MasukAbas menggenggam tangan Jena erat, langkahnya mantap masuk ke dalam restoran, meski wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jena yang berjalan di sampingnya menatap sekilas ke arah Abas, merasakan genggaman itu bukan sekadar sopan santun, tapi juga proteksi—seolah Abas ingin menegaskan bahwa ia dan Jena datang bersama, sebagai satu kesatuan.
Pelayan restoran yang mengenakan seragam rapi segera menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat malam, Pak, Bu. Silakan ikut saya. Ruang VIP sudah disiapkan.” Abas hanya mengangguk singkat, tak banyak bicara. Jena, sebaliknya, membalas dengan senyum hangat pada pelayan itu, menutupi ketegangan yang jelas terasa dari suaminya. Mereka dibawa menyusuri lorong restoran yang elegan, lampu gantung berkilau di atas kepala, aroma makanan lezat samar tercium di udara. Suasana begitu kontras dengan isi hati Abas yang masih berat. Setibanya di depan pintu kayu berukir, pelayan membukanya dengan sAbas masuk ke kamar setelah mendapatkan telepon dari Ibas. Pintu kamar ditutupnya perlahan, tidak ingin mengagetkan Jena.Jena sedang duduk bersandar pada headboard, selimut menutupi kakinya. Ia tertawa kecil sambil menonton video lucu di tabletnya, bahunya naik-turun karena masih menahan geli.Abas mendekat tanpa suara, lalu duduk di tepi tempat tidur, membuat kasur sedikit melesak. Gerakan itu membuat Jena otomatis menoleh.“Mas?”Ia memiringkan kepala. “Kenapa? Mau makan? Aku siapin sebentar ya.”Abas tidak langsung menjawab. Ia meraih tangan Jena, menggenggamnya hangat, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya.“Sayang…” ucapnya pelan, seolah memulai sesuatu yang penting.“Besok Ibas ngajak kita makan siang, kamu mau? Ibas mau ajak Siska, katanya ada yang mau diomongin sama Siska.”“Siska ajak Tante Putri nggak, Mas? Aku nggak mau kalau ada Tante Putri. Nanti dia sumpahin aku yang nggak-nggak lagi. Aku biasanya berani lawan dia, tapi setelah dia sumpahin aku, aku takut,” ucap
Koper itu gedebuk turun satu anak tangga, lalu satu lagi. Suaranya memecah keheningan rumah besar itu—rumah yang biasanya hangat, kini terasa seperti medan perang yang baru saja selesai terbakar.Ibas dan Siska yang sedang duduk di ruang keluarga langsung terlonjak kaget.“Ma… Mama mau ke mana bawa koper?”Ibas berdiri, suaranya berat dan bingung.Siska ikut bangkit. “Iya, Ma… Ini udah malam banget loh. Mau ke mana sih?”Tante Putri berhenti di tengah tangga. Napasnya kasar, matanya merah—bukan karena sedih, lebih seperti marah yang tidak sempat disembunyikan.Ia menarik kopernya lagi, keras, tidak mempedulikan tatapan anak dan menantunya.Sebelum ia sempat menjawab, langkah berat terdengar dari arah ruang kerja.Pak Samudra muncul, wajahnya tenang... Tenang yang sudah selesai. Tenang yang tidak bisa dibantah siapa pun.“Mulai hari ini,” ujarnya tanpa nada berputar-putar, “Mama kalian nggak tinggal di sini l
Tante Putri merangkak sedikit mendekat, air mata jatuh tanpa henti. Tangannya gemetar saat meraih pergelangan tangan Pak Samudra, menciumi punggung tangannya berkali-kali seperti orang yang kehilangan pegangan hidup. “Pa… maafin Mama… Pa, Mama nggak bermaksud nyumpahin Jena… Mama cuma—Mama cuma kesel… Mama lagi emosi… Mama nggak mikir…” suaranya pecah, terisak tanpa kendali. Pak Samudra tidak menjauh, tapi tubuhnya kaku. “Keputusan saya udah bulat,” ucapnya pelan, namun sangat tegas. Tante Putri mencengkeram lebih erat. “Pa… Pa jangan gitu… Pa, kita udah puluhan tahun bareng… Pa jangan tinggalin Mama… Pa pliss…” Pak Samudra akhirnya menatap istrinya. Mata lelaki itu tampak sangat lelah, lebih lelah dari siapa pun di tempat itu. “Putri… kamu udah tahu dari dulu kan? Aku bertahan di rumah tangga kita… bukan karena cinta.” Tante Putri tersentak. “Pa… pa jangan ngomong gitu… jangan di depan orang…” Pak Samudra menghembuskan napas panjang. “Karena cinta saya cuma untuk almarhuma
Abas dan Jena baru saja keluar dari restoran, tangan masih bertautan. Langkah mereka menuju area arcade.Jena berjalan kecil sambil menahan antusiasnya, sementara Abas hanya tersenyum mengikuti langkah istrinya.Namun, langkah mereka terhenti mendadak.Di depan, dari arah eskalator, Tante Putri—dengan tas mewah menggantung di lengan—melangkah bersama Pak Samudra.Mata Jena langsung mengecil. Abas refleks mengeraskan genggaman tangannya, berdiri tegak.“Oh, Abas udah pulang dari rumah sakit. Syukur deh,” ucap Tante Putri dengan senyum manis—yang rasanya lebih seperti belati.“Bas, gimana keadaan kamu? Udah baik-baik aja?” tanya Pak Samudra, wajahnya cemas.“Udah, Pa,” jawab Abas pendek, dingin.Pak Samudra hendak mengangguk lega, tapi suara ketus Tante Putri langsung memotong.“Kamu benar-benar istri yang nggak ngerti, ya!” serangnya tiba-tiba.Jena terpaku, tubuhnya menegang. “Tante… maksudnya?”“Suami kamu baru pulang dari rumah sakit, kamu ajakin ke mall. Otak kamu tuh di mana sih,
Begitu memasuki restoran Jepang yang dipenuhi aroma kaldu hangat dan wangi rumput laut, Jena langsung bersinar seperti anak kecil masuk toko permen. Abas hanya bisa mengikutinya sambil menahan tawa, masih menggenggam tangan istrinya saat mereka diarahkan ke meja untuk berdua di dekat jendela. Begitu duduk, Jena langsung membuka buku menu seolah sedang membaca buku favoritnya. Matanya berbinar tiap kali melihat gambar makanan. “Mas… lihat deh ini!” serunya sambil menunjuk ramen dengan irisan chashu tebal. Abas hanya mengangguk dengan senyum pasrah. “Iya, iya… kamu pasti pesan itu.” Dan benar saja. “Aku mau ramen yang ini, Mas. Yang kuah creamy. Terus… sushi juga. Yang salmon. Eh, sama yang ini! Sama yang ini juga!” Jena menunjuk dua jenis sushi lain, tampaknya sudah lupa hitungan. Pelayan yang berdiri di samping meja tersenyum ramah saat Jena menyebutkan pesanannya, satu mangkuk ramen besar, salmon sushi, tamago sushi, dan satu set sushi roll dengan mayo. Bahkan Jena masih meli
Abas memutar kemudi perlahan, matanya menelisik setiap deret kendaraan di area parkir yang padat. Sudah hampir lima belas menit ia berkeliling, tapi tak satu pun slot kosong terlihat. Sementara itu, Jena duduk di sampingnya, menatap ekspresi suaminya yang masih tampak tenang. Abas menoleh kanan-kiri, memastikan belum ada mobil yang hendak keluar. Ia bahkan sempat menurunkan sedikit volume musik di mobil, seolah hal itu bisa membantunya lebih fokus mencari. Jena menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah Abas. “Mas, kok bisa sih setenang ini?” tanyanya sambil menatap wajah suaminya yang tetap santai. “Kalau aku jadi Mas, mungkin aku udah putar balik, dan mutusin buat pulang aja. Nggak jadi ke mall karena nggak dapet-dapet parkir.” Abas tersenyum kecil tanpa menoleh, tangannya masih mantap di setir. “Heh, sabar itu bagian dari seni, sayang,” ujarnya santai. “Kalau tiap macet atau susah parkir langsung nyerah, bisa-bisa hidup kita penuh ngel







