Share

Terjerat Gairah si Om Suami
Terjerat Gairah si Om Suami
Author: Kata Semesta

Bab 1

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-10-12 01:24:58

Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.

Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.

Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.

Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.

Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.

*****

Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.

Di kamar pengantin, Abas melepaskan jasnya dengan gerakan tegas, menggantungnya di sandaran kursi. Ia membuka kancing kemeja bagian atas, lalu mengambil segelas air putih.

"Silakan istirahat. Saya tidur di sofa," ucapnya singkat, dingin.

Jena yang sedari tadi duduk di tepi ranjang, menghela napas kecil. Wajahnya tidak menunjukkan kekecewaan, justru terlihat tenang. Dari dalam tas kecilnya, ia mengeluarkan sesuatu.

Selembar kertas.

Abas menoleh, alisnya terangkat. "Apa itu?"

"Cepat tanda tangan," jawab Jena datar, menyodorkan kertas itu ke arahnya.

Abas menyipitkan matanya, mengambil kertas tersebut, lalu membacanya sekilas. "Kontrak pernikahan?"

"Iya." Jena bersandar santai di kepala ranjang. "Kita sama-sama nggak mau ada di pernikahan ini, kan? Jadi aku pikir... ini solusi terbaik."

Abas terdiam, menatap gadis itu dengan tatapan tajam. "Kontrak?" ulangnya, seakan ingin memastikan ia tak salah dengar.

Jena mengangguk mantap. "Baca dulu, Om."

Kata "Om" itu membuat dahi Abas berkerut. Ia benci disebut begitu. Namun, alih-alih marah, ia justru duduk di sofa, membuka lipatan kertas itu, dan mulai membaca.

Isi kontrak itu jelas:

1.    Pernikahan hanya bersifat formalitas untuk keluarga dan publik.

2.    Tidak ada kewajiban untuk berbagi ranjang atau kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya.

3.    Harus menjaga citra di depan orang tua dan publik.

4.    Setelah satu tahun pernikahan, bebas mengajukan perceraian tanpa ada intervensi keluarga.

5.    Tidak boleh ada campur tangan dalam kehidupan pribadi masing-masing.

Abas menaruh kertas itu di pangkuannya. Tatapannya menusuk ke arah Jena yang terlihat begitu tenang.

"Kamu udah memikirkan ini jauh sebelum pernikahan, ya?" tanyanya datar.

Jena tersenyum samar. "Iya. Aku juga dipaksa menikah. Jadi wajar kalau aku nyiapin jalan keluar. Lagipula... aku tahu kamu pasti nggak akan keberatan."

Abas menyandarkan tubuhnya ke sofa, menghela napas dalam. "Kamu terlalu percaya diri."

"Bukan percaya diri," sahut Jena cepat. "Tapi realistis. Kita berdua sama-sama nggak mau. Jadi kenapa harus pura-pura jadi pasangan bahagia?"

Ruangan itu kembali hening.

Abas menatap kertas itu lagi, lalu menatap Jena. Dalam logikanya, kontrak ini masuk akal. Ia tidak perlu repot bersikap romantis, tidak perlu berbagi kehidupan pribadi dengan perempuan yang bahkan terpaksa berada di dalam pernikahan.

Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Kenapa saya harus percaya ke kamu?" tanya Abas, suaranya rendah namun tajam.

Jena menatapnya balik tanpa gentar. "Karena aku juga nggak mau ngehabisin waktu aku untuk pura-pura jatuh cinta sama kamu."

Mata mereka bertemu.

Dingin. Kaku.

Namun, ada ketegangan samar di udara.

Abas mengetuk pelan kertas itu dengan jarinya. "Baik. Saya akan pertimbangkan. Tapi satu hal yang harus saya tahu, Jenara..." Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya tajam. "... saya tidak pernah menandatangani sesuatu tanpa tahu konsekuensi di baliknya."

Jena hanya tersenyum tipis. "Itu bagus. Karena aku juga nggak main-main."

Abas menatap kertas kontrak itu cukup lama. Ia mengetukkan jarinya ke atas meja kecil di samping sofa, sebuah kebiasaan ketika pikirannya bekerja.

Jena yang masih duduk di tepi ranjang, bersandar dengan santai, menunggu. Ia bahkan tampak tidak cemas sama sekali, seakan sudah tahu bahwa Abas pasti akan tergoda untuk membaca detail kontrak itu.

"Baiklah, kalau ini kontrak, saya ingin memastikan kamu memang serius. Saya akan tanya beberapa hal," ucap Abas akhirnya, suaranya tenang namun tegas.

Jena mengangkat alisnya. "Silakan. Aku siap."

Abas mencondongkan tubuh, tangannya bersilang di depan dada. "Pertama, gimana kita menjelaskan ke orang tua kita kalau mereka curiga? Kamu tahu, orang tua saya nggak mudah dibohongi. Mereka bisa membaca bahasa tubuh."

Jena tersenyum tipis. "Simple. Kita tetap bersikap normal di depan mereka. Pegangan tangan saat diperlukan, makan malam bersama keluarga kalau diminta. Kamu nggak usah khawatir, aku bisa acting."

Abas mendengus pelan. "Acting, ya? Kamu yakin bisa bertahan satu tahun penuh hanya dengan berpura-pura?"

"Kalau itu berarti aku bisa bebas setelahnya, aku sanggup," jawab Jena mantap.

Abas menyipitkan mata, mengamati ekspresinya. Gadis itu sama sekali tidak bergeming.

"Baik. Pertanyaan kedua," lanjutnya. "Bagaimana kalau media tahu? Saya CEO dari perusahaan besar. Pernikahan saya jelas jadi sorotan. Kalau mereka mencium ada yang aneh, reputasi perusahaan saya bisa jatuh. Kamu siap menanggung risikonya?"

Jena menautkan kedua tangannya di pangkuan, lalu menatapnya mantap. "Justru karena itu kontrak ini dibuat. Kita harus terlihat ideal di depan publik. Tenang aja, aku nggak akan bikin masalah. Aku bukan tipe yang cari perhatian kamera."

Abas mengangguk kecil, tapi belum puas.

"Pertanyaan ketiga. Apa kamu yakin nggak akan melanggar poin nomor lima?"

"Yang mana?" Jena pura-pura lupa.

"Tidak ikut campur dalam kehidupan pribadi masing-masing," jawab Abas cepat. "Saya nggak suka orang lain masuk terlalu dalam ke urusan saya."

Jena menahan tawa kecil. "Kamu tenang aja, aku punya hidupku sendiri. Aku juga nggak tertarik ngurusin urusan pribadi kamu. Lagi pula..." ia menatap Argatha dengan tatapan tajam tapi ringan, "...aku yakin kamu juga nggak akan peduli siapa yang ada di lingkaran pergaulan aku."

Abas terdiam sejenak. Ia tahu gadis itu benar. Ia tidak pernah punya waktu untuk mencampuri hidup orang lain, bahkan kalau itu istrinya sendiri.

"Pertanyaan keempat," suara Abas semakin dalam. "Kalau selama satu tahun ini ada sesuatu yang berubah? Misalnya, salah satu dari kita... mulai jatuh cinta."

Jena mengedip pelan, lalu tertawa kecil. "Kamu terlalu percaya diri kalau mikir aku bisa jatuh cinta sama kamu."

Abas menaikkan sebelah alisnya. "Bukan itu maksud saya. Saya bicara secara logis. Emosi manusia nggak bisa diprediksi."

"Kalau sampai itu terjadi," Jena menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi dengan senyum menantang, "berarti yang jatuh cinta harus siap menanggung akibatnya sendiri. Kontrak ini tetap berlaku."

"Lagipula kalau ada yang jatuh cinta, aku yakin itu pasti kamu. Aku nggak mungkin. Aku punya pacar, dan aku sayang banget sama dia," tambah Jena.

Abas terdiam.

Kalimat itu menancap seperti pisau dingin di dadanya, bukan karena ia peduli pada Jena—ia bahkan bisa kenal Jena karena orang tuanya—melainkan karena keterusterangan gadis itu membuat harga dirinya terusik.

"Istri sah saya baru aja mengaku masih punya pacar," ucap Abas dingin, nada suaranya seperti baja. "Dan kamu pikir saya akan diam aja?"

Jena mengangkat bahu, ekspresinya tetap santai. "Ini cuma pernikahan formalitas, kan? Lagipula, bukannya kamu juga nggak mau terikat dengan siapa pun? Jadi apa bedanya kalau aku masih punya pacar?"

Abas menyipitkan mata. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Jena tajam seakan ingin menelanjangi pikiran gadis itu. "Bedanya, kamu sekarang menyandang nama saya. Kamu bawa reputasi saya. Apa pun yang kamu lakukan di luar sana, kalau sampai terbongkar, akan berimbas ke saya. Itu yang kamu lupa."

Jena terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Oke. Aku ngerti. Tenang aja, aku nggak akan bodoh sampai bikin gosip murahan. Hubungan aku sama pacar aku... cukup di balik layar."

Abas mengetuk meja sekali lagi, matanya tidak lepas dari wajah Jena. "Nama pacar kamu siapa?"

Jena mengernyit. "Kenapa nanya begitu?"

"Kalau kamu mau saya tanda tangan kontrak ini, saya perlu tahu semua potensi risiko. Saya nggak menaruh rasa ke kamu, tapi saya nggak akan membiarkan orang lain menjadikan saya bahan permainan. Jadi, siapa nama pacar kamu?"

Suasana kamar seketika menegang.

Jena menggigit bibir bawahnya, lalu menatap Abas dengan senyum samar, kali ini agak getir. "Kamu benar-benar CEO sejati, ya. Semua harus jelas, semua harus transparan. Bahkan urusan hati pun kayak neraca keuangan."

"Jawab, Jenara." Suara Abas tegas, tidak memberi ruang tawar.

Jena terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata pelan, "Namanya Radit. Kami udah pacaran hampir tiga tahun."

Abas mengangguk kecil, lalu bersandar kembali ke sofa. Tidak ada komentar lebih lanjut, seakan informasi itu hanya ia simpan sebagai data penting, bukan sesuatu yang memengaruhi emosinya.

Abas kembali mengambil kertas kontrak itu, matanya tajam menelusuri tulisan. "Baik, saya sudah pertimbangkan. Tapi sebelum tanda tangan, saya akan buat satu pasal tambahan. Dan kalau kamu setuju, kontrak ini baru berlaku."

Jena memiringkan kepala, penasaran. "Pasal tambahan apa?"

Abas menatap lurus ke arahnya, suaranya rendah namun penuh wibawa.

"Nggak ada pihak ketiga yang boleh ikut campur dalam pernikahan ini. Termasuk pacar kamu."

"Ma-maksudnya gimana?" tanya Jena kaget.

Jena menegakkan tubuhnya, wajahnya berubah serius. "Maksud kamu... aku harus putus sama Radit?"

Abas tidak bergeming. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa, kedua lengannya bersilang di dada. "Saya nggak peduli kamu mau sebut apa. Putus, rehat, atau cuma menjauh. Intinya, selama pernikahan ini berjalan, dia nggak boleh muncul. Nggak di depan publik, nggak di balik layar."

Mata Jena melebar. "Tapi itu keterlaluan! Dia nggak ada hubungannya sama kamu!"

"Dia punya hubungan sama kamu," potong Abas cepat, dingin. "Dan sekarang kamu punya hubungan sah dengan saya. Jadi otomatis, dia masuk dalam lingkaran yang bisa mengganggu reputasi saya."

Jena menghela napas keras, jari-jarinya mengepal di atas lutut. "Aku udah janji nggak akan bikin gosip. Radit tahu posisinya. Kami bisa atur supaya hubungan itu tetap aman."

Abas mencondongkan tubuh, tatapannya menusuk. "Kamu bisa atur, tapi kamu nggak bisa jamin. Manusia berubah, Jenara. Apalagi seorang pacar yang kamu tinggalkan demi menikah dengan pria lain. Kalau dia marah, kecewa, lalu buka mulut? Apa kamu pikir media akan diam?"

"Kamu nggak perlu takut itu. Radit tahu kok soal pernikahan kita, dia nggak marah," ucap Jena.

Abas terdiam sejenak, lalu tertawa pendek tanpa senyum—dingin, sinis.

"Nggak marah?" Ia mengulang kata-kata Jena seperti mengejek. "Jadi kamu mengaku sudah bicara dengan dia? Bahkan sebelum pernikahan ini berlangsung?"

Jena menatapnya balik, mencoba terlihat tenang walau sorot matanya goyah. "Iya. Aku nggak mungkin sembunyi dari dia. Radit orang pertama yang tahu aku dijodohin sama kamu."

Abas mengetukkan jarinya ke meja sekali, matanya tajam penuh perhitungan. "Kamu semakin pandai mengejutkan saya, Jenara. Kamu pikir saya akan percaya seorang pria yang pacarnya dinikahkan dengan laki-laki lain bisa begitu... santai?"

"Karena dia percaya sama aku!" suara Jena meninggi, nyaris pecah. "Dia tahu aku nggak cinta sama kamu. Dia ngerti kalau semua ini cuma formalitas keluarga!"

Abas bangkit dari sofa, langkahnya tenang tapi penuh wibawa, lalu berdiri tepat di depan Jena. Dari atas, tatapan matanya menusuk, membuat jarak mereka terasa semakin sempit.

"Dengar baik-baik. Entah dia percaya atau nggak, entah kamu yakin atau nggak, saya nggak akan menaruh nasib reputasi saya di tangan pria asing bernama Radit. Itu murni kebodohan."

Jena menelan ludah, jantungnya berdegup keras.

"Jadi... kamu tetap mau aku menjauh dari dia?" suaranya bergetar, tapi matanya mencoba bertahan.

Abas mendekat sedikit, hingga bayangan tubuhnya menutupi Jena yang masih duduk di tepi ranjang. "Nggak sekadar menjauh. Kalau kamu mau kontrak ini berlaku, Radit harus hilang dari hidup kamu. Satu tahun aja. Setelah itu, silakan lari kembali padanya. Tapi selama kamu bawa nama saya, nggak ada ruang untuk pihak ketiga."

Jena mengatupkan bibir, menahan sesuatu antara marah dan sedih. Ada rasa ingin membantah, tapi ia tahu Abas tidak akan bergeming.

Akhirnya, Jena memalingkan wajah, menatap kosong ke arah jendela. "Kamu benar-benar kejam, Om."

Abas tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, dingin, lalu kembali ke sofa.

Kertas kontrak itu masih tergeletak di meja, belum ada tanda tangan.

"Besok pagi, saya putuskan," ucap Abas datar. "Kalau kamu masih keberatan dengan pasal tambahan itu, anggap aja kontrak ini nggak pernah ada."

Suasana kamar pun jatuh ke dalam keheningan mencekam.

Jena menggenggam gaun pengantinnya erat, mencoba menahan perasaan yang bergejolak.

"Dan satu lagi... pria mana yang bisa bersikap santai melihat wanita yang dia cintai menikah dengan pria lain? Coba kamu selidiki pacar kamu, siapa tahu dia punya simpanan wanita lain, mangkanya memperbolehkan kamu menikah dengan saya," ucap Abas tersenyum miring, lalu melangkah ke kamar mandi hotel.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 6

    Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 5

    Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 4

    Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 3

    Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 2

    Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 1

    Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status