Share

Terpaksa Menikahi Bos Pinjol
Terpaksa Menikahi Bos Pinjol
Penulis: Snowystory

Prolog

“Astaga! Apa ini??”

Sosok perempuan cantik yang membawa raut lelah sehabis bekerjanya itu, langsung dibuat terkaget-kaget dengan keadaan rumahnya yang jadi sangat berantakan.

“I-ini, ini kenapa rumahku berantakan sekali? Kenapa ada banyak tulisan seperti ini?” tanyanya akan wujud dinding rumahnya, yang sudah penuh dengan coretan pilok merah bertuliskan ‘BAYAR HUTANG!’ Itu.

Ditambah lagi dengan beberapa tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya yang kini tak ubahnya seperti kapal pecah.

Dan yang dilakukanya kemudian adalah bergegas untuk mencari sang Ayah, yang sangat ia takutkan telah terjadi sesuatu pula kepadanya

“Pak, Bapak,” panggilnya,

“Bapak? Bapak Dimana?”

Namun ia tak menemukan siapa pun di dalam rumahnya. Kosong. Hanya gema suaranya yang membalas panggilannya.

Dan di saat perempuan berusia 23 tahun itu sedang bingung mencari sosok orang tua satu-satunya, ditambah dengan keadaan rumah yang juga seperti sudah diobrak-abrik seseorang, terlihat seorang ibu yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya menghampiri dirnya.

“Kirana…,”panggilnya.

Dan yang dipanggil pun langsung menoleh, lalu berjalan menghampirinya.

“Ibu Ratih…,”

“Ibu tahu apa yang terjadi sama rumah saya? Ini kenapa berantakan seperti ini?” tanya perempuan cantik itu.

“Tadi ada beberapa preman ke sini, cari Bapak kamu, katanya mau tagih hutang sampai 200 juta.”

“APA??”

Betapa terkejutnya perempuan cantik berparaskan khas Arab itu, berkat kabar yang baru saja didengarnya dan langsung memekan telinganya.

“Iya, tadi mereka langsung saja acak-acak rumah ini, dan Bapak kamu sepertinya dia sudah tahu akan ditangi preman-preman itu, jadi dia langsung saja bersembunyi di rumah paman kamu.”

Kirana benar-benar tak habis pikir dengan situasi yang sedang terjadi sekarang ini. Mendadak saja ada beberapa orang preman yang mendatangi rumahnya karena hutang sebesar 200 juta, yang entah tak ia tahu bagaimana ceritanya dan dari mana asalnya.

“200 juta…” gumamnya,

Membayangkan nominalnya yang sebesar itu Kirana jelas tak memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan melunasinya.

“Kirana, kamu sangat baik hati, pekerja keras, tapi kenapa kamu memiliki orang tua seperti Jupri, yang kerjanya hanya mabuk dan berjudi, sampai-sampai memiliki hutang sebesar itu.” Dengan terdengar sedikit menyesal, menyayangkan pulu tetangga Kirana itu berkata. Dan sosok bernama lengkap Kirana Larasati itu kini hanya bisa bersedih, bingung tak tahu harus apa karenanya.

Belum lagi rumah yang sekarang dihuninya sudah dijadikan jaminan Bank untuk pinjaman sang Ayah. Dan itu pun angsurannya sudah menunggak berbulan-bulan lamanya.

“Bagaimana ini? Aku harus gimana?” Terdengar sangat berputus asa sekali Kirana kini karenanya. Ulah sang Ayah selalusaja menjadi sumber kesedihan dan masalah dalam hidupnya.

“Sabar ya Kirana, Ibu harap kamu kuat, tidak putus asa, semoga ada jalan keluarnya” ucap tetangganya yang nampak begitu kasihan kepadanya.

“Terimakasih banyak ya, Bu Ratih.” Kirana berucap dengan setulus hatinya.

Dan selepas memberikan informasi juga sedikit kata-kata untuk menguatkannya, Ibu Ratih pun nampak pergi meninggalkan Kirana sendiri bersama dengan kesedihannya.

“Ya Allah, bagaimana ini? Dari mana aku harus dapet uang sebesar itu?”

“Kenapa Bapak terus saja membuat masalah, tak mau berhenti dari bermaksiatnya itu”

Ia berdialog dengan Sang Maha Pencipta, tengah meminta jalan dari-Nya atas masalah yang tengah menimpanya sekarang ini.

“Sepertinya, aku ambil wudhu dan solat saja”

.

.

.

Kirana yang sedang berada dalam gerakan terakhir solatnya, terlihat sangat khusuk sekali di atas sejadah peninggalan sang Ibu yang sudah wafat satu tahun yang lalu.

Dan kini gerakan salam ke kanan dan ke kiri di lakukannya, sebagai akhir dari ibadah solat magrib yang tak pernah terlewat untuk dilaksanakannya.

Tak langsung menyudahinya, Kirana biasa melakukan dzikir setelah menyelesaikan solatnya. Namun di saat dirinya yang telah khusuk berdzikir, dari belakang tubuhnya terlihat sang Ayah tengah mengendap-ngendap, ingin mengincar tas Kirana yang di taruh di atas meja di kamarnya.

Dan yang kemudian dilakukannya adalah mengambil isi dompet putrinya, karena ia yang sudah kehabisan uang setelah kalah berjudi lagi hari ini.

Tapi meksipun Bapak Kirana itu sudah mengendap-ngendap, berhati-hati, untuk tak sampai ketahuan. Kirana mendadak menoleh ke belakang dan langsung menemukan tangan Bapaknya yang tengah merogoh uang dari dompetnya.

“Bapak??”

Dengan masih mengenakan mukenanya, Kirana cepat-cepat berdiri untuk menghentikan aksi pencurian sang Ayah.

“Bapak! Jangan di ambil, Pak!”

“Kirana nggak punya uang lagi!”

Kirana berusaha untuk mengambil kembali dompet miliknya. Dan Jupri pun yang selalu tega hati mengambil uang putrinya, berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengambil beberapa lembar milik Kirana.

“Pelit kali kamu jadi anak! Kamu itu seharusnya kasih duit sama orang tua!” ucap Jupri sembari terus mempertahankan apa yang akan direbut kembali oleh si pemiliknya.

“Tapi Pak, cuma tinggal segitu aja uang Kirana, Kirana nggak punya lagi”

“Uang Kirana kemari-kemarin juga, abis buat Bapak beli minuman sama judi, jadi yang kali ini jangan diambil, Pak”

“Kirana mohon, Pak,”

Tenaga Kirana yang nampaknya tak berimbang dengan tenaga ayahnya, membuatnya kalah dan terampaslah dompet merah miliknya.

“Kamu kan kerja! Pasti nanti dapet duit lagi, dasar pelit, nggak anak, nggak Ibu sama pelitnya!”

Setelah berhasil mengambil sejumlah sisa uang putrinya, Jupri tedengar bergerutu dengan membawa-bawa almarhumah sang Ibu. Dan hal itu membuat Kirana bersedih, karena tak pernah sang Ibu bersiakap seperti apa yang terucap dari mulut ayahnya.

“Pak, sampai napas terakhir Ibu, uang Ibu terus Bapak ambil, bahkan uang berobat Ibu, Bapak juga yang-“

“Halah, jangan ngarang cerita kamu! Udah solat lagi sana, minta turunin hujan duit sana sama Tuhanmu itu!”

Kirana langsung mengelus dada, karena sikap Jupri yang sudah benar-benar kalap, bukan lagi khilaf akan hobi berjudinya sampai melakukan segala cara bahkan mencuri uang anak dan almarhumah istrinya.

“Istigfar Pak, mau sampai kapan Bapak terus seperti ini?? Rumah ini sudah terancam diambil Bank, terus itu depkolektor juga tagih-tagih utang ke sini, rumah juga sudah banyak dicoreti-“

“Berisik! Sok pinter kamu, ceramahin orang tua, bayar lah sama kamu, jadi anak itu ada gunanya dikit, jangan cuma bisa ngomong doang!”

Ingat Kirana malah dibalas dengan sikap Jupri yang lagi-lagi bebal, bahkan ia langsung saja pergi membawa uang Kirana yang baru saja diambilnya dengan paksa itu.

“Bapak! Bapak mau kemana? Jangan main judi lagi, Pak.” Kirana terus mengingatkan, namun sang Ayah pun terus mengabaikan. Bahkan balasnya adalah bunyi keras dari bantikan pintu rumah Kirana bersama dengan Jupri pergi meninggalkan rumahnya.

“Ahh, Ibu, Bapak makin menjadi sikapnya, Kirana harus bagaimana lagi, Bu,” dengan berurai air mata Kirana mengadukan keputusasaannya akan sikap Jupri pada sang Ibu yang sudah tenang di atas sana. Rindu akan peluk almarhumah bahkan kini mulai menyelimuti dirinya.

***

Seperti biasa tepat di puku 7 pagi Kirana sudah siap untuk pergi menuju kantor. Ia adalah seorang teller di salah satu kantor cabang Bank swasta yang ada di Ibu kota.

Namun kala Kirana yang akan mengunci pintu rumahnya, terlihat beberapa pria kekar, mengenakan jaket kulit hitam, juga berwajahkan sangar mendekat kepadanya. Kirana jadi dihinggapi banyak kepanikan karenanya.

“Kalian siapa? Ada apa kemari pagi-pagi seperti ini?” tanya Kirana dengan nada getar takutnya.

“Bawa dia, cepet!”

“APA?” Kirana takut setengah mati sekarang.

“Buruan bawa dia, kita bawa aja, Bapaknya udah nggak bisa bayar hutang, anaknya aja kita bawa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status