Share

Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris
Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris
Author: Sandra Dhee

1. Dunia Runtuh

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-04-28 09:12:11

Langit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.

Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.

Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada sesuatu yang janggal. Biasanya saat Rania tiba di rumah sang ayah sudah pulang dan menonton televisi dengan suara keras di kursi reotnya. Kali ini tidak ada suara apapun. Terlalu sunyi dan sepi, seakan tidak ada tanda kehidupan di dalam sana.

“Ayah?” panggil Rania. Ia meletakkan tas selempang lusuhnya di sebelah pintu dan berjalan masuk, mencari sosok ayahnya. Dan ketika ia sampai di ruang tengah, matanya membelalak.

Ia melihat ayahnya terbaring kaku dilantai dengan tangan memegangi dada dan wajah membiru.

“Ayah!” teriak Rania histeris. Ia berlutut dan mengguncang tubuh ayahnya yang sudah kaku. Dan saat itu juga dia terdiam dengan pandangan kosong, sadar jika ayahnya sudah pergi meninggalkannya.

***

Pemakaman ayah Rania berlangsung sederhana. Tetangga sekitar datang membantu, membawa doa dan air mata. Tapi setelah tanah basah menutup liang lahat, yang tersisa hanyalah keheningan dan tumpukan masalah yang mulai menggunung di hadapan Rania. Tinggal Rania dan Reyhan sendirian. Tak ada kerabat atau sanak saudara. Sejak ibu mereka meninggal sepuluh tahun yang lalu, mereka memang jauh dari keluarga sang ibu. Sementara keluarga sang ayah berada di luar kota, dan tak mungkin menemani mereka untuk waktu yang lama.

Hari-hari berikutnya berjalan dalam kabut. Sendirian Rania mengurus surat-surat kematian, menghibur Reyhan yang sebenarnya juga berusaha untuk tak menangis di depan sang kakak, dan dirinya sendiri juga berusaha menguatkan diri untuk tidak menangis setiap malam.

Hingga sore itu, saat ia membuka laci meja Ayahnya untuk mencari dokumen penting, ia menemukan kenyataan pahit lainnya.

Surat-surat tagihan hutang. Banyak. Terlalu banyak. Nafas Rania tercekat ketika mengetahui daftar listrik yang tertunggak, cicilan hutang dan pinjaman bank. Dan yang paling mengerikan adanya surat dari rentenir lokal, berisi ancaman tipis yang membuat darahnya membeku.

"Bayar hutangmu atau siap kehilangan rumahmu."

Tangan Rania gemetar saat membaca kalimat itu. Ia meremasnya dan merasakan lidahnya terasa kering. Di sudut matanya, dunia mulai berputar. Bagaimana bisa Ayah tidak pernah memberitahu soal semua ini? Bagaimana bisa ia, seorang guru TK dengan gaji pas-pasan, membayar semua hutang ini sendirian? Sementara ayahnya yang hanya seorang buruh juga tak meninggalkan apapun. Tak ada dana pensiun ataupun warisan. Hanya rumah ini yang tersisa sekarang.

“Kak?” Rania menoleh dan melihat Reyhan, sang adik yang duduk di kelas 2 SMA, berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat.

“Ada apa Rey?”

“Apa ada makanan?” tanya Reyhan hati-hati, seakan takut pertanyaannya menyinggung perasaan sang kakak.

“Sebentar ya?” kata Raina. Ia beranjak menuju dapur dan membuka kulkas. Kosong. Hanya ada beberapa bahan makanan yang hampir habis. Sisa uang di dompetnya juga mungkin hanya cukup untuk seminggu ke depan jika mereka bisa berhemat.

Ia menyiapkan nasi sisa tadi pagi dan telur terakhir dari kulkas. Saat mereka makan dalam diam, Rania mencuri pandang ke wajah adiknya. Terlalu kurus untuk anak seusianya. Terlalu banyak beban di mata itu. Walaupun anak yang beranjak remaja biasanya mulai memberontak, tapi tidak dengan adiknya. Seakan Reyhan sadar diri bahwa keluarganya sudah terlalu penat dihimpit masalah, sehingga dia tak mau menambah beban mereka lagi.

Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

Tiba-tiba suara ketukan keras di pintu mengejutkan Rania dan membuat jantungnya hampir copot. Ia bergegas berdiri dan membuka  pintu. Tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk melihat siapa yang berdiri di luar sana tanpa memberi mereka celah kesempatan untuk masuk.

Dua pria berdiri dengan memakai jaket kulit hitam di luar, wajah mereka asing dan suram.

"Siapa?" Rania bertanya, suaranya bergetar.

"Saya dari kantor pinjaman," salah satu dari mereka menjawab. "Kami ingin berbicara soal pembayaran hutang Almarhum Pak Wiranta."

Pak Wiranta. Nama ayahnya disebut begitu enteng tanpa ekspresi. Rania menarik nafas panjang, berpikir cepat tentang jawaban apa yang akan ia lontarkan.

"Ayah saya baru saja meninggal," katanya pelan. "Tolong beri kami waktu."

Pria itu tersenyum miring. "Kami tahu itu. Dan itu sebabnya kami datang. Hutang tetap harus dibayar Nona. Atau..." Pria itu tak meneruskan kalimatnya. Tatapan matanya menusuk, mengancam.

"Kami akan kembali," kata pria yang satunya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Rania berdiri membeku di ambang pintu.

Tanpa memastikan kedua pria itu sudah pergi meninggalkannya, Rania segera menutup pintu. Ia berdiri menyandarkan punggungnya sambil mengatur jantungnya yang berdegup kencang. Tubuhnya gemetar, matanya berembun. Sejak kapan hidupnya menjadi seperti ini? Ia dulu hanya bermimpi sederhana. Mengajar anak-anak, hidup tenang bersama Ayah dan Reyhan, mungkin suatu hari menikah dengan pria baik dan punya keluarga kecil. Tapi kini, semua itu terasa seperti bayangan jauh yang perlahan menghilang.

“Siapa yang datang?” tanya Reyhan muncul dari pintu ruang makan. Raina buru-buru mengerjapkan matanya, berusaha menutupi air mata yang hampir jatuh.

“Bukan siapa-siapa. Hanya orang tanya alamat. Ayo makan lagi.”

Rania bersikap biasa saja seolah tak ada apa-apa. Tapi Reyhan curiga. Dia tahu ada masalah dan itu cukup besar untuk dihadapi sang kakak sendirian. Ia pun hanya mengangguk dan mengikuti sang kakak, dengan perasaan bersalah.

***

Rania menarik napas panjang saat pagi itu ia keluar dari rumah. Suasana pagi mendung kelabu, seperti ikut merasakan berat di pundaknya. Ia menunduk, menggenggam tali tas lusuh di bahunya, berusaha menghalau rasa sesak yang beberapa hari ini mencekik dada.

Hari ini seharusnya menjadi hari biasa. Mengajar anak-anak yang riang dan mendengar tawa polos mereka seharusnya bisa sedikit mengobati luka hatinya. Tapi tidak. Tidak hari ini. Tidak ketika pikirannya dipenuhi teror para debt collector yang terus memburunya seperti bayangan gelap yang tak pernah mau pergi.

Rania menghela napas lagi, kali ini lebih berat dari sebelumnya .Ayah... kenapa kau tinggalkan aku dengan semua ini? Batinnya putus asa. Jika ia tidak segera melunasi hutang-hutang itu, rumah kecil peninggalan orang tuanya akan disita.

Rumah itu bukan sekadar bangunan. Itu adalah satu-satunya tempat di mana ia dan Reyhan bisa berteduh. Tanpa itu mereka tak punya apa-apa lagi. Tidak ada keluarga besar, tidak ada simpanan uang, bahkan tidak ada tempat untuk meminta tolong.

Sambil melangkah pelan menuju trotoar, Rania merapatkan jaket tipisnya. Angin pagi menusuk kulitnya, membuat tubuhnya menggigil, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Ketakutan yang mendalam, rasa tak berdaya, dan keputusasaan. Itulah yang benar-benar membekukan jiwanya.

Sudah beberapa hari ia menjalani hidup seperti ini. Pagi hingga siang mengajar anak-anak TK. Malam, setelah Reyhan masuk ke kamarnya, ia duduk di depan laptop tuanya, berusaha menulis novel demi mengejar tambahan penghasilan. Tapi semua kerja kerasnya seolah sia-sia. Gajinya mengajar dan royalti dari penjualan novel digitalnya nyaris tak cukup untuk membeli bahan makanan pokok, apalagi membayar hutang yang menumpuk dengan bunga mencekik.

Setiap hari, setiap malam, tekanan itu semakin berat menimpanya. Debt collector terus menghubunginya. Mengancam, meneror, juga datang ke sekolah diam-diam untuk mempermalukannya. Bahkan kemarin kepala sekolah sudah memanggilnya, menyiratkan bahwa Rania mulai membuat citra sekolah terganggu. Tinggal soal waktu sampai dia kehilangan pekerjaannya. Kalau itu terjadi, semua benar-benar habis tak tersisa.

Rania meremas jemari kurusnya, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. Dia tidak boleh menangis di jalanan. Tidak di depan orang-orang. Tapi jujur, dia benar-benar lelah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban berpuluh-puluh kilogram di pundaknya. Trotoar yang biasa ia lewati terasa panjang tak berujung. Pandangannya mulai buram oleh air mata yang berusaha ia tahan.

Rania melirik ke seberang jalan. Halte tempat biasa ia menunggu bus sudah terlihat. Satu langkah lagi. Satu perjuangan lagi. Satu napas lagi.

Ia menguatkan hatinya, berusaha menyeberang di antara kendaraan yang berseliweran. Lampu merah menyala, memberi isyarat bahwa ia bisa berjalan. Tapi saat itu juga, saat ia baru saja melangkah setengah jalan, suara klakson memekik keras di telinganya.

Rania memutar kepalanya. Lampu mobil menyilaukan matanya, membuat dunia di sekelilingnya menjadi putih terang. Ia membeku. Langkahnya terhenti. Dalam sepersekian detik, dia ingin berteriak, ingin melompat, ingin menyelamatkan diri tapi tubuhnya terlalu lambat untuk mengikuti pikirannya.

BRAK!

Benturan keras itu menggema di telinganya. Tubuhnya terpental, terlempar beberapa meter sebelum menghantam aspal keras. Rasa sakit yang luar biasa menyambar seluruh tubuhnya. Dada, punggung, kepala, semuanya terasa nyeri seperti dihantam palu godam.

Dunia berputar. Segalanya menjadi kabur. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki tergesa dan teriakan, “Kita menabrak orang!”

Dan yang terakhir Rania lihat adalah dua orang pria berdiri menatapnya. Sebelum semuanya menjadi gelap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   5. Pernikahan Kontrak

    Mobil Lamorghini hitam itu meluncur perlahan di jalanan mewah di salah satu sudut kota Jakarta. Rania duduk diam di kursi penumpang, menatap keluar jendela sambil menahan napas. Ini gila. Ini semua terlalu cepat. Batinnya.Baru dua hari sejak mereka bertemu, dan sekarang Bara membawanya ke rumah keluarganya. Bara Maheswara! Salah satu orang terkaya di negara ini, bahkan keluarganya termasuk salah satu yang terkaya di Asia. Lucunya, dia baru mengetahuinya kemarin. Bodoh, bagaimana dia bisa tak mengenali pria tersebut? Dia memang merasa wajahnya tak begitu asing, tapi siapa yang sangka bukan? Siapa yang mengira mereka akan bertemu dengan cara seperti ini."Tenang aja," suara Bara memecah keheningan. "Mereka nggak sekejam yang kamu bayangkan."“Hah!?” Rania melongo, tapi sedetik kemudian dia mengerti apa yang dibicarakan Bara. Bara tentu menyangka Rania sedang gelisah karena hendak bertemu dengan keluarga Maheswara. Dan itu memang benar. Rania gelisah dan tak percaya, bahwa setelah ini h

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   4. Perjanjian

    Pagi itu, Rania bangun dengan tekad baru. Ia memantapkan hati untuk mengajar seperti biasa. Dunia mungkin tengah runtuh di sekelilingnya, tapi di hadapan anak-anak, ia harus tetap tersenyum. Itu adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan dalam hidup yang kini seperti perahu bocor di tengah badai.Setelah membuat sarapan sederhana untuk Reyhan, sepotong roti dan segelas susu, Rania merapikan pakaian kerjanya. Kemeja biru pudar dan rok hitam satu-satunya yang masih layak pakai."Reyhan, jangan lupa kunci pintu kalau kamu berangkat sekolah, ya," katanya sambil tersenyum ke arah adiknya yang sedang makan. Reyhan mengangguk patuh. Wajah remaja itu masih penuh kecemasan, membuat hati Rania terasa teriris.Ia menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk satu hari panjang lagi. Tapi saat ia membuka pintu depan, niatnya langsung runtuh seketika.Dua pria berdiri di ambang rumah. Bukan pria biasa. Tubuh mereka besar, wajah keras seperti batu, dan mata penuh niat jahat. Keduany

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   3. Skandal Sang Pewaris

    Bara mengatupkan rahangnya sambil menatap kosong keluar jendela apartemennya. Benaknya mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sebelumnya semua berjalan begitu damai dan tenang. Pekerjaan stabil, kehidupan percintaan yang lancar. Ia merasa tak ada masalah apapun sampai muncul berita itu di televisi dan media sosial.“BREAKING NEWS! Pewaris Maheswara Group Terciduk Tinggal Serumah dengan Kekasih Bule-nya!”Ia ingat di ruang tengah keluarga Maheswara yang luas dan mencekam, ia duduk di sofa dengan wajah tegang. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Kedua jemarinya bertautan menandakan dibalik sikap dinginnya dia sekarang sedang gelisah.Di sofa sebelahnya, sang ayah Dharma maheswara menatap layar televisi lebar yang terpasang di dinding rumah. Sorot matanya tajam dan menghunus. Walaupun ia tak berkata apa-apa namun satu ruangan itu ikut merasakan kemarahan dari aura emosinya yang terpancar jelas.Keduanya menonton berita yang sedang viral di televisi baru-baru ini. Bara menjadi sorotan

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   2. Tawaran yang Aneh

    Aroma antiseptik menusuk hidung Rania dan membuatnya tersadar. Rania perlahan membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa sangat sakit setiap kali ia bergerak.Ada alat infus di tangan kirinya. Ada perban membalut keningnya. Dan ada sosok seseorang duduk di kursi di sebelah ranjang!Pria itu. Rania melihatnya samar-samar. Wajah tajam, rahang tegas, pakaian rapi, kontras sekali dengan dirinya yang terbaring lemah dengan pakaian rumah sakit."Kami minta maaf," suara pria itu serak, nyaris seperti bisikan. "Kami tidak sengaja."Rania menatapnya tanpa berkata apa-apa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kecelakaan. Ya, dia baru saja mengalami kecelakaan!Pria itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak frustrasi,"Namaku Tama," katanya,"Temanku, Bara, tak sengaja menabrakmu, tapi kami akan bertanggung jawab."Rania berkedip pelan. Bertanggung jawab? Oh. Ini pasti soal biaya

  • Terpaksa Jadi Pengantin Tuan Pewaris   1. Dunia Runtuh

    Langit sore menggelayut manja. Rania melangkah kecil di jalan setapak menuju rumahnya dengan hati gembira. Seharian ini dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Mengajar anak-anak TK, menyanyikan lagu “pelangi-pelangi”, dan mengikat rambut salah satu siswinya yang cengeng. Dan yang paling menyenangkan, ia juga mendapatkan honor seadanya dari sang kepala sekolah untuk bulan ini. Dalam benaknya ia sudah membayangkan akan membeli satu ekor ayam goreng untuk dimakan bersama ayah dan adiknya nanti malam.Sebagai seorang guru TK, Rania memang membantu ayahnya mencari nafkah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan, tentu akan merasa bebannya sedikit teringankan berkat adanya gaji dari Rania. Mereka memang tinggal bertiga. Rania, sang ayah, dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA, Reyhan. Mereka hidup serba sederhana dan bercukupan. Tapi semua terasa bahagia bagi mereka.Namun, hari itu ada yang berbeda. Saat Rania membuka pintu rumahnya ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status