MasukTak ada informasi apa pun.Tak ada jejak.Tak ada petunjuk yang bisa dipegang.Satu-satunya yang semakin jelas adalah rasa panik yang makin mencekik mereka bertiga.Shandy berkali-kali memegangi dadanya, wajahnya pucat. Nafasnya memburu, sampai akhirnya Kaivan panik sendiri.“Om, Om kenapa?!”“Om pusing banget, Kai.” Shandy menahan kepala yang berdenyut keras. “Darah kayaknya tinggiku kambuh.”Elvaro menoleh. “Tahan dulu, Pak.”Tanpa pikir panjang, Kaivan memutuskan, “Om, kita pulang dulu. Aku antar Om Shandy pulang sekalian jemput Runi.”Shandy mengangguk dengan kondisi limbung. Mereka bertiga kembali ke mobil, dan Kaivan memacunya cepat namun tetap terkontrol.---Sesampainya di rumah Shandy, suasana sudah genting. Deva cemas setengah mati, tapi berusaha tampak kuat.“Papa kenapa?”“Tante, Om Shandy sepertinya darah tingginya kumat, Tante anterin Om ke kamar, atau perlu aku panggilkan dokter?”Shandy mengangkat tangan dan menggeleng. “Gak perlu, Kai. Om istirahat saja.”“Kai, kalau
Begitu pintu terbuka, semua orang langsung terperangah. Kamar Yara kosong. Tempat tidur berantakan, gorden masih bergoyang tipis seperti baru tersentuh angin.“Ya… ya ampun… Yara?” Arunika langsung masuk lebih dulu, suaranya pecah memanggil-manggil.Devapun ikut menyusul, panik. Mereka berdua membuka pintu toilet kamar.“Yara?! Yara sayang, kamu di dalam?!” panggil Deva bergetar.Tak ada jawaban.Elvaro berlari ke walk-in closet, mendobrak pintunya. “Yara! Yara, kamu di mana?!”Kosong. Hening. Hanya suara napas panik mereka masing-masing.Sementara itu, Shandy dan Kaivan bergegas ke balkon. Shandy menepi gordennya dengan gerakan cepat, Kaivan langsung keluar.Seketika wajah Kaivan pucat.“Om Shandy.” Kaivan menunjuk sesuatu. Tangannya gemetar.Tali seprai menjuntai di dinding balkon. Masih terikat rapi pada besi bangunan.“YA Tuhan… YARA kabur!” seru Kaivan lantang.Dalam hitungan detik, semua orang sudah berdiri di balkon menatap tali itu.Arunika langsung menutup mulut, menahan jeri
Mereka berhenti tepat di depan rumah besar milik Shandy. Mesin mobil bahkan belum sepenuhnya mati ketika Kaivan sudah turun dan mendesak satpam untuk membuka pagar.“Pak, tolong! Buka pagarnya!” serunya, terburu-buru.Namun satpam itu menggeleng kuat, wajahnya terlihat cemas.“Maaf, Pak Kaivan, Pak Shandy sudah memberi perintah. Pak Elvaro tidak diperbolehkan masuk.”Elvaro yang sejak tadi menahan diri langsung meledak. Ia maju, memegangi jeruji pagar besi itu seolah itu satu-satunya hal yang menahannya untuk sampai ke Yara.“Yara! YARA!” teriaknya, suara parau dan penuh frustasi.Arunika tak kalah panik. Ia berusaha keras mengimbangi suara Elvaro.“Yara! Yara, keluar sebentar, Yar! Tolong dengar aku!”Satpam semakin gelisah. “Pak, Mbak, jangan membuat gaduh. Tolong, tetangga nanti kompl—”“BIARKAN SAJA!” Elvaro membentak tanpa menoleh. Dia kembali mengguncang pagar itu, napasnya terengah, mata berkaca-kaca. “Yara, aku butuh bicara! Tolong keluar!”Arunika memijit dadanya yang terasa
Suara roda koper yang diseret di lantai marmer terdengar nyaring di tengah keheningan rumah. Kaivan dan Elvaro yang sejak tadi mondar-mandir gelisah langsung menoleh bersamaan.Di ujung tangga, Arunika berdiri dengan wajah dingin dan mata bengkak. Dua koper besar menemaninya, seolah seluruh hidupnya sudah ia putuskan untuk dibawa pergi.“Runi… kamu mau ke mana?” suara Elvaro terdengar serak, hampir tidak berdaya.Arunika tak menatap keduanya. “Aku mau pergi dari rumah ini. Aku nggak tahan, Pa. Aku nggak bisa napas di sini.”Kaivan segera menghampiri, refleks menahan pegangan koper Arunika. “Run, jangan gini. Kamu lagi emosi. Kita bisa ngomongin baik-baik.”“Lepasin, Kai,” Arunika menepis kasar. Suaranya pecah, matanya kembali berkaca-kaca. “Kamu juga udah ngebohongin aku, kalian semua sama aja.”Elvaro melangkah mendekat, tubuhnya limbung seakan kehilangan seluruh tenaganya. Dan tanpa aba-aba, pria itu tersungkur berlutut, kedua telapak tangannya menempel ke lantai.“Runi.”Elvaro mend
“Aku… di mana?” Yara mendesis pelan, memegangi kepalanya yang masih berdenyut hebat. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya fokus.Ruangan itu serba putih, tirai hijau rumah sakit bergerak lembut terkena angin AC, dan suara bising pasien di ranjang sebelah membuat kepalanya makin pening. Tangan kirinya ngilu—tertusuk jarum infus.“Nak, kamu sudah sadar?”Yara menoleh cepat. Seorang perempuan paruh baya berambut pendek berdiri di samping ranjangnya, menatapnya dengan cemas sekaligus lembut.“Ibu siapa?” suara Yara bergetar.Wanita itu tersenyum menenangkan. “Saya Bu Nurma. Saya yang bawa kamu ke rumah sakit. Kamu tadi pingsan waktu naik ojek.”Yara membeku. Ingatan terakhir kini muncul—ia terjatuh, perutnya sakit, orang-orang berteriak.Refleks, Yara meraba perutnya. “B-bayi saya.”“Tenang,” Bu Nurma meraih tangannya. “Kandungan kamu baik-baik saja. Dokter sudah periksa.”Barulah Yara menarik napas, meski masih goyah.“Sekarang kamu cerita, Nak. Kamu siapa? Suamimu di mana?” tanya
Yara tidak lagi menangis. Sekarang yang tersisa di wajahnya hanyalah ketakutan yang sudah berubah menjadi tekad nekat.Ia tidak ingin merepotkan siapapun.Ia tidak ingin membuat masalah lebih besar.Dan yang paling ia takuti, sang papa akan memaksanya menggugurkan kandungannya.Memaksa ia memilih, padahal ia bahkan belum siap kehilangan apa pun. Ia menyiapkan barang bawaannya, tas ransel dan tas selempang yang ia masukkan sekalian me dalam tas tersebut.Dengan napas terengah, Yara menghapus air matanya, lalu berdiri sambil memegangi dinding agar tidak jatuh. Perutnya masih terasa kram, tetapi ia paksakan diri.Ia mengambil seprai dari lemari, menggulungnya panjang-panjang, lalu mengikat ujungnya menjadi simpul.Tangan gemetarnya bekerja cepat—putus asa membuatnya berani.“Maaf, Pa, Tante, Runi, Mas El, aku harus pergi menjauh dari kalian.”Ia berbisik sambil menyeret seprai menuju pintu ke teras balkon kamar.Balkon itu tidak terlalu tinggi—sekitar empat meter. Di samping rumah ada be







