*Happy Reading*"Bagaimana Devia, apa penjelasan kamu tentang chat ancaman ini?"Mengatur napas agar tetap tenang, aku pun berusaha mempertahankan senyum, seraya memutar otak mencari alasan tepat sebagai jawaban. Okeh! Maybe this time.Menarik napas panjang sejenak. Aku mulai menatap si wartawan dengan sendu. Ekspresi wajah sengaja aku buat selelah mungkin. Seakan aku punya beban yang teramat di pundakku. "Seperti yang aku bilang di awal. Aku tuh lelah di sangkut pautkan dengan sensasi yang di timbulkan Pak Aksa. Karena apa? Karena hujatan dan ancaman bukan cuma aku dapatkan dari pesan di medsos. Tapi sampai ke pribadi. Entah dari mana mereka mendapat nomor ponselku. Jujur saja, itu sangat mengganggu. Padahal aku butuh ketenangan dalam pengobatan yang akan dijalani. Tapi kalau begini terus, apa bisa aku tenang? Mental aku bisa ikutan down lama-lama." Menarik napas panjang sekali, dan membuangnya secara perlahan. Benar-benar seperti orang yang sudah sangat lelah jiwa dan raga. Terny
*Happy Reading*"Don't like me. You will definitely get hurt."Eh? Apa aku baru saja ditolak?Satu detikDua detikTiga detik, dan ...."Ekhem!" Aku berdehem refleks demi menghilangkan hening yang tiba-tiba menyapa. "Reyn, kamu baik-baik saja di sana?""Maksudnya?" Reyn bertanya balik. "Ya ... gitu, kamu tadi lagi ngomong sama siapa?""Tentu saja kamu, Devia. Siapa lagi? Bukankah kita sedang bertelepon?" Reyn bertanya setelah beberapa saat terdiam."Aku?!" Pura-pura terkesiap. "Wah, kalau gitu fix. Di sini bukan cuma aku yang tidak fokus, tapi kamu juga!""Maksudnya?" Reyn bertanya cepat."Ya, gitu. Kamu lagi gak fokus juga, ya? Soalnya omongan kamu gak nyambung."Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya hening saja. Sepertinya, Reyn sedang berpikir dan mencerna ucapanku. Karena itulah, aku memilih melanjutkan ucapanku. "Padahal tadi kita lagi ngomongin nomor telepon si pengirim ancaman, loh. Kok, kamu malah tiba-tiba bilang 'Don't like me'. Kan gak nyambung, Reyn. Apalagi, kamu
*Happy Reading*Pada akhirnya. Meski aku sudah merajuk, merayu, bahkan menangis kejer seperti anak kecil, tapi gak pake goser-goser di lantai karena masih sakit punggung. Aku tetap ditinggalkan di tempat terpencil ini. Memang sih, tidak sendirian seperti dalam bayanganku sebelumnya. Ada beberapa pelayan dan penjaga berbaju serba hitam yang menemani. Juga ... Lika sebagai teman dan asisten khususku. Ya. Entah bagaimana ceritanya hingga Lika bisa di rekrut lagi jadi asisten aku di sini. Kata gadis itu sih, Reyn sendiri yang menelpon dan meminta tolong. Nah, kalau gitu ... ngapain juga kemarenan aku mewek-mewek pisahan sama dia, kalau ujung-ujungnya ketemu lagi. Ih, mubajir dah air mataku. Untung aku bukan duyung. Kalau duyung, lebih rugi lagi. Bisa buat beli kapal pesiar air mataku kemarenan."Huh dasar medusa kang drama. Muka lo bokis banget. Playing victimnya gak natural. Belajar ekting lagi sono!"Aku hanya melirik malas pada Lika, yang saat ini mengomeli ponselnya sendiri. Gak usa
*Happy Reading*"Bisakah kamu ketuk pintu?" Reyn terdengar datar menyahuti si Nurbaeti di sana. "Ngapain? Pintunya udah kebuka ini. Lo juga ... ck! Iya-iya."Hening sesaat, lalu ....Tok ... tok ... tok ...."Tuh, udah. Jan delik kek gitu lagi. Kayak lo kurang serem aja."Astaga! Aku bisa membayangkan bagaimana menyebalkannya Nurbaeti di sana. Memang anak Mak Kanjeng dia tuh. Asli! Tak perlu diragukan lagi. Namun, aku sebenarnya lumayan salut sih sama Nurbaeti. Karena meski Reyn ini seram dan kadang galak. Nurbaeti bisa berinteraksi sesantai itu pada pria kutub tersebut. "Ada apa?" Reyn terdengar datar menanggapi Nurbaeti."Kok ada apa? Lo budek apa kek mana? Pan tadi udah gue bilang. Lo udah ditungguin di bawah. Buruan!""I see. Pergilah. Aku akan menyusul."Aku memilih menyimak saja. "Ck, barengan aja bisa, gak? Gue males nanti di suruh naik lagi manggil lo! Dikira gak capek aja turun naik di rumah nih.""Aku sedang menelepon orang.""Siapa?""Bukan urusanmu. Pergi.""Ck, pelit.
*Happy Reading* "Apa, Lik?! Lo gila, ya? Suami lo gimana, Anjir?!" Setelah sepanjang perjalanan Lika membungkam mulut dan hanya memberikanku senyum penuh arti, tiap kutanya apa yang terjadi antara dirinya dan Tylor. Akhirnya, Lika buka cerita saat kami sudah berada di tempat baru. Kali ini bukan mansion besar seperti sebelumnya. Tetapi rumah minimalis dengan lingkungan yang tetap asri. Tahu rumahnya Bella di film twiligt. Nah, rumahnya mirip itu. Okeh, mari kita skip pembahasan tentang rumah. Karena aku tidak berminat jadi sales property. Mari kembali pada Lika yang baru saja mengaku sudah melakukan ONS dengan Tylor. "Suami gue juga selingkuh kalau lo lupa." Lika menjawab acuh. "Dan gue, otw jadi janda," tambah Lika dengan jumawa. Seakan status janda itu sangat membanggakan. Mentang sekarang banyak hastag di media 'Janda makin di depan' dan 'Janda lebih menggoda'. Jadinya si Lika ini malah terinspirasi buat cepat jadi janda. Ah, jaman emang udah uedan! "Ya kan gak harus dib
*Happy Reading*Author pov"Bos." Reyn disambut beberapa anak buahnya saat tiba landasan hellypad Rumah sakit Setiawan Healthy. Mengangguk sejenak demi membalas sapaan sang anak buah. Reyn pun segera turun dari hellypad yang mengantarnya pulang, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Shabina turun. Tidak ada penolakan dari Shabina. Gadis itu menurut saja, bahkan ketika Reyn langsung menariknya masuk ke dalam rumah sakit dengan terburu-buru. Meski sampai tergopoh-gopoh mengejar langkah panjang Reyn, Shabina tetap mengunci mulutnya untuk tidak mengeluarkan protes. Setelah menuruni tiga lantai dari arah rooftop. Reyn membawa Shabina keluar lift, kemudian menuju ruang ICU. Kehadiran Reyn di sana tentu saja membuat Tylor dan Lika yang menunghuggu di depan ruangan, gusar seketika. "Jelaskan apa yang terjadi?" Reyn melepaskan tautan tangannya pada Shabina, dan mendekati Tylor dengan langkah tegap seperti seorang pemburu. "Maaf tuan Reyn. Saya lalai dalam menjalankan tugas." Tylor la
*Happy Reading*Arjuna memijat pelan keningnya yang tiba-tiba pening, dan membuang napas berat syarat akan kelelahan. Lelah mengurusi dua anak muda bar-bar, yang suka sekali bermain dengan nyawa orang. Beruntung tadi ada Kenneth, salah satu putra kembarnya hadir tepat waktu menghalau kegilaan Sella. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan rumah sakitnya ini akan mendapat masalah dari ulah Sella. Bukannya mau sok suci dan baik hati ingin memaafkan penghianatan Tylor. Tetapi ... ya gak bunuh orang di sini juga, astaga! Ugh ... benar-benar dua remaja itu, ya? Memang paling jago bikin orang tua sepertinya sakit kepala. Kini, Kenneth dan Frans sudah berhasil mengamankan Tylor dan Sella. Membawa kedua orang, bertiga dengan selingkuhannya itu menjauh dari sini. Arjuna memang menyuruh Ken membawa Sella ke ruangan Karina. Arjuna yakin, Karina pasti bisa menenangkan gadis emosian berpikiran pendek mirip bapaknya itu. Sementara Tylor dan selingkuhannya, Arjuna percayakan pada Frans. Bagaimana pun
*Happy Reading*Reyn dan Malvino masih saling menatap dengan tajam. Seakan saling memperingatkan lewat tatapan masing-masing. Rahang keduanya menegang, tangan pun sudah mengepal keras siap menghajar lawannya. Mereka lalu saling bergerak maju dan ...."Stop, Dude!" Arjuna melerai cepat. Berdiri di tengah-tengah mengangkat kedua tangannya pada arah Reyn dan Malvino. Hingga keduanya berhenti melangkah dengan kompak."Jangan berkelahi di sini. Demi Tuhan, ini rumah sakit! Apa kalian tidak sadar pada sekitar?" Arjuna berusaha mengingatkan. Reyn dan Malvino tidak menjawab. Masih saling melemparkan tatapan tajam. Dengan dada berombak keras menahan emosi."Jika kalian memang sangat ingin berkelahi dan saling membunuh. Maka pergilah ke aula. Silahkan saling membunuh di sana."Shabina langsung menganga tak percaya mendengar kata-kata Arjuna selanjutnya. Gadis itu tak habis pikir dengan pria bule, yang masih sangat tampan di usianya yang tak muda lagi.Orang ingin saling bunuh kok di dukung? Pr