"Cukup!!" jeritku. Amarah meledak tak tertahankan.
Bagaimana mungkin pria tak bermoral itu, dengan segala kebejatannya, berani menghujat calon suamiku, pria berhati malaikat yang aku cintai? Sungguh tidak tahu diri sekali Mas Agus ini."Bapak dan Ibu siapa, ya?" Suara satpam rumah mendekat. Dia datang dengan tergopoh-gopoh, wajahnya menunjukkan kejutan. Sebelumnya, dia memang tak ada di gerbang, mungkin tadi ke kamar mandi."Kami suami dan mertuanya Laura, Pak," jawab Mas Agus, suaranya santai dan lancang, tak menunjukkan sedikitpun penyesalan."Mantan suami dan mantan mertua, maksudnya, Pak!" Aku menegaskan, suara getar kupaksa tetap tegas. "Usir mereka dari sini, Pak. Aku mau masuk," kataku, lalu berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang, meninggalkan mereka terpaku.Mas Agus sempat mencoba mencegah, namun satpam dengan sigap mendorong pintu gerbang hingga terbanting keras, menghentikan langkahnya. Aku merasakan suatu ra(POV Dylan) Sore ini, sengaja kuputuskan pulang lebih awal. Ada janji dengan dokter kandungan—sekaligus teman kuliahku dulu. Selain ingin memeriksakan kesehatan, eh maksudku, memeriksa kondisi Jarwo, banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Namun, langkah kakiku seketika terhenti parkirani. Suara Sakti, memecah lamunan. "Pak, apa Bapak mau pulang sekarang?" tanyanya "Iya," jawabku singkat. "Sudah nggak ada meeting lagi hari ini, jadi aku mau langsung pulang saja." Dia perlahan mengulurkan sebuah plastik berwarna merah tua kepadaku. "Saya titip ini untuk Laura, ya, Pak?" pintanya. "Apa ini?" Tanganku menerima plastik itu. Ternyata isinya adalah bika ambon. Kenapa Sakti membelikan makanan ini kepada Laura, dan apa maksudnya? Apa dia sengaja ingin mengambil perhatian calon istriku? Jika benar, dia sangat kurang ajar. "Bika ambon ini kesukaan Laura, Pak. Saya sengaja beli untuk hari ulang tahunnya," kata Sakti, tersenyum penuh arti. "Ulang tahun?" Mataku membulat tak perc
"Cantik... Apa kamu masih ingat di mana rumahmu?"Aku bertanya lirih pada Qiara, suara mesin mobil menjadi latar belakang percakapan kami. Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menyinari wajahnya yang terlihat begitu ceria.Bayangan Agus kembali menghantui pikiranku. Mengetahui alamat rumahnya akan memudahkan untukku membuat perhitungan. Dan mungkin, Qiara bisa mengingat jalan menuju rumahnya."Lumah??" Qiara menatapku bingung. "Iya. Rumah Ayahmu, Cantik. Rumah Ayah Agus," jelasku lebih detail, supaya dia paham maksudku."Oh, di jalan Cempaka Putih, Om. Tapi... Qiala nggak mau ke sana! Qiala nggak mau ketemu Ayah Agus. Qiala benci sama Ayah!" Qiara menggeleng keras. Panik tergambar jelas di wajahnya, air mata mengancam untuk jatuh. Penolakannya bukan sekadar menolak, melainkan sebuah penolakan yang dipenuhi rasa benci yang dalam."Kita nggak ke sana kok," kataku, suaraku lebih lembut lagi. Aku mengusa
"Bukan nggak rela, Pak. Tapi mainan itu 'kan nggak salah, meskipun yang memberikannya punya salah. Jadi nggak perlu dibuang," jawab Laura, menatapku dengan serius. Tatapannya menunjukkan keyakinan yang kuat pada pendiriannya."Tapi buat apa disimpan kalau Qiara sendiri nggak mau memainkannya? Kan sama saja mubazir... mending dibuang," kataku, suaraku terdengar sedikit kesal. Aku masih merasa tak puas dengan penjelasannya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku."Untuk sekarang biarkan saja, Pak. Bisa saja suatu hari nanti dia menanyakan mainan itu," kata Laura lembut, pandangannya tertuju pada Qiara yang masih asyik menonton. Ada ketulusan dan kasih sayang yang terpancar dari matanya.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi kamu nggak ada niat buat kembali sama Agus 'kan, Yang?"Aku memberanikan diri untuk mengatakannya. Sekarang, kita akan menjadi satu keluarga. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku perlu kepastian.Laura tersenyum, se
Tentang pesta pernikahan itu, sebetulnya dari dulu aku ada niat untuk membuatnya. Namun, uangku selalu terpakai oleh kebutuhannya yang tidak penting itu.Selain itu, sifat dan kepribadian Melisa yang bertolak belakang dengan Laura membuatku berpikir ulang. Untuk apa aku kembali menghamburkan uang untuk mengadakan pesta, lebih baik aku melepaskannya saja."Kamu memberikan aku anak yang cacat! Aku tidak sudi punya anak cacat dan punya suami seperti kamu yang mengirimkan benih anak cacat!" Kata-kata itu keluar dari mulutnya, tajam seperti belati yang menusuk jantungku."Hei, jaga bicaramu, Melisa!!" Aku berteriak, amarah meledak tak tertahankan. Sejak kapan dia jadi selancang ini?Tangan terangkat, ingin menampar mulutnya, tapi sebelum itu terjadi, dia mendorongku dengan kuat. Tubuhku terhempas ke lantai, benturan keras membuat kepalaku berdenyut hebat.Aku tertegun. Tak menyangka Melisa memiliki tenaga yang besar, dan mengapa kelak
(POV Dylan)"Hah? Kau bilang apa barusan? Kau suruh aku mengambil lagi Melisa?" Aku menatapnya tak percaya. Setelah semua yang sudah dia dan Melisa perbuat, dia seenaknya bilang begitu?Cih! Tidak sudi! Untuk apa aku kembali pada wanita yang tak pernah bersyukur seperti Melisa? Lebih baik aku bersama Laura."Rupanya kau sudah tau sekarang, kalau Melisa itu istri yang durhaka. Tapi memang kalian ini cocok, karena kau juga suami durhaka, Gus," ujarku, kemudian tertawa mengejeknya. Wajahnya memerah menahan amarah, aku senang berhasil memancingnya."Kurang ajar... beraninya kau!!" Agus mengangkat kepalan tangannya, siap menghajarku. Namun, gerakannya terhenti saat seorang dokter keluar dari ruang UGD.Agus langsung berdiri, menatap dokter dengan wajah cemas."Bagaimana keadaan Mamaku, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" Suaranya bergetar, ketakutan terpancar dari sorot matanya."Ibu Kokom mengalami gegar otak akib
"Aahhh... Terus, goyangkan pinggulmu, Sayang!"Aku tersentak, tubuh menegang. Di balik pintu apartemen itu, aku berdiri, jantung berdebar-debar, mendengar des*ahan yang begitu jelas.Suara itu... suara Mas Agus. Mungkinkah...? Mungkinkah dia sedang berselingkuh? Bercinta dengan wanita lain?Jadi, ini alasannya dia menghilang selama sebulan? Meninggalkan aku dan Qiara tanpa kabar, tanpa nafkah? Betapa tega dia! Aku harus memberinya pelajaran!Braak!!Tendanganku mengenai pintu. Ternyata tidak terkunci. Pandanganku langsung menangkap pemandangan yang membuat darahku mendidih. Mas Agus... dia... dia sedang berbaring dengan seorang wanita, tanpa busana, tubuh mereka berpelukan, berkeringat."Brengs*k!" Jeritku menggema di ruangan. Aku berlari menghampiri mereka, memisahkan tubuh mereka yang terjalin. Dengan kasar, aku menjambak rambut wanita itu. Tinju kananku melayang mengenai wajah Mas Agus. "Anak kita sakit keras, tapi kamu malah main gila, Mas?!" Napasku tersengal-sengal
"Kenapa? Kok nggak dilanjutin?" tanya Kimmy, mendorongku untuk melanjutkan pembicaraan. "Aku malu ngomongnya," jawabku ragu-ragu, menunduk. "Ngapain malu? Kita 'kan teman dekat dari SMA. Masa kamu udah lupa?" Kimmy tersenyum, mencoba menenangkanku. "Aku inget kok. Cuma tetap saja aku merasa nggak enak dan malu," aku masih enggan menatapnya. "Udah, ngomong aja. Aku lagi dengerin," Kimmy memberi isyarat untukku melanjutkan. "Aku... aku tadinya mau pinjam uang padamu. Untuk biaya operasi anakku di rumah sakit," kataku akhirnya, suaraku terdengar gugup. "Berapa biayanya?" Kimmy bertanya dengan nada yang lebih serius. "Totalnya 250 juta." Aku hampir tak berani menatap matanya. "Banyak amat, Ra? Memangnya anakmu sakit apa?" Kimmy tampak terkejut. "Sakit jantung, bawaan dari lahir, Kim," suaraku bergetar. "Kamu nggak punya BPJS? Kan kalau punya, biaya operasi bisa pakai itu, jadi kamu nggak perlu keluar biaya banyak," Kimmy mencoba mencari solusi lain. Aku menggeleng les
Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takju
(POV Dylan)"Hah? Kau bilang apa barusan? Kau suruh aku mengambil lagi Melisa?" Aku menatapnya tak percaya. Setelah semua yang sudah dia dan Melisa perbuat, dia seenaknya bilang begitu?Cih! Tidak sudi! Untuk apa aku kembali pada wanita yang tak pernah bersyukur seperti Melisa? Lebih baik aku bersama Laura."Rupanya kau sudah tau sekarang, kalau Melisa itu istri yang durhaka. Tapi memang kalian ini cocok, karena kau juga suami durhaka, Gus," ujarku, kemudian tertawa mengejeknya. Wajahnya memerah menahan amarah, aku senang berhasil memancingnya."Kurang ajar... beraninya kau!!" Agus mengangkat kepalan tangannya, siap menghajarku. Namun, gerakannya terhenti saat seorang dokter keluar dari ruang UGD.Agus langsung berdiri, menatap dokter dengan wajah cemas."Bagaimana keadaan Mamaku, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" Suaranya bergetar, ketakutan terpancar dari sorot matanya."Ibu Kokom mengalami gegar otak akib
Tentang pesta pernikahan itu, sebetulnya dari dulu aku ada niat untuk membuatnya. Namun, uangku selalu terpakai oleh kebutuhannya yang tidak penting itu.Selain itu, sifat dan kepribadian Melisa yang bertolak belakang dengan Laura membuatku berpikir ulang. Untuk apa aku kembali menghamburkan uang untuk mengadakan pesta, lebih baik aku melepaskannya saja."Kamu memberikan aku anak yang cacat! Aku tidak sudi punya anak cacat dan punya suami seperti kamu yang mengirimkan benih anak cacat!" Kata-kata itu keluar dari mulutnya, tajam seperti belati yang menusuk jantungku."Hei, jaga bicaramu, Melisa!!" Aku berteriak, amarah meledak tak tertahankan. Sejak kapan dia jadi selancang ini?Tangan terangkat, ingin menampar mulutnya, tapi sebelum itu terjadi, dia mendorongku dengan kuat. Tubuhku terhempas ke lantai, benturan keras membuat kepalaku berdenyut hebat.Aku tertegun. Tak menyangka Melisa memiliki tenaga yang besar, dan mengapa kelak
"Bukan nggak rela, Pak. Tapi mainan itu 'kan nggak salah, meskipun yang memberikannya punya salah. Jadi nggak perlu dibuang," jawab Laura, menatapku dengan serius. Tatapannya menunjukkan keyakinan yang kuat pada pendiriannya."Tapi buat apa disimpan kalau Qiara sendiri nggak mau memainkannya? Kan sama saja mubazir... mending dibuang," kataku, suaraku terdengar sedikit kesal. Aku masih merasa tak puas dengan penjelasannya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku."Untuk sekarang biarkan saja, Pak. Bisa saja suatu hari nanti dia menanyakan mainan itu," kata Laura lembut, pandangannya tertuju pada Qiara yang masih asyik menonton. Ada ketulusan dan kasih sayang yang terpancar dari matanya.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi kamu nggak ada niat buat kembali sama Agus 'kan, Yang?"Aku memberanikan diri untuk mengatakannya. Sekarang, kita akan menjadi satu keluarga. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku perlu kepastian.Laura tersenyum, se
"Cantik... Apa kamu masih ingat di mana rumahmu?"Aku bertanya lirih pada Qiara, suara mesin mobil menjadi latar belakang percakapan kami. Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menyinari wajahnya yang terlihat begitu ceria.Bayangan Agus kembali menghantui pikiranku. Mengetahui alamat rumahnya akan memudahkan untukku membuat perhitungan. Dan mungkin, Qiara bisa mengingat jalan menuju rumahnya."Lumah??" Qiara menatapku bingung. "Iya. Rumah Ayahmu, Cantik. Rumah Ayah Agus," jelasku lebih detail, supaya dia paham maksudku."Oh, di jalan Cempaka Putih, Om. Tapi... Qiala nggak mau ke sana! Qiala nggak mau ketemu Ayah Agus. Qiala benci sama Ayah!" Qiara menggeleng keras. Panik tergambar jelas di wajahnya, air mata mengancam untuk jatuh. Penolakannya bukan sekadar menolak, melainkan sebuah penolakan yang dipenuhi rasa benci yang dalam."Kita nggak ke sana kok," kataku, suaraku lebih lembut lagi. Aku mengusa
(POV Dylan) Sore ini, sengaja kuputuskan pulang lebih awal. Ada janji dengan dokter kandungan—sekaligus teman kuliahku dulu. Selain ingin memeriksakan kesehatan, eh maksudku, memeriksa kondisi Jarwo, banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Namun, langkah kakiku seketika terhenti parkirani. Suara Sakti, memecah lamunan. "Pak, apa Bapak mau pulang sekarang?" tanyanya "Iya," jawabku singkat. "Sudah nggak ada meeting lagi hari ini, jadi aku mau langsung pulang saja." Dia perlahan mengulurkan sebuah plastik berwarna merah tua kepadaku. "Saya titip ini untuk Laura, ya, Pak?" pintanya. "Apa ini?" Tanganku menerima plastik itu. Ternyata isinya adalah bika ambon. Kenapa Sakti membelikan makanan ini kepada Laura, dan apa maksudnya? Apa dia sengaja ingin mengambil perhatian calon istriku? Jika benar, dia sangat kurang ajar. "Bika ambon ini kesukaan Laura, Pak. Saya sengaja beli untuk hari ulang tahunnya," kata Sakti, tersenyum penuh arti. "Ulang tahun?" Mataku membulat tak perc
"Cukup!!" jeritku. Amarah meledak tak tertahankan.Bagaimana mungkin pria tak bermoral itu, dengan segala kebejatannya, berani menghujat calon suamiku, pria berhati malaikat yang aku cintai? Sungguh tidak tahu diri sekali Mas Agus ini."Bapak dan Ibu siapa, ya?" Suara satpam rumah mendekat. Dia datang dengan tergopoh-gopoh, wajahnya menunjukkan kejutan. Sebelumnya, dia memang tak ada di gerbang, mungkin tadi ke kamar mandi."Kami suami dan mertuanya Laura, Pak," jawab Mas Agus, suaranya santai dan lancang, tak menunjukkan sedikitpun penyesalan."Mantan suami dan mantan mertua, maksudnya, Pak!" Aku menegaskan, suara getar kupaksa tetap tegas. "Usir mereka dari sini, Pak. Aku mau masuk," kataku, lalu berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang, meninggalkan mereka terpaku.Mas Agus sempat mencoba mencegah, namun satpam dengan sigap mendorong pintu gerbang hingga terbanting keras, menghentikan langkahnya. Aku merasakan suatu ra
"Laura! Qiara!" Seruan Mas Agus dari balik pintu mobil yang baru saja berhenti mengagetkanku. Kejutan itu berlipat ganda saat aku melihat Mama Kokom turun di sampingnya. Sinar matahari siang yang terik tiba-tiba terasa redup, digantikan oleh bayang-bayang masa lalu yang kelam. Mas Agus melangkah mendekat, namun Qiara langsung berlari masuk rumah sambil membawa es krim di tangannya, menghilang di balik pintu. Sebegitu kuatnya benci Qiara pada ayahnya, sampai-sampai dia tak mau bertemu. Tangan Mas Agus terulur, seolah ingin menyentuh perutku. Sebuah senyuman mengembang di bibirnya. "Bagaimana kabarmu, Laura? Apa kamu, Qiara dan calon anak kita baik-baik saja?" tanyanya, suaranya canggung namun tersirat harapan. Aku mundur selangkah, menghindari sentuhannya. Aroma parfumnya yang dulu pernah kusukai kini terasa menyengat. "Aku baik. Tapi, kenapa kalian ada di sini? Dan bagaimana kalian tau alamat rumah Pak Dylan?" tanyaku, nada suaraku sedikit meninggi. Melihat mereka di sini seperti
"Dari Bu Mala, Pak." Jawaban Pak Satpam langsung menenangkan. Aku menghela napas. Syukurlah, paket itu dari Tante Mala, bukan dari Mas Agus. "Ya sudah, kembali ke depan. Terima kasih," ucap Pak Dylan. "Sama-sama, Pak." Pak Satpam membungkuk hormat, langkahnya tenang saat meninggalkan ruang makan. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada Qiara dan Pak Dylan. "Ini, Cantik ...." Pak Dylan berkata lembut, suaranya penuh kasih sayang, sambil menyodorkan paperbag itu kepada Qiara. "Dari Oma Mala." Mata Qiara membelalak, sebuah ekspresi keheranan dan antusiasme bercampur aduk di wajahnya yang masih polos. Bibir mungilnya membentuk sebuah 'O' kecil yang sempurna, sebelum dia bertanya dengan suara gembira, "Oma?? Apa isinya mainan, Om?" Nada suaranya sedikit bergetar karena rasa penasaran yang membuncah. "Buka saja, lihat isinya." Dengan tangan yang tak sabar, Qiara mulai membuka paperbag itu. Pak Dylan membantu membukanya dengan hati-hati, menghindari agar isinya tak tercecer.
[Laura ... ini Mas Agus. Katakan pada Qiara kalau Ayahnya yang membelikan dia mainan. Dan katakan juga kalau Ayahnya merindukannya.]"Mas Agus?!" Bisikan itu lolos dari bibirku. Dahiku berkerut dalam, sebuah garis samar ketidakpercayaan menggurat wajahku.Seumur hidupku, baru kali ini Mas Agus membelikan Qiara mainan. Sebuah keganjilan yang menusuk-nusuk pikiranku seperti jarum. Kenapa? Apa maksudnya semua ini? Rasa heran dan terkejut bercampur aduk, menciptakan gelombang emosi yang menggulung-gulung dalam dada.Qiara masih menggenggam erat mainan baru itu. Matanya berbinar-binar, "Bunda... belajalnya sudahan, ya? Qiala mau main masak-masakan," pintanya terlihat sudah tak sabar ingin memainkan mainan baru itu."Selesaikan dulu tulisanmu, Sayang," kataku dengan lembut. Jemari lembut menyapu puncak kepalanya, meraih helaian rambut halus yang berbau shampo strawberry kesukaannya.Qiara mengangguk patuh, meletakkan mainan it