Home / Romansa / Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion / 3. Pertemuan Pertama yang Menjentik Ego

Share

3. Pertemuan Pertama yang Menjentik Ego

Author: Bintangjatuh
last update Last Updated: 2025-10-08 17:30:41

Aurora mengangkat wajahnya, lalu menoleh. 'sejak kapan dia masuk?' tanya batinnya.

Dan di sanalah berdiri seorang pria bertubuh tinggi tegap, dan berkarisma. Mengenakan setelan jas necis berwarna navy dengan kemeja putih yang tersemat rapi. Wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam.

Aurora menatapnya sekilas.

"Kamu pasti, Aurora?" tanyanya memastikan.

Aurora mengangguk samar. Ia terlihat kecewa dengan kedatangan Pria itu. Pupus sudah harapannya.

"Saya Rasya," ucap Rasya, tanpa di tanya.

Lalu, Rasya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Aurora. Ia memanggil pelayan untuk memesan makanan, lalu kembali menatap Aurora.

Detik berikutnya muncul sorot dingin di mata Aurora, ia ingin membuat semuanya lebih cepat selesai.

"Sangat tidak disiplin ya. Kesan pertama sudah tidak baik. Kalo bukan karna menghargai pertemanan orang tua kita, aku nggak akan mau nunggu selama ini," ucap Aurora tenang, begitu santai dan tidak formal.

"Oke, saya minta maaf sudah membuatmu menunggu," balas Rasya sambil tersenyum tipis.

Aurora menghela napas. "Aku tidak suka basa-basi, dan akan langsung bicara terus terang saja."

Rasya mengangkat alis, menunggu.

"Kamu pasti tahu betul, kita disini bukan hanya sekedar untuk makan malam. Aku tidak setuju dengan perjodohan ini," ucap Aurora tegas.

"Aku pikir kita sama-sama dewasa, jadi bisa menolak tanpa drama. Jadi, aku minta kamu juga ikut menolak. Dengan begitu, kita berdua bebas."

Suasana meja mendadak hening. Rasya bersandar santai, menatap Aurora cukup lama, membuat gadis itu sedikit risih.

"Kalau kamu diam saja, aku anggap kamu setuju dengan ucapanku," ucap Aurora penuh penekanan.

Rasya tersenyum miring. "Relax Aurora.. Jadi, kamu repot-repot datang dengan niat menolak, bahkan sebelum mengenalku. Luar biasa."

Aurora menegakkan punggungnya. "Aku jujur dari awal. Itu lebih baik, daripada pura-pura iya dengan hati menolak. Aku tidak yakin dengan pernikahan yang dipaksakan."

Rasya mengetuk meja pelan dengan jarinya, matanya masih terkunci pada Aurora. "Kalau aku menolak, itu artinya aku setuju dengan anggapanmu... bahwa aku tidak cukup pantas untukmu. Apa itu maksudmu?"

Aurora menatapnya tak percaya. 'apa yang sedang dia bicarakan? apa dia membicarakan soal harga dirinya?'

Aurora berusaha tenang, ia tidak ingin ada pertengkaran di sini. "Kamu serius? Ini soal pilihan hidupku, bukan tentang kamu atau harga dirimu."

"Bagiku, justru ini soal harga diri," balas Rasya datar.

"Kamu datang dengan niat menolak, dan berharap aku ikut menolak. Seolah-olah aku ini tidak layak dihargai dan bisa kamu singkirkan begitu saja. Kalo itu tujuanmu, kenapa kamu harus repot-repot ke sini. Kalo itu maumu, seharusnya jangan datang saja sekalian."

Aurora tercekat, bukan itu maksudnya. Ia ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Tidak sesederhana itu pikirnya, ia tidak mau mematahkan harapan Bundanya, dan membuatnya sedih.

Ini tidak semudah yang ia pikirkan. Selama ini, semua yang dikenalkan Bundanya selalu ciut saat Aurora mendominasi percakapan mereka. Tapi kali ini berbeda.

Aurora menatap Rasya lekat-lekat, pria yang baru ditemuinya malam ini, sudah berhasil membuat hatinya tak nyaman.

Rasya kembali menyandarkan tubuh, kali ini ia berucap lebih santai.

"Kalau kamu ingin menolak, silahkan. Tapi aku tidak akan. Mulai malam ini, aku akan melanjutkan perjodohan ini. Anggap saja... ini hadiah untuk penolakanmu."

Aurora terdiam. Dadanya berdebar, bukan karena jatuh cinta, tapi karena sadar ia telah menyentil ego seorang pria. Ia baru saja mengikat dirinya pada sesuatu yang tidak pernah ia inginkan.

Makan malam itu selesai dalam keheningan yang tegang.

Aurora melangkah keluar restoran dengan langkah cepat, heels-nya beradu dengan lantai marmer hingga menimbulkan suara yang terdengar sedikit nyaring. Udara malam menyambutnya, dingin tapi cukup menenangkan setelah percakapan panas barusan. Ia merapatkan clutch di pelukannya.

Begitu masuk ke mobilnya, Aurora membanting pintu agak keras. Tangannya refleks menyalakan mesin, tapi ia tidak langsung melajukan mobil. Ia duduk diam, menunduk, lalu menghela napas panjang.

"Apa-apaan sih orang itu," gumamnya kesal. Matanya beralih memandang ke arah setir.

"Harga diri? Dia pikir ini cuma soal harga diri?"

Tangannya beralih menggenggam erat setir mobil, mencoba melampiaskan rasa kesalnya. Bayangan wajah Rasya, tatapan tajamnya, dan nada suara yang dingin masih jelas terngiang. Alih-alih lega karena sudah menyampaikan penolakan, hatinya justru semakin berat.

Ia bersandar ke kursi, menutup mata sejenak. "Kenapa rasanya aku malah jadi terjebak?" bisiknya.

Ponselnya begetar di dalam clutch, ia membukanya. Sebuah pesan dari bundanya masuk.

'Sayang, gimana pertemuannya? Semoga menyenangkan ya.'

Aurora membaca pesan itu sekilas, lalu meletakkannya kembali tanpa menjawab. Tenggorokannya tercekat. Bagaimana ia bisa bilang pada bundanya kalau pertemuan itu malah membuatnya semakin tidak nyaman?

Ia mulai menyamankan duduknya, lalu mulai melajukan mobilnya ke jalan raya. Aurora menggertakkan giginya pelan.

"Baiklah, kalau memang ini soal harga diri bagimu... kita lihat bagaimana ini akan berakhir."

Lampu jalan berkelebatan di kaca depan mobilnya, sementara Aurora terus melaju dengan pikiran campur aduk. Ia tak tahu, malam ini hanyalah awal dari keterikatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Di sisi lain..

Rasya masih duduk di meja restoran. Segelas expresso di depannya tak tersentuh sama sekali. Pandangannya menatap bayangan lampu yang berkilat di permukaan meja.

Aurora sudah pergi, meninggalkan jejak tatapan tajam dan kata-kata penolakannya. Bukannya marah besar, Rasya justru merasa terusik—tertantang.

"Aku tidak setuju dengan perjodohan ini. Aku minta kamu ikut menolak." Kalimat itu berputar di kepalanya.

Rasya menegakkan tubuhnya, menautkan jari-jari tangan di depan dada. Baginya, penolakan itu bukan sekedar ucapan biasa. Ada nada enteng dalam suara Aurora, seolah dirinya bisa diputuskan tanpa dipertimbangkan.

"Menolak, tanpa mau berkenalan lebih dulu. Itu sama saja meremehkan," gumamnya pelan.

Sebenarnya, sebelum malam ini, ia juga tidak terlalu peduli dengan rencana Mamanya. Pertemuan ini baginya hanya formalitas, sekedar memenuhi permintaan orang tua. Tapi begitu Aurora datang dengan penolakan terang-terangan, semuanya berubah.

Harga dirinya tersentil.

Rasya menarik napas panjang, ia akhirnya menyesap kopinya yang sudah lama dingin. Matanya menatap ke luar jendela restoran, di mana lampu kota berpendar keemasan.

"Kalo kamu pikir aku akan mundur hanya karena kamu menolak, Aurora... kamu salah besar."

Ia tersenyum tipis, senyum yang menyimpan tekad. "Mulai malam ini, justru aku akan pastikan perjodohan ini akan terus berlanjut. Mungkin bukan karena cinta, tapi karena aku tertarik sejauh mana kamu bisa menolak."

Beberapa jam setelah pertemuan pertama yang kacau antara Rasya dan Aurora...

Martha bersandar di sofa ruang tamu, menghela napas panjang dan berat. Wajah putrinya yang penuh penolakan yang sopan namun tegas masih terbayang jelas saat ia menanyakan soal pertemuannya dengan Rasya. Ia sudah mencoba, tapi menghadapi tembok pertahanan Aurora... rasanya tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Sekarang, bagian yang paling tidak menyenangkan. Dia harus memberi tahu Miranda, sahabatnya yang begitu bersemangat.

Dengan perasaan tidak enak hati, ia mencari satu nama di kontaknya dan menekan tombol panggil.

"Miranda? Ini aku, Martha," sapanya saat panggilan tersambung. "Apa kamu ada waktu besok pagi? Aku ingin membicarakan soal anak-anak kita."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   11. Pertemuan Dua Keluarga

    Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria.​"Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."​Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut.​"Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya.​"Nggak ngerti apa, sayang?"​"Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   10. Rasa yang Aneh

    Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   9. Tiada Akhir

    Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   8. Menawarkan Ke'mitra'an

    Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   7. Ujian Manis

    Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   6. Second Meeting

    Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status