Langit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.
Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.
Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada sesuatu yang janggal. Biasanya saat Rania tiba di rumah sang ayah sudah pulang dan menonton televisi dengan suara keras di kursi reotnya. Kali ini tidak ada suara apapun. Terlalu sunyi dan sepi, seakan tidak ada tanda kehidupan di dalam sana.
“Ayah?” panggil Rania. Ia meletakkan tas selempang lusuhnya di sebelah pintu dan berjalan masuk, mencari sosok ayahnya. Dan ketika ia sampai di ruang tengah, matanya membelalak.
Ia melihat ayahnya terbaring kaku dilantai dengan tangan memegangi dada dan wajah membiru.
“Ayah!” teriak Rania histeris. Ia berlutut dan mengguncang tubuh ayahnya yang sudah kaku. Dan saat itu juga dia terdiam dengan pandangan kosong, sadar jika ayahnya sudah pergi meninggalkannya.
***
Pemakaman ayah Rania berlangsung sederhana. Tetangga sekitar datang membantu, membawa doa dan air mata. Tapi setelah tanah basah menutup liang lahat, yang tersisa hanyalah keheningan dan tumpukan masalah yang mulai menggunung di hadapan Rania. Tinggal Rania dan Reyhan sendirian. Tak ada kerabat atau sanak saudara. Sejak ibu mereka meninggal sepuluh tahun yang lalu, mereka memang jauh dari keluarga sang ibu. Sementara keluarga sang ayah berada di luar kota, dan tak mungkin menemani mereka untuk waktu yang lama.
Hari-hari berikutnya berjalan dalam kabut. Sendirian Rania mengurus surat-surat kematian, menghibur Reyhan yang sebenarnya juga berusaha untuk tak menangis di depan sang kakak, dan dirinya sendiri juga berusaha menguatkan diri untuk tidak menangis setiap malam.
Hingga sore itu, saat ia membuka laci meja Ayahnya untuk mencari dokumen penting, ia menemukan kenyataan pahit lainnya.
Surat-surat tagihan hutang. Banyak. Terlalu banyak. Nafas Rania tercekat ketika mengetahui daftar listrik yang tertunggak, cicilan hutang dan pinjaman bank. Dan yang paling mengerikan adanya surat dari rentenir lokal, berisi ancaman tipis yang membuat darahnya membeku.
"Bayar hutangmu atau siap kehilangan rumahmu."
Tangan Rania gemetar saat membaca kalimat itu. Ia meremasnya dan merasakan lidahnya terasa kering. Di sudut matanya, dunia mulai berputar. Bagaimana bisa Ayah tidak pernah memberitahu soal semua ini? Bagaimana bisa ia, seorang guru TK dengan gaji pas-pasan, membayar semua hutang ini sendirian? Sementara ayahnya yang hanya seorang buruh juga tak meninggalkan apapun. Tak ada dana pensiun ataupun warisan. Hanya rumah ini yang tersisa sekarang.
“Kak?” Rania menoleh dan melihat Reyhan, sang adik yang duduk di kelas 2 SMA, berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat.
“Ada apa Rey?”
“Apa ada makanan?” tanya Reyhan hati-hati, seakan takut pertanyaannya menyinggung perasaan sang kakak.
“Sebentar ya?” kata Raina. Ia beranjak menuju dapur dan membuka kulkas. Kosong. Hanya ada beberapa bahan makanan yang hampir habis. Sisa uang di dompetnya juga mungkin hanya cukup untuk seminggu ke depan jika mereka bisa berhemat.
Ia menyiapkan nasi sisa tadi pagi dan telur terakhir dari kulkas. Saat mereka makan dalam diam, Rania mencuri pandang ke wajah adiknya. Terlalu kurus untuk anak seusianya. Terlalu banyak beban di mata itu. Walaupun anak yang beranjak remaja biasanya mulai memberontak, tapi tidak dengan adiknya. Seakan Reyhan sadar diri bahwa keluarganya sudah terlalu penat dihimpit masalah, sehingga dia tak mau menambah beban mereka lagi.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Tiba-tiba suara ketukan keras di pintu mengejutkan Rania dan membuat jantungnya hampir copot. Ia bergegas berdiri dan membuka pintu. Tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk melihat siapa yang berdiri di luar sana tanpa memberi mereka celah kesempatan untuk masuk.
Dua pria berdiri dengan memakai jaket kulit hitam di luar, wajah mereka asing dan suram.
"Siapa?" Rania bertanya, suaranya bergetar.
"Saya dari kantor pinjaman," salah satu dari mereka menjawab. "Kami ingin berbicara soal pembayaran hutang Almarhum Pak Wiranta."
Pak Wiranta. Nama ayahnya disebut begitu enteng tanpa ekspresi. Rania menarik nafas panjang, berpikir cepat tentang jawaban apa yang akan ia lontarkan.
"Ayah saya baru saja meninggal," katanya pelan. "Tolong beri kami waktu."
Pria itu tersenyum miring. "Kami tahu itu. Dan itu sebabnya kami datang. Hutang tetap harus dibayar Nona. Atau..." Pria itu tak meneruskan kalimatnya. Tatapan matanya menusuk, mengancam.
"Kami akan kembali," kata pria yang satunya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Rania berdiri membeku di ambang pintu.
Tanpa memastikan kedua pria itu sudah pergi meninggalkannya, Rania segera menutup pintu. Ia berdiri menyandarkan punggungnya sambil mengatur jantungnya yang berdegup kencang. Tubuhnya gemetar, matanya berembun. Sejak kapan hidupnya menjadi seperti ini? Ia dulu hanya bermimpi sederhana. Mengajar anak-anak, hidup tenang bersama Ayah dan Reyhan, mungkin suatu hari menikah dengan pria baik dan punya keluarga kecil. Tapi kini, semua itu terasa seperti bayangan jauh yang perlahan menghilang.
“Siapa yang datang?” tanya Reyhan muncul dari pintu ruang makan. Raina buru-buru mengerjapkan matanya, berusaha menutupi air mata yang hampir jatuh.
“Bukan siapa-siapa. Hanya orang tanya alamat. Ayo makan lagi.”
Rania bersikap biasa saja seolah tak ada apa-apa. Tapi Reyhan curiga. Dia tahu ada masalah dan itu cukup besar untuk dihadapi sang kakak sendirian. Ia pun hanya mengangguk dan mengikuti sang kakak, dengan perasaan bersalah.
***
Rania menarik napas panjang saat pagi itu ia keluar dari rumah. Suasana pagi mendung kelabu, seperti ikut merasakan berat di pundaknya. Ia menunduk, menggenggam tali tas lusuh di bahunya, berusaha menghalau rasa sesak yang beberapa hari ini mencekik dada.
Hari ini seharusnya menjadi hari biasa. Mengajar anak-anak yang riang dan mendengar tawa polos mereka seharusnya bisa sedikit mengobati luka hatinya. Tapi tidak. Tidak hari ini. Tidak ketika pikirannya dipenuhi teror para debt collector yang terus memburunya seperti bayangan gelap yang tak pernah mau pergi.
Rania menghela napas lagi, kali ini lebih berat dari sebelumnya .Ayah... kenapa kau tinggalkan aku dengan semua ini? Batinnya putus asa. Jika ia tidak segera melunasi hutang-hutang itu, rumah kecil peninggalan orang tuanya akan disita.
Rumah itu bukan sekadar bangunan. Itu adalah satu-satunya tempat di mana ia dan Reyhan bisa berteduh. Tanpa itu mereka tak punya apa-apa lagi. Tidak ada keluarga besar, tidak ada simpanan uang, bahkan tidak ada tempat untuk meminta tolong.
Sambil melangkah pelan menuju trotoar, Rania merapatkan jaket tipisnya. Angin pagi menusuk kulitnya, membuat tubuhnya menggigil, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Ketakutan yang mendalam, rasa tak berdaya, dan keputusasaan. Itulah yang benar-benar membekukan jiwanya.
Sudah beberapa hari ia menjalani hidup seperti ini. Pagi hingga siang mengajar anak-anak TK. Malam, setelah Reyhan masuk ke kamarnya, ia duduk di depan laptop tuanya, berusaha menulis novel demi mengejar tambahan penghasilan. Tapi semua kerja kerasnya seolah sia-sia. Gajinya mengajar dan royalti dari penjualan novel digitalnya nyaris tak cukup untuk membeli bahan makanan pokok, apalagi membayar hutang yang menumpuk dengan bunga mencekik.
Setiap hari, setiap malam, tekanan itu semakin berat menimpanya. Debt collector terus menghubunginya. Mengancam, meneror, juga datang ke sekolah diam-diam untuk mempermalukannya. Bahkan kemarin kepala sekolah sudah memanggilnya, menyiratkan bahwa Rania mulai membuat citra sekolah terganggu. Tinggal soal waktu sampai dia kehilangan pekerjaannya. Kalau itu terjadi, semua benar-benar habis tak tersisa.
Rania meremas jemari kurusnya, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. Dia tidak boleh menangis di jalanan. Tidak di depan orang-orang. Tapi jujur, dia benar-benar lelah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban berpuluh-puluh kilogram di pundaknya. Trotoar yang biasa ia lewati terasa panjang tak berujung. Pandangannya mulai buram oleh air mata yang berusaha ia tahan.
Rania melirik ke seberang jalan. Halte tempat biasa ia menunggu bus sudah terlihat. Satu langkah lagi. Satu perjuangan lagi. Satu napas lagi.
Ia menguatkan hatinya, berusaha menyeberang di antara kendaraan yang berseliweran. Lampu merah menyala, memberi isyarat bahwa ia bisa berjalan. Tapi saat itu juga, saat ia baru saja melangkah setengah jalan, suara klakson memekik keras di telinganya.
Rania memutar kepalanya. Lampu mobil menyilaukan matanya, membuat dunia di sekelilingnya menjadi putih terang. Ia membeku. Langkahnya terhenti. Dalam sepersekian detik, dia ingin berteriak, ingin melompat, ingin menyelamatkan diri tapi tubuhnya terlalu lambat untuk mengikuti pikirannya.
BRAK!Benturan keras itu menggema di telinganya. Tubuhnya terpental, terlempar beberapa meter sebelum menghantam aspal keras. Rasa sakit yang luar biasa menyambar seluruh tubuhnya. Dada, punggung, kepala, semuanya terasa nyeri seperti dihantam palu godam.
Dunia berputar. Segalanya menjadi kabur. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki tergesa dan teriakan, “Kita menabrak orang!”
Dan yang terakhir Rania lihat adalah dua orang pria berdiri menatapnya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Pagi itu, mentari tampak cerah, seolah turut menyambut langkah baru yang sedang ditempuh Rania dan Bara. Semalam mereka tidur dengan hati hangat, dan kini bangun dengan semangat yang sama. Kebahagiaan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka.Rania mengenakan blouse putih bersih dengan celana jeans panjang dan jaket denim yang membuatnya tampak kasual tapi anggun. Rambutnya dikuncir rendah, dan ia tak memakai banyak riasan hari itu. Ia baru saja selesai berdandan dan hendak keluar kamar ketika Bara masuk sambil membawa dua cangkir kopi dan senyuman.“Kita harus ke imigrasi dulu untuk urus paspor kamu,” ucapnya sambil menyerahkan secangkir kopi hangat.Rania menyambutnya dengan senyum. “Kamu yakin mau menemaniku? Aku bisa melakukannya sendiri.”Bara duduk di sampingnya, satu tangan meraih tangannya. “Kita mau pergi bersama. Jadi semuanya juga harus dilakukan bersama.”Kata-katanya sederhana, tapi cara Bara mengatakannya dengan tenang dan penuh perhatian, membuat dada Rania hangat. Lela
Hari itu, Rania segera mengurus izin cutinya di sekolah seperti permintaan Bara. Ia langsung menghadap ke ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan surat izin yang sudah ia siapkan sejak pagi, beberapa menit saat bu Dyas, sang kepala sekolah, baru tiba. Rasanya Rania sudah tak sabar menantikan momen liburan bersama Bara. Setelah sekian lama berada dalam pusaran konflik, keduanya akhirnya menemukan waktu untuk bernapas sejenak, dan menikmati hubungan mereka sebagai suami istri yang sebenarnya."Cuti?" ulang Bu Dyas sedikit terkejut, karena Rania memang guru yang jarang sekali mengambil cuti kecuali saat ada keperluan penting. Seperti saat dulu ayahnya meninggal dan saat Rania menikah.Rania mengangguk tegas. Matanya menyiratkan kebahagiaan, dan senyum ceria tak pernah sirna dari wajahnya."Bulan madu? Bukannya kalian sudah cukup lama menikah?" tanya Bu Dyas lagi."Memang Bu, tapi suami saya baru sekarang ada sedikit jadwal kosong. Kemarin-kemarin kami tidak sempat cuti karena pekerjaann
Pembicaraan Rania dan Bara berlanjut di dalam kamar. Mereka terus saling menceritakan kisah masing-masing karena banyak yang memang belum diceritakan.Dari obrolan itu, Rania akhirnya mengetahui sisi lain Bara yang belum pernah ia lihat. Bara yang lembut dan merasa takut kehilangan. Sementara Bara juga tahu sisi Rania yang kuat dan mandiri, yang cukup berbeda dari pribadi lemah yang selama ini ia lihat."Aku tak bisa membayangkan setiap malam kamu menangis sendirian di kamarmu, memikirkan tagihan-tagihan itu sendirian," kata Bara sambil memainkan ujung rambut Rania dengan jarinya.Rania terkekeh, "Jangan dibayangkan. Aku melakukannya setiap hari. Dan puncaknya, adalah saat aku dengan bodohnya berjalan ke tengah jalan saat mobilmu lewat."Bara tersenyum mengingat kejadian itu, saat pertama kali mereka bertemu, "Aku juga sedang melamun saat itu. Aku tak melihat ada lampu merah."Rania dan Bara saling menatap. Kejadian yang waktu itu terlihat menyebalkan bagi mereka, sekarang justru tamp
Lampu-lampu kota mulai meredup satu per satu dari balik jendela apartemen, meninggalkan suasana malam yang hangat dan tenang. Rania duduk bersandar di dada Bara di atas sofa ruang tengah. Sebuah film lama diputar di televisi, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menontonnya. Tawa pelan dan obrolan santai lebih mendominasi malam itu.Bara membelai rambut Rania lembut, sementara jari-jari Rania menggenggam tangan Bara dengan erat. Senyum tersungging di wajah Rania, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Tentang Reza. Tentang Becca. Tentang peringatan yang membuat pikirannya tak tenang seharian ini.Namun malam ini, ia memutuskan untuk tidak merusaknya dengan keraguan. Untuk pertama kalinya, Bara tampak benar-benar bersikap seperti seorang suami. Hangat, perhatian, dan bahkan... terlihat begitu terbuka."Mas," gumam Rania pelan, "boleh aku cerita sesuatu?"Bara meliriknya, menundukkan wajah agar lebih dekat. "Apa saja, Sayang."Rania tersipu malu
Hari mulai siang, sekolah tempat Rania mengajar pun semakin ramai dipadati oleh para orang tua yang hendak menjemput anaknya. Reza sedang memejamkan mata, berusaha mendinginkan kepalanya ketika suara bising motor dan mobil itu bersliweran di depan mobilnya. Rasanya kepalanya hampir pecah, karena terus memikirkan kesalahan yang sudah ia lakukan pada Rania. Dia sadar dia takkan bisa terus menerus hidup seperti ini. Dia takkan bisa tenang sebelum ia meminta maaf. Walaupun mungkin Rania takkan mau memaafkannya.Ketika sekolah mulai sepi, Reza akhirnya memberanikan diri untuk turun. Ia melangkah dengan penuh tekad, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Rania. Reaksi Rania mungkin buruk, tapi ia sudah siap dengan segala resikonya. Lebih baik Rania mencaci maki dia daripada dia terus terbebani dengan kesalahannya sendiri.Namun, ketakutannya langsung sirna ketika melihat Rania keluar dari sekolah itu. Reza menghentikan langkah, dan membeku tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. S
Bara mengangkat kepala, dan seketika senyumnya memudar. Di ambang pintu kubikelnya, berdiri Becca dengan gaun merah menyala yang mencolok dan senyum penuh goda. Aura parfumnya yang kuat langsung memenuhi area kerja Bara, mengundang beberapa pasang mata rekan kerja melirik penasaran. Terutama Tama."Baby," sapa Becca, melangkah mendekat dengan langkah anggun. "Sibuk sekali, ya?"Bara menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya. Ia tahu betul maksud kedatangan Becca. Sejak pertemuan terakhir mereka, Bara memang sudah membatasi interaksi, hanya sesekali membalas pesan. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi membiarkan Becca menjadi duri dalam hubungannya dengan Rania."Ada perlu apa, Becca?" tanya Bara datar, tanpa senyum.Becca terkekeh pelan, mendekatkan tubuhnya ke meja Bara. "Pulang kantor nanti, makan malam denganku, yuk? Ada tempat baru yang lucu, pasti kamu suka." Jemarinya dengan santai menyentuh tumpukan dokumen di meja Bara, seolah ingin menarik perhatiannya.Bara menarik tanga