“Apa lagi ini Arka?” murka Papa. Dilemparnya selembar kertas yang baru ia baca ke depan mukaku.
Aku hanya bisa menunduk. Memandang surat itu melayang lalu mendarat di atas lantai ruang kerja Papa. Surat yang dikirimkan guru BK sekolah, melaporkan kelakuan burukku pada Papa dan meminta beliau datang ke sekolah. Untuk kesekian kalinya.
“Papa tidak mau datang ke sekolahan!” putusnya.
“Biar saja kau dikeluarkan dari sekolah. Papa tidak akan mencarikan sekolah baru untukmu!” Papa beranjak, lalu jalan menuju pintu, meninggalkanku.
“Dan satu lagi ....” Langkahnya terhenti.
“Jabatan CEO yang Papa siapkan untukmu, akan Papa berikan pada orang lain.”
Aku menelan ludah, dapat kurasakan otot-otot wajahku menegang mendengar keputusan Papa ini. Kalau aku tak jadi mendapatkan jabatan CEO itu, mau jadi apa aku nanti. Sudah dikeluarkan dari sekolah, nilai semua mata pelajaran pun tak ada yang bagus kecuali olahraga.
Selain itu, aku juga sering keluar masuk kantor polisi, karena ketahuan tawuran dan balapan liar. Ah, lengkap sudah catatan hitamku. Gimana bisa dapat surat kelakuan baik untuk mencari pekerjaan coba, kalau begini.
“Reno!” Papa lalu menyebut nama sepupuku. Sepupu kebanggaan keluarga besarku, yang mereka sebut pintar, berakhlaqul karimah, mantan ketua OSIS. Cuih! Mereka tidak tahu saja kelakuannya di sekolah, di balik semua prestasi yang ditonjolkannya, ia seorang playboy!
“Reno yang akan Papa persiapkan untuk menduduki jabatan CEO itu saat ia lulus kuliah nanti.”
Mataku membeliak, buru-buru kuraih kaki Papa.
“Ja- jangan Paa. Arka janji, nggak akan bikin ulah lagi, Arka janji serius belajar. Arka kan anak Papa satu-satunya, jangan berikan jabatan itu pada Reno, ya, Pa.”
“Kamu sudah selalu Papa beri kesempatan, Ka. Bagaimana mungkin para pemegang saham lain mau menerima kalau kelakuanmu seperti itu!”
“Tolong Pa, kasih Arka kesempatan sekali lagi,” rengekku sambil memeluk kaki Papa.
Kudengar Papa menghela napas. “Baiklah!”
Aku mengangkat kepala. Sepertinya rayuan mautku berhasil. Papa pasti mau memaafkan seperti biasa, yes!
“Papa beri kamu kesempatan, dengan syarat …”
“Apa itu Pa? ” Aku berdiri, lalu mengggenggam tangan Papa. “Arka akan melakukannya, PASTI!”ucapku meyakinkan.
Kalau cuma dikurangi uang jajan, dihukum suruh cuci dan setrika baju sendiri, bersihin kamar mandi atau nyupirin Papa selama libur sekolah, kecil. Aku rela melakukannya demi mendapat maaf Papa dan jabatan CEO itu tidak jatuh ke tangan sepupu busukku.
“Menikah,” jawab Papa seraya menatap tajam ke arahku.
“Oh, Papa mau menikah lagi?” Aku menanggapi santai. “Nggak ada masalah. Arka ngerti kok!” Sudah lama memang Papa menduda. Usiaku baru sepuluh tahun, ketika Mama meminta cerai karena tak tahan hidup menderita saat Papa mengalami kebangkrutan. Yang lebih menyakitkan lagi, tak lama setelah itu, Mama menikah dengan pesaing bisnis yang mencurangi Papa. Oh, kasihan Papa.
“Bilang aja Papa mau nikah dengan siapa? Janda muda, tua, atau gadis perawan tingting? Bebas, Arka merestui, yang penting Papa bahagia. Atau Papa mau Arka daftarin ke biro jodoh? Pasti banyak deh, yang mau nikah sama duda kaya seper-"
"Sembarangan bicara kamu, Arka! Tiba-tiba Papa menyumpal mulutku dengan roti yang disambarnya dari atas meja
“Bukan Papa yang menikah!"
Hah? Aku melongo. Jadi?
"Tapi kamu!”
Uhuk! Sontak aku menyemburkan roti dari mulutku. “Arka … menikah, Pa? Nggak salah?”
POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu
Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si
Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny
Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn
Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah