dengan sikap yang lebih tenang, Lena mulai membalas ciuman itu walaupun dengan gerakan yang cukup kaku.Satu balasan ciuman darinya, mendapatkan lumatan yang lebih dalam dari Oliver. Seolah pria itu hendak memakan bibirnya. Hal itu memicu gelenyar aneh dari dalam diri Lena, tetapi bukan pera
"Kau datang dengan siapa, nona cantik? Tahun-tahun sebelumnya aku tak pernah melihat dirimu, apa ini kali pertama untukmu?" tanya pria asing berambut pirang itu di sela-sela dansa mereka."Iya, ini pertama kalinya bagitu. Oliver yang mengajakku untuk datang," jawab Lena sekenanya.Saat itu Lena tak bisa fokus pada aktivitas dansanya karena beberapa kali dia masih melirik ke arah Oliver tampak begitu berbahagia ketika berdansa bersama mathew. Oliver lebih banyak tersenyum dan bahkan tertawa ketika berdansa dengan anak itu, sementara Esme tampak memperhatikan mereka bedua dari kejauhan."Apa kau tak masalah melihat hal itu?" tanya pria asing itu lagi sembari mengikuti arah pandang Lena karena dia memperhatikan bagaimana sedari tadi Lena bahkan tak memusatkan pandangan kepadanya. Lena selalu memperhatikan Oliver."Apa ada yang perlu dipermasalahkan?" sahut Lena balik bertanya. Kali ini dia memandang wajah pria asing itu."Jadi kau tak masalah melihat Oliver dan Esme yang berinteraksi seh
"Kuharap kau bisa mewujudkan mimpi itu untuknya, Lena."Lena butuh beberapa waktu untuk bisa menelaah ucapan Esme, sampai akhirnya dia pun meringis sendiri. Sebab, bagaimana pun juga Lena merasa itu hal yang sangat mustahil."Mewujudkan mimpi Oliver itu seperti hal yang mustahil, nona Esme. Aku tak berniat sejauh itu. Mungkin dikemudian hari hal itu bisa diwujudkan dengan perempuan yang bukan aku orangnya. Kau sepertinya salah paham, aku tak akan lama bersama dengan Oliver. Kami akan berpisah dalam waktu dekat," ujar Lena penuh tekad.Bukan tanpa alasan. Tapi, Lena merasa kalau dengan melakukan strategi dimana Oliver harus membayar dalam nominal tertentu untuk jasa yang dia inginkan darinya, Lena pikir dia akan segera mencapai tujuannya untuk punya uang yang cukup agar dia bisa membeli tiket dan kabur dari pria itu. Setidaknya, Lena ingin melunasi uang yang telah Oliver berikan pada Vincent agar dia bisa terbebas dari belenggu pria itu.Esme mena