Bira sedang memanaskan mesin motor dan sudah duduk di atasnya, barulah pria itu mengaktifkan kembali ponselnya. Ada pesan dari Lunar dan kakaknya yang sudah sampai di rumah. Waduh, Lunar sakit! Bira langsung memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu ia menuju pulang ke rumah. Tidak lupa bubur ayam malam ia belikan sesuai pesanan sang Istri.
Begitu tiba di rumah, keadaan sudah gelap. Bira memarkirkan motornya di halaman rumah, lalu mengunci pagar. "Tukang pijat malam banget pulangnya, lu mijet apaan?" tanya Haris yang membukakan pintu rumah untuk adiknya. Bira tertawa, pria itu mencium punggung tangan Haris, kemudian memeluk tubuh tinggi besar abangnya itu. "Banyak pasien hari ini, Mas. Mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak. Syukur ada saja pasien setiap hari, Mas. Oh, iya, Lunar sakit ya?" Bira berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Haris mengikutinya di belakang sambil mengunci pintu. "Iya, muntah-muntah tuh. Udah minum obat dan gue buatin bubur tadi. Lu mah kebangetan, Bira. HP jangan dimatikan kalau kerja, silent aja kalau lu takut ganggu kerjaan lu. Udah, sana lihat Lunar dulu. Kerokin atau pijat apanya kek, biar enakan." Bira mengangguk paham. Ia berjalan masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Lunar yang tidur berselimut tebal. Tidak ingin menganggu tidurnya, Bira pun pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan sekaligus mencuci dua celana dalamnya yang kotor. Pasien wanitanya hari ini selain Intan, masih ada dua lagi yang membuatnya kewalahan sehingga ia harus mengganti celana dalamnya dua kali. Bira ke dapur untuk mengambil air putih hangat, lalu ia mengambil piring kecil untuk ia gunakan sebagai wadah minyak gosok. Lelaki itu meletakkan punggung tangannya di kening Lunar untuk mengecek suhu tubuh wanita itu. "Sayang, bangun, mau dikerok gak?" ujar Bira sembari berbisik. Hawa panas terasa saat pria itu mendekati istrinya. "Sayang, apa mau dikompres?" tanya Bira lagi sambil menepuk lengan Lunar. "Saya lagi sakit dan gak mau diganggu, sama seperti Bang Bira yang gak bisa diganggu siapapun walau sedang kerja. Sudah sana! Tidur saja!" Lunar ternyata tidak tidur. Ia hanya memejamkan matanya saja karena rasa sakit di kepalanya begitu hebat. "Maafin ya, Abang lagi banyak banget pasien. Besok-besok, Abang gak akan matikan HP kalau praktek. Namun kalau Abang gak langsung balas pesan atau angkat telepon dari kamu, itu tandanya benar-benar sibuk," kata Bira sembari mendaratkan ciuman di pipi Lunar. Pria itu pun berbaring di samping istrinya dan langsung terlelap, sedangkan Lunar masih belum bisa tidur karena ia sudah tidur sejak sore. Keesokan paginya, Lunar terbangun saat azan subuh. Kepalanya sudah tidak terlalu berdenyut. Demamnya pun sudah turun. Hanya lemasnya saja yang belum hilang. Begitu juga dengan mualnya. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci lemari dan membawanya ke kamar mandi. Mas Haris, kakak dari suaminya sedang salat subuh di depan TV. Lunar menoleh sekilas, lalu ia meneruskan langkah untuk ke kamar mandi. Jika keduanya sama-sama berdiri berdampingan, maka orang yang melihat mereka sekilas, maka akan seperti anak kembar. Birawa dan Harisman. Usia keduanya hanya berjarak tiga tahun saja, tetapi wajah mereka dan postut tubuh keduanya sangat mirip. Hanya saja suaminya jarang sekali salat. Lunar segera menepis ingatan Membanding-bandingkan antara suaminya dan juga iparnya. Ia menampung air seni dalam wadah kecil untuk memeriksakan apakah ia hamil atau tidak? Hari ini adalah hari kesepuluh ia terlambat datang bulan dan harapannya sangat besar, bahwa di rahimnya di titipkan nyawa yang akan menjadi penerusnya. Sungguh sayang, menunggu selama lima menit, garisnya tetap saja hanya satu. Tanpa semangat Lunar berwudu, lalu melaksanakan kewajiban lima waktunya dengan perasaan gundah. Ini sudah masuk tahun ketiga ia menikah, tetapi belum juga ada tanda-tanda ia hamil, padahal suaminya begitu perkasa di ranjang, hingga ia pun kewalahan. Selain kuat tahan lama, senjata suaminya juga berbeda dengan ukuran kebanyakan orang Asia, untuk itulah ia yakin suaminya tidak ada masalah dengan kesuburan, tetapi dirinyalah yang bermasalah. "Eh, istri Abang udah sehat. Masih demam gak?" Bira terbangun. Ia melihat sang Istri tengah duduk masih memakai mukena. Lunar menggeleng. "Syukurlah, Abang lanjut tidur kalau gitu." Bira sudah berbalik untuk meneruskan mimpinya. Lunar hanya bisa menghela napas, lalu bergegas merapikan alat salatnya. Lunar hanya bisa menghela napas melihat suaminya yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan. "Abang gak salat dulu aja. Dua rakaat saja, Bang, nanti tidur lagi gak papa kalau masih capek dan mengantuk," bujuk Lunar dengan suara lemah lembut, tetapi Bira tidak bereaksi, ia malah mengeluarkan suara dengkuran yang semakin keras. Luna keluar kamar untuk membuat sarapan. Kemarin, ia membeli sayuran untuk sop dan juga baso. Tubuhnya yang lemas membuatnya ingin makan makanan berkuah sekaligus hangat.Tok! Tok! Ada suara ketukan di pintu belakang. Lunar membukanya dengan tergesa. "Eh, Bu Tejo, ada apa?" tanya Lunar terheran karena masih pukul setengah enam pagi, ia sudah kedatangan tamu. "Mbak Lunar, ini tadi celana dalam suaminya jatuh dari jemuran." Bu Tejo mengangkat dua kain basah dan kotor berbentuk segitiga ke depan wajahnya. "Oh ya ampun, ini punya Bang Bira, Bu, terima kasih banyak ya, Bu, nanti biar saya cuci lagi saja. ""Iya, Mbak, mungkin semalam jemurnya gak lihat-lihat lagi, jadi jatuh deh. Ya sudah, saya ke warung dulu." Bu Tejo pamit undur diri. "Kenapa, Lunar?" Haris muncul di belakang tubuh Lunar dengan rasa ingin tahunya. "Oh, ini Mas, celana dalam yang Bang Bira cuci semalam, jatuh dan kotor kena becekan. Ini mau saya rendam dulu.""Tunggu, Bira mencuci celana dalam sendiri?" tanya Haris dengan tatapan tidak percaya. Lunar mengangguk sambil tersenyum. "Sudah beberapa bulan belakangan ini Bang Bira mencuci sendiri dalamannya, Mas," jawab Lunar dengan tangan yang cekatan, menaruh dua celana kotor tadi di dalam ember kecil. "Tumben banget. Bukannya Bira dari dulu lelaki paling malas? Jangankan cuci celana dalam, membersihkan telinga saja ia tidak mau, butuh bantuan. Begitu gak sama kamu?" Lunar menyeringai, kemudian mengangguk. "Masih kalau itu mah, selalu saya yang bersihkan telinga Bang Bira.""Makanya aku bilang tumben. Syukurlah kalau sekarang sudah berubah. Oh, iya, kalau masih sakit, jangan masak. Beli lauk mateng saja.""Gak papa, Mas, hanya sayur sop baso saja." Haris pun mengangguk, lalu pamit untuk berjalan pagi. Lunar memperhatikan abang iparnya yang sangat berbeda dengan suaminya. Seandainya saja Bira seperti itu, bangun pagi, salat, lalunolag raga, pastilah ia sangat senang. Batin Lunar. Haris menutup pintu rumah adiknya setelah ia selesai mengikat tali sepatu sneakersnya. Maksud hati lelaki itu, sambil ia jalan pagi, sambil ia membelikan sayur matang untuk Lunar, tetapi karena Lunar bersikeras mau memasak saja, maka ia pun tidak bisa memaksa.Selagi sayuran sudah masuk ke dalam panci dan menunggunya empuk, Lunar memutuskan untuk mengucek kembali celana dalam Bira yang tadi kotor. "Aduh, kebelet!" Bira sudah masuk ke dalam kamar mandi saat Lunar baru saja mau menyikat celana suaminya. Mata suaminya masih setengah terbuka saat menurunkan celana. Lunar hanya tersenyum tipis, membiarkan suaminya menuntaskan hasrat paginya. "Kamu ngapain pagi-pagi udah nyuci? Memangnya mesin cuci rusak?" tanya Bira sembari menarik celana boxernya kembali. "Ini, celana dalam yang Abang cuci semalam, jatuh kena becek, jadi saya.... ""Apa? Jatuh? Jangan, sini, biar saya yang cuci!" Bira menarik lengan Lunar agar wanita itu bangun dari jongkok. Lalu membawa wanita itu keluar kamar mandi. Wajah pria itu pucat pasi. "Gak papa, Bang, biar saya yang cuci, kotor sedikit saja kok." Lunar kembali hendak masuk ke kamar mandi, tetapi ditahan oleh Bira. "Saya bilang biar saya yang cuci. Kamu dengar gak!" Lunar terkejut dengan mata terbelalak saat suaminya membentaknya.Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya? Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. "Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. "Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. "Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk
"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. "Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh at
Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang
Tentu saja sebuah kesialan baginya menjelang tutup prakte, malah mendapatkan pasien lelaki, tetapi mengaku wanita. Baru kali ini ia mendapatkan ku stoner seperti tadi. Hal itu membuat Bira kesal, sekaligus geli."Bu Dasmi, besok plang di depan klinik, ditambahin tulisan lebih spesifik ya. 'Tidak menerima pasien dengan jenis kelamin abu-abu.'"Bu Dasmi yang baru saja menutup buku pendaftaran, tentu saja merasa heran dengan tugas dari bosnya."Bang Bira, bukannya kalau jenis kelamin teh warnanya coklat, saya baru tahu kalau ada warna abu-abu. Apa diwarnai? Dipilok?" Bira menghela napas. Sakit darah tinggi yang sudah tidak lama kambuh, bisa saja kambuh mendadak, bila berbicara dengan Bu Dasmi terlalu lama."Maksud saya, lelaki yang mengaku perempuan, maupun sebaliknya. Pokoknya bikin catatan di plang seperti yang saya bilang tadi. Jangan ditambahin lagi, jangan dikurangin. Besok, sebelum praktek, saya mau lihat udah terpasang di depan jalan sana." Bira meletakkan uang dua ratus ribu rupi
Seandainya saja ia mempunyai ilmu bisa menghilang, tentu sudah ia gunakan saat ini. Bagaimana bisa, daster tidak terkancing dengan baik dan ia pun tidak memakai bra saat itu. Haris, kakak sepupu suaminya pasti melihat walau tidak sempurna. Namun, tetap saja pria itu melihatnya. Lunar kebingungan sendiri karena ia harus keluar kamar untuk memasak sarapan. Peristiwa tadi membuatnya sangat malu. "Lunar, Bira, saya berangkat!" Seru Haris dari balik pintu. Wanita itu menghela napas lega. Ia berjalan ke jendela untuk memastikan Haris sudah pergi dari rumahnya. Dengan memakai kaus biasa dan celana panjang jeans, Haris berjalan keluar rumah adik sepupunya sambil membawa ransel. Lekas ia keluar kamar untuk mandi. Sebuah kejutan lagi di hari kamis pagi, darah sedikit pekat tercetak di celananya yang berwarna crem. Padahal ia ingin di cumbu suaminya malam sabtu nanti, malah sekarang ia yang datang bulan. Mood-nya benar-benar berantakan. Setelah mandi, Lunar yang tadinya ingin memasak sarapan,
Motor Bira melaju di jalanan tanah basah yang sempit. Penuh pepohonan bambu yang sangat rimbun. Lokasi rumah seseorang yang ia akui sebagai guru spritual itu letaknya jauh dari jalanan raya ibu kota. Bahkan harus melewati hutan bambu yang luasnya mungkin sekitar satu hektar. Sepanjang jalan, pantangan bagi Bira untuk menoleh ke belakang ataupun melirik spion kanan dan kiri. Ia sudah terbiasa akan hal itu dan sangat hapal, sehingga ia biasa saja saat melewati tengah hutan. Setelah berkendara semakin masuk ke dalam hutan, Bira sampai di jalanan bebatuan yang sudah tidak begitu rimbun pepohonan. Ada lampu jalan juga di beberapa titik, tetapi rumah antar warga sangat jauh. Dalam jarak lima ratus meter, barulah bisa menemukan rumah yang lainnya. Pasokan listrik di daerah ini sepertinya belum merata, terbukti keadaan jalan sangat lengang dan juga tidak nampak terpasang antena TV di atap rumah warga. Bira memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana, model jaman dahulu kala. Bentuk jend