Share

6. Abang Ipar

Bira sedang memanaskan mesin motor dan sudah duduk di atasnya, barulah pria itu mengaktifkan kembali ponselnya. Ada pesan dari Lunar dan kakaknya yang sudah sampai di rumah. Waduh, Lunar sakit! Bira langsung memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu ia menuju pulang ke rumah. Tidak lupa bubur ayam malam ia belikan sesuai pesanan sang Istri. 

Begitu tiba di rumah, keadaan sudah gelap. Bira memarkirkan motornya di halaman rumah, lalu mengunci pagar. 

"Tukang pijat malam banget pulangnya, lu mijet apaan?" tanya Haris yang membukakan pintu rumah untuk adiknya. Bira tertawa, pria itu mencium punggung tangan Haris, kemudian memeluk tubuh tinggi besar abangnya itu. 

"Banyak pasien hari ini, Mas. Mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak. Syukur ada saja pasien setiap hari, Mas. Oh, iya, Lunar sakit ya?" Bira berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Haris mengikutinya di belakang sambil mengunci pintu. 

"Iya, muntah-muntah tuh. Udah minum obat dan gue buatin bubur tadi. Lu mah kebangetan, Bira. HP jangan dimatikan kalau kerja, silent aja kalau lu takut ganggu kerjaan lu. Udah, sana lihat Lunar dulu. Kerokin atau pijat apanya kek, biar enakan." Bira mengangguk paham. Ia berjalan masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Lunar yang tidur berselimut tebal. 

Tidak ingin menganggu tidurnya, Bira pun pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan sekaligus mencuci dua celana dalamnya yang kotor. Pasien wanitanya hari ini selain Intan, masih ada dua lagi yang membuatnya kewalahan sehingga ia harus mengganti celana dalamnya dua kali. 

Bira ke dapur untuk mengambil air putih hangat, lalu ia mengambil piring kecil untuk ia gunakan sebagai wadah minyak gosok. Lelaki itu meletakkan  punggung tangannya di kening Lunar untuk mengecek suhu tubuh wanita itu. 

"Sayang, bangun, mau dikerok gak?" ujar Bira sembari berbisik. Hawa panas terasa saat pria itu mendekati istrinya. 

"Sayang, apa mau dikompres?" tanya Bira lagi sambil menepuk lengan Lunar. 

"Saya lagi sakit dan gak mau diganggu, sama seperti Bang Bira yang gak bisa diganggu siapapun walau sedang kerja. Sudah sana! Tidur saja!" Lunar ternyata tidak tidur. Ia hanya memejamkan matanya saja karena rasa sakit di kepalanya begitu hebat. 

"Maafin ya, Abang lagi banyak banget pasien. Besok-besok, Abang gak akan matikan HP kalau praktek. Namun kalau Abang gak langsung balas pesan atau angkat telepon  dari kamu, itu tandanya benar-benar sibuk," kata Bira sembari mendaratkan ciuman di pipi Lunar. Pria itu pun berbaring di samping istrinya dan langsung terlelap, sedangkan Lunar masih belum bisa tidur karena ia sudah tidur sejak sore. 

Keesokan paginya, Lunar terbangun saat azan subuh. Kepalanya sudah tidak terlalu berdenyut. Demamnya pun sudah turun. Hanya lemasnya saja yang belum hilang. Begitu juga dengan mualnya. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci lemari dan membawanya ke kamar mandi. 

Mas Haris, kakak dari suaminya sedang salat subuh di depan TV. Lunar menoleh sekilas, lalu ia meneruskan langkah untuk ke kamar mandi. Jika keduanya sama-sama berdiri berdampingan, maka orang yang melihat mereka sekilas, maka akan seperti anak kembar. Birawa dan Harisman. Usia keduanya hanya berjarak tiga tahun saja, tetapi wajah mereka dan postut tubuh keduanya sangat mirip. Hanya saja suaminya jarang sekali salat. 

Lunar segera menepis ingatan Membanding-bandingkan antara suaminya dan juga iparnya. Ia menampung air seni dalam wadah kecil untuk memeriksakan apakah ia hamil atau tidak? Hari ini adalah hari kesepuluh ia terlambat datang bulan dan harapannya sangat besar, bahwa di rahimnya di titipkan nyawa yang akan menjadi penerusnya. Sungguh sayang, menunggu selama lima menit, garisnya tetap saja hanya satu. 

Tanpa semangat Lunar berwudu, lalu melaksanakan kewajiban lima waktunya dengan perasaan gundah. Ini sudah masuk tahun ketiga ia menikah, tetapi belum juga ada tanda-tanda ia hamil, padahal suaminya begitu perkasa di ranjang, hingga ia pun kewalahan. Selain kuat tahan lama, senjata suaminya juga berbeda dengan ukuran kebanyakan orang Asia, untuk itulah ia yakin suaminya tidak ada masalah dengan kesuburan, tetapi dirinyalah yang bermasalah. 

"Eh, istri Abang udah sehat. Masih demam gak?" Bira terbangun. Ia melihat sang Istri tengah duduk masih memakai mukena. Lunar menggeleng. 

"Syukurlah, Abang lanjut tidur kalau gitu." Bira sudah berbalik untuk meneruskan mimpinya. Lunar hanya bisa menghela napas, lalu bergegas merapikan alat salatnya. Lunar hanya bisa menghela napas melihat suaminya yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan. 

"Abang gak salat dulu aja. Dua rakaat saja, Bang, nanti tidur lagi gak papa kalau masih capek dan mengantuk," bujuk Lunar dengan suara lemah lembut, tetapi Bira tidak bereaksi, ia malah mengeluarkan suara dengkuran yang semakin keras. 

Luna keluar kamar untuk membuat sarapan. Kemarin, ia membeli sayuran untuk sop dan juga baso. Tubuhnya yang lemas membuatnya ingin makan makanan berkuah sekaligus hangat.

Tok! Tok! 

Ada suara ketukan di pintu belakang. Lunar membukanya dengan tergesa. 

"Eh, Bu Tejo, ada apa?" tanya Lunar terheran karena masih pukul setengah enam pagi, ia sudah kedatangan tamu. 

"Mbak Lunar, ini tadi celana dalam suaminya jatuh dari jemuran." Bu Tejo mengangkat dua kain basah dan kotor berbentuk segitiga ke depan wajahnya. 

"Oh ya ampun, ini punya Bang Bira, Bu, terima kasih banyak ya, Bu, nanti biar saya cuci lagi saja. "

"Iya, Mbak, mungkin semalam jemurnya gak lihat-lihat lagi, jadi jatuh deh. Ya sudah, saya ke warung dulu." Bu Tejo pamit undur diri. 

"Kenapa, Lunar?" Haris muncul di belakang tubuh Lunar dengan rasa ingin tahunya. 

"Oh, ini Mas, celana dalam yang Bang Bira cuci semalam, jatuh dan kotor kena becekan. Ini mau saya rendam dulu."

"Tunggu, Bira mencuci celana dalam sendiri?" tanya Haris dengan tatapan tidak percaya. Lunar mengangguk sambil tersenyum. 

"Sudah beberapa bulan belakangan ini Bang Bira mencuci sendiri dalamannya, Mas," jawab Lunar dengan tangan yang cekatan, menaruh dua celana kotor tadi di dalam ember kecil. 

"Tumben banget. Bukannya Bira dari dulu lelaki paling malas? Jangankan cuci celana dalam, membersihkan telinga saja ia tidak mau, butuh bantuan. Begitu gak sama kamu?" Lunar menyeringai, kemudian mengangguk. 

"Masih kalau itu mah, selalu saya yang bersihkan telinga Bang Bira."

"Makanya aku bilang tumben. Syukurlah kalau sekarang sudah berubah. Oh, iya, kalau masih sakit, jangan masak. Beli lauk mateng saja."

"Gak papa, Mas, hanya sayur sop baso saja." Haris pun mengangguk, lalu pamit untuk berjalan pagi. Lunar memperhatikan abang iparnya yang sangat berbeda dengan suaminya. Seandainya saja Bira seperti itu, bangun pagi, salat, lalunolag raga, pastilah ia sangat senang. Batin Lunar. 

Haris menutup pintu rumah adiknya setelah ia selesai mengikat tali sepatu sneakersnya. Maksud hati lelaki itu, sambil ia jalan pagi, sambil ia membelikan sayur matang untuk Lunar, tetapi karena Lunar bersikeras mau memasak saja, maka ia pun tidak bisa memaksa.

Selagi sayuran sudah masuk ke dalam panci dan menunggunya empuk, Lunar memutuskan untuk mengucek kembali celana dalam Bira yang tadi kotor. 

"Aduh, kebelet!" Bira sudah masuk ke dalam kamar mandi saat Lunar baru saja mau menyikat celana suaminya. Mata suaminya masih setengah terbuka saat menurunkan celana. 

Lunar hanya tersenyum tipis, membiarkan suaminya menuntaskan hasrat paginya. 

"Kamu ngapain pagi-pagi udah nyuci? Memangnya mesin cuci rusak?" tanya Bira sembari menarik celana boxernya kembali. 

"Ini, celana dalam yang Abang cuci semalam, jatuh kena becek, jadi saya.... "

"Apa? Jatuh? Jangan, sini, biar saya yang cuci!" Bira menarik lengan Lunar agar wanita itu bangun dari jongkok. Lalu membawa wanita itu keluar kamar mandi. Wajah pria itu pucat pasi. 

"Gak papa, Bang, biar saya yang cuci, kotor sedikit saja kok." Lunar kembali hendak masuk ke kamar mandi, tetapi ditahan oleh Bira. 

"Saya bilang biar saya yang cuci. Kamu dengar gak!" Lunar terkejut dengan mata terbelalak saat suaminya membentaknya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status