Share

Ternyata Suamiku Tampan
Ternyata Suamiku Tampan
Author: Amira Tantri

Chapter 1

"Aku tidak sudi menjadi Istrimu !"

********

Dari kedua putri Abah Usman, hanya si sulung yang mau masuk pesantren dan mendapatkan jodoh seorang pemuda dari pesantren juga. Sedangkan Anisa, si bungsu, kabur dari rumah saat hendak dimasukan ke pesantren. Dia menghilang selama tiga hari. Bersembunyi di penginapan, dengan uang tabungan yang dimilikinya.

Ibu yang cemas, terus-terusan menangis, sehingga Abah akhirnya mengalah dan tidak memaksakan kehendaknya agar Anisa mau masuk pondok. Anisa pulang ke rumah setelah kakaknya yang tahu ia bersembunyi dimana mengabari jika Abah sudah luluh.

Anisa akhirnya dimasukan ke sekolah yang berciri khas pesantren.

Itu adalah kisah kebengalan Anisa di masa sekolah. Tapi saat ini, Abah sangat bahagia. Keluarga dari sahabat masa kecilnya, ingin melamar Anisa. Kebahagiaan Abah berlipat ganda, karena saat bertanya pada Anisa mengenai lamaran itu,  Anisa menyetujuinya, karena sedang malas berdebat dengan abah. Toh masih tunangan, belum menikah, pikir Anisa.

Ilham adalah jodoh yang tepat untuk Anisa. Laki-laki lulusan pesantren itu sangat baik di mata Abah.

Abah berharap, Ilham bisa membimbing Anisa menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan jabatan Ilham yang seorang CEO adalah bonus bagi Abah. Walau Abah sendiri tidak pernah menargetkan harus bagaimana jodoh untuk Anisa.

Ibu telah mempersiapkan acara jamuan untuk lamaran, dari jauh-jauh hari. Hati kedua orang tua Anisa sangat bahagia sekali, karena kali ini Anisa tidak menolak seperti biasanya. Suasana rumah benar-benar sangat damai sekali.

Tapi, semua kedamaian itu, berubah menjadi petir di siang bolong, saat acara lamaran akan berlangsung.  Anisa kembali berulah.

Keluarga Ilham yang telah datang ke rumah untuk melamar Anisa, tapi jawaban yang mereka terima sangat mengecewakan. Anisa dengan terang-terangan menolak perjodohan itu, karena masih ingin melanjutkan S2.

"Saya tidak bisa menerima perjodohan ini, mungkin Mas Ilham akan lebih cocok dengan Dek Mutia," ucap Anisa menolak perjodohan itu secara terang-terangan, dan malah mengajukan saudara sepupunya, anak dari adik Abah sebagai pengganti dirinya.

Abah terlihat marah akan jawaban Anisa, padahal awal mula mereka sudah sepakat, jika Anisa akan menyetujui perjodohan tersebut. Tapi semua berubah setelah Anisa melihat sahabat baiknya yang melanjutkan S2. Sedangkan Ilham tidak mengijinkan ia untuk melanjutkan kuliah, dan fokus pada rumah tangga, jika mereka sudah menikah nanti.

"Saya masih ingin melanjutkan S2, dan bekerja, sedangkan Mas Ilham, ingin seorang Istri yang hanya tinggal di rumah mengurus keluarga," tolak Anisa dengan sopan, tapi tetap saja membuat Abah Murka. Seandainya dari awal Anisa tidak mau, maka Abah dan Ibu tidak akan semalu ini.

Keluarga Ilham pamit dengan membawa rasa kecewa. Hal yang sama juga dialami Abah dan Ibu, yang berkali-kali harus meminta maaf.

Abah sangat marah pada Anisa dan malas untuk bicara, tapi Anisa sama seperti Abah yang memang keras kepala. Dua makhluk keras kepala yang membuat Ibu yang harus jadi penengah.

“Besok, habis shalat isya’, kamu menikah sama marbot baru yang tinggal di masjid dekat rumah itu. Tidak ada tapi-tapian ! walau kamu kabur sekalipun, Abah akan menemukanmu dan tetap pada keputusan Abah !” putus Abah lalu meninggalkan Anisa yang menangis sesenggukan, tidak terima jika harus dijodohkan dengan marbot masjid, yang baru satu bulan ini menghuni masjid di dekat rumahnya.

Anisa hanya tahu jika pemuda yang baru menjadi marbot di Masjid yang didirikan atas  ide dan dana dari Abah tersebut,  bernama Fahmi , yang ia dengar dari cerita Abah beberapa waktu lalu. Untuk tahu orangnya bagaimana Anisa sendiri tidak mau tahu. Anisa hanya shalat Maghrib, Isya’ dan subuh saja yang berjamaah di masjid. Sedangkan Dhuhur dan Ashar, ia lebih sering shalat di rumah atau di toko.

Abah sering sekali membicarakan Fahmi yang katanya rajinlah, sopanlah, suaranya merdu lah, tapi yang untuk hal terakhir ini Anisa mengakuinya, karena sering mendengar saat pemuda itu mengumandangkan Adzan. Tapi untuk tahu orangnya, Anisa belum pernah sekalipun bertemu.

Untuk menanggulangi semua itu,  otak bengal Anisa mulai bekerja. Ia sedang berpikir untuk bertemu Fahmi, malam ini juga, dan mengancamnya untuk tidak mengikuti keinginan Abah. Anisa tersenyum dan segera menghapus air matanya, karena sudah menemukan solusi yang tepat. Jika nanti Fahmi meminta uang sebagai imbalan, Anisa juga sudah mempersiapkannya. Yang penting adalah penolakan Fahmi akan keinginan Abah, adalah yang utama.

Dengan berjingkat-jingkat Anisa menuju kamar Mutia yang kebetulan sedang menginap di rumahnya.

Tanpa mengetuk pintu, Anisa dengan cepat membuka pintu kamar Mutia. Tampak gadis imut itu tengah bersantai di depan laptop tanpa mengenakan jilbabnya.

“Kak Nisa, ngagetin saja,” ucap Mutia yang tidak jadi memakai jilbabnya setelah mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamar. Tapi lucu juga karena ia refleks mengambil jilbab, padahal Abah tidak akan masuk tanpa mengetuk. Mutia memanggil Abah Anisa dengan panggilan Abah juga karena mengikuti penyebutan kakak sepupunya tersebut.

“Aku mau pergi ke Masjid, kamu temani aku ya. Kalau ditanya Abah sama Ibu, bilang saja kamu mau ajak aku pergi beli cemilan atau terserah alasan apa saja yang masuk akal,” pinta Anisa dengan wajah dibuat memelas mungkin, agar Mutia mau menuruti keinginannya.

Anisa tidak punya pilihan lain, karena ia tidak boleh kemanapun sebelum acara pernikahan mendadak digelar.

Akhirnya Mutia mengalah dan mengiyakan keinginan Anisa tanpa banyak bertanya. Yang ia tahu, kakak sepupunya ini super nekat jika tidak mendapat keinginannya. Selain itu, Mutia juga kepo, Anisa mau ngapain ke masjid malam-malam begini, mana mau hujan lagi.

Mereka berjalan cepat menuju ke arah masjid setelah mengantongi izin dari Ibu. Kebetulan Abah tidak ada, sehingga memuluskan aksi mereka.

Saat hendak masuk ke area Masjid, tampak Abah yang baru keluar dari dalam Masjid bersama seorang pemuda. Anisa dengan cepat menarik Mutia agar bersembunyi. 

"Nah, Nak Fahmi, saya pamit dulu," ucap Abah sambil menepuk pelan pundak pemuda yang bernama Fahmi tersebut, yang terlihat mengangguk sopan.

"Jadi itu Fahmi ?" Monolog Anisa dengan wajah menahan tangis. Melihat bagaimana rupa dan juga penampilan pemuda yang akan dinikahkan dengan dirinya.

Saat ini, Anisa benar-benar menyesal, andai bisa mengulang waktu, ia akan menerima saja lamaran Ilham yang tampan dan juga seorang CEO, walau harus jadi ibu rumah tangga yang setiap hari menunggu suami pulang kerja.

Menangis saat ini juga tidak akan membuahkan hasil, karena Abah tidak akan merubah keputusannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status