Share

Uang atau anak?

Terpaksa Menjadi Wanita Malam. 6

Aku memperbaiki posisi duduk. Mendengarkan setiap perkataan tuan Alex dengan seksama.

"Lalu apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanyaku penasaran.

"Kamu cukup menemaniku ngobrol. Aku masih setia pada satu wanita. Tak mungkin aku menyentuh perempuan lain yang bukan milikku?" 

Apa maksudnya? Jadi buat apa ia membayarku mahal jika tidak untuk melayaninya?

"Lalu, kenapa Tuan memberiku yang dua puluh juta?" Aku masih bingung dengan tamuku malam ini.

"Seperti yang sudah aku katakan tadi. Apapun yang kita lakukan malam ini harus menjadi rahasia kita berdua. Tidak ada yang boleh tau," papar Tuan Alex sambil meneguk minuman soda yang baru ia ambil di lemari pendingin.

"Saya mengerti, Tuan. Semua identitas tamu saya, bisa dirahasiakan," ucapku menyakinkan.

Tuan Alex kembali duduk, kini ia ada di hadapanku, hanya ada meja yang membatasi kami. Lalu ia pun mulai bercerita.

"Aku adalah seorang pengusaha sukses di kota ini. Apapun bisa kubeli. Uang tak jadi masalah. Bahkan aku bisa memilih wanita manapun untuk bisa bersamaku. Sama seperti sekarang aku membayarmu untuk di sini," terang Tuan Alex mulai bercerita.

"Aku membayarmu hanya ingin mendapatkan teman ngobrol. Aku tak biasa membicarakan masalah pribadi pada orang lain. Tapi aku percaya padamu dan tak akan membocorkan semua ini," imbuhnya lagi.

Aku hanya mendengarkan. Sesekali memakan kue yang memang sudah terhidang di atas piring.

"Lalu apa yang ingin tuan ceritakan? Saya siap mendengarnya." Pekerjaan yang sangat mudah bukan? Dibayar mahal tapi hanya untuk dijadikan teman ngobrol. Sering-sering lah aku mendapatkan tamu seperti tuan Alex.

"Istri pertamaku meninggal saat melahirkan anak perempuan kami. Ia lahir kedunia tapi tak bisa merasakan dekapan hangat seorang ibu. Aku yang seorang pengusaha tak mungkin mengurus bayi seorang diri. Jadi kuputuskan memakai baby sitter untuk merawat putriku satu-satunya."

"Saat itu aku menemukan seorang wanita yang baik untuk menjaga Maura, anakku. Ia begitu telaten merawatnya. Hingga membuatku jatuh cinta pada wanita itu. Kebaikan dan kelembutan yang ia milik membuat aku yakin jika dia bisa menjadi ibu yang baik untuk Maura."

"Singkat cerita aku akhirnya menikahi wanita itu. Sayangnya di usia pernikahan kami yang hampir dua puluh tahun tak kunjung diberikan momongan. Awalnya aku tak ambil pusing, toh sudah ada Maura di antara kami. Tapi ...."

Tiba-tiba saja wajah Tuan Alex berubah pias. Entah apa yang akan di ceritakan selanjutnya?

"Wanita yang kunikahi itu kini telah berubah. Ternyata uang bisa merubahnya menjadi wanita yang sama sekali tak kukenal."

"Maksud, Tuan berubah bagaimana?" tanyaku penasaran.

"Sekarang ia jarang di rumah. Apalagi lima tahun belakangan ini saat Maura sudah menikah. Aku makin tak mengenal siapa istriku yang sebenarnya?" Tuan Alex menghela nafas panjang.

"Mungkin istri tuan sedang dalam masa puber kedua. Biasanya wanita akan mengalami masa-masa itu jika menginjak masa menopause," kataku sok pintar. Aku sendiri tak tau darimana aku mendapatkan kata-kata itu. Itu keluar begitu saja dari mulutku. Entah benar atau tidak, masa bod*h.

"Atau mungkin saja ia merasa kesepian, lalu mencari hiburan bersama teman-temannya diluar sana. Putri tuan juga sudah menikah dan mungkin ia tak punya teman lagi saat berada di rumah," tambahku lagi.

Hening. Tuan Alex sepertinya sedang merangkai kalimat untuk cerita selanjutnya.

"Tuan?" Aku coba memanggilnya. 

"Apa mungkin ia punya pria lain di belakangku?" Kalimat itu muncul dari Tuan Alex.

Aku tak kaget jika istri pengusaha banyak yang mempunyai pria idaman lain. Saking seringnya mereka ditinggal bekerja oleh sang suami, maka para istri biasanya akan mencari pelampiasan. Sama seperti tuan Alex sekarang. Tapi kukira dia bukan lelaki hidung belang pada umumnya. Ia memang sedang butuh tempat untuk bercerita.

Ponselku tiba-tiba berdering. Aku lupa memakai mode senyap pada ponsel. Hal yang biasa kulakukan saat sedang menemani tamu.

"Maaf tuan, saya ijin menerima telepon," pamitku pada tuan Alex.

"Silahkan," sahutnya datar.

*

"Halo, Bulek. Kenapa? Hani sedang bekerja," tanyaku pada Bulek Nur diseberang sana. Tumben sekali ia menelepon. Biasanya tak pernah.

"Nduk, Han. Naina sakit, panasnya tinggi. Bulek takut ...." Ucap Bulek Nur khawatir.

"Bulek tetep tenang. Hani akan ijin pada bos agar bisa pulang cepat," jawabku tak kalah panik.

"Iya, bulek tunggu. Hati-hati di jalan ya, Nduk." 

Panggilan telepon terputus.

"Tuan, maaf. Maaf sekali, saya nggak bisa menerima uang tuan, karena tidak sepenuhnya menemani tuan sampai selesai. Anak saya sakit. Saya harus segera pulang. Maaf," kataku dengan bergetar. 

Tak apa uang dua puluh juta itu hilang. Yang penting aku bisa menemani Naina saat ia sakit, karena semua ini kulakukan untuknya. Kalau ia sampai kenapa-kenapa, percuma saja aku bekerja.

"Pergilah! Bawa uangnya, ini sudah jadi milikmu," sahut Tuan Alex. Syukurlah ia mau mengerti.

"Tuan, ini kartu nama saya. Lain waktu saya akan mengganti malam ini dengan malam yang lain. Saya janji," ucapku padanya.

"Oke."

Aku bergegas mengambil tas dan segera pergi untuk melihat keadaan Naina.

"Tunggu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status