LOGINAurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya."
Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia beSatu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria."Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut."Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya."Nggak ngerti apa, sayang?""Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.
Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna
Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s
Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat
Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be
Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama







