Share

Terpaksa jadi madu
Terpaksa jadi madu
Penulis: Raesi 11

1. hutang ibu

Namaku Nina Safitri, usiaku baru sembilan belas tahun. Aku bekerja sebagai penjaga konter milik tetanggaku. Tempat bekerja ku tidak jauh dari rumah hanya berjarak sekitar dua ratus meter.

Tepat pukul sepuluh malam aku menutup konter dan pulang kerumah.

"Mana uangnya?" Todong ibuku di depan pintu.

"Uang apa?" Tanyaku pura-pura tidak tau.

"Hari ini kamu gajiankan?" Ibu merampas tasku dan mengacak-acak isinya.

"Mana uangnya, Nina?" Ibu melempar tasku kesembarang arah setelah tak menumakan yang ia cari.

"Itu uangku buk, untuk kebutuhan sehari-hari, ibu nggak berhak atas uang itu" Aku melepaskan sepatu lalu meninggalkan ibu yang masih emosi.

Aku benar-benar lelah, uang hasilku bekerja selalu di rampas oleh ibu, aku hanya disisakan satu lembar berwarna merah, padahal gajiku tak seberapa, hanya sembilan ratus ribu perbulan. Maklum konter tempatku bekerja hanya sebuah konter kecil di pinggir jalan.

"Nina"Ibu menarik bahuku dengan kuat hingga terhuyung kebelakang.

"Apa lagi sih buk?" Tanyaku jengah lalu merebahkan diri di atas kasur yang sudah tak empuk lagi.

"Kasih ibu uangnya, Nina. Kalau besok ibu nggak bisa nyicil bayar hutang pak Broto akan mengancam menjebloskan ibu ke penjara" Terang ibu lalu merogoh saku celana yang aku kenakan dan memeriksanya satu-satu.

"Loh, itu kan hutang suami ibu, harusnya dia dong yang harus membayarnya, bukan aku."

Aku tidak habis pikir kenapa ibu mau-maunya menikah dengan om Sani yang pengangguran itu. Sudah nggak kasih nafkah kerjaannya hanya hura-hura, mabuk-mabukan dan main judi. Andai bapak masih hidup, nasipku tidak akan seperti ini.

"Dia itu bapakmu juga, Nina. Jadi sebagai anak kamu harus membantu orang tua, kamu mau jadi anak durhaka hah?". Ibu mulai terlihat frustasi karena tidak menemukan sepeser uangpun dalam saku celanaku.

"Dia bukan bapakku, buk. Dia itu hanya benalu di rumah ini". Teriakku, biar.. biarlah pria pengangguran itu dengar agar dia tau diri dan nggak semena-mena. Cukup selama ini aku diam dan mengalah.

Brak!.

"Siapa yang kau sebut benalu hah?". Om Sani memukul pintu kamarku dengan keras, wajahnya terlihat sangat emosi.

"Oh, jadi om ngerasa? Baguslah kalau begitu, jadi om bisa tau diri dan nggak jadi beban dalam rumah ini". Aku terduduk di atas kasur dengan tangan menyilang di depan dada.

"Kau..". Tangannya yang hitam dan kurus itu mengacung kearahku.

"Anak kurangajar".

Plak!.

Satu tamparan keras mendarat di pipiku, aku terperangah, ibu? Dia manamparku demi membela pria itu? Oh kenapa kau masih saja heran Nina? Bukankah selama ini memang begitu?

"Tampar! Tampar lagi buk, biar anakmu ini mati sekalian". Ucapku lantang menepuk pipi bekas tamparannya.

Ibu terdiam,pandangannya terlihat nanar, apa ibuk merasa bersalah? Nggak, pasti bukan itu karena ibu akan melakukannya lagi saat aku menjelekkan pria yang menjadi suaminya sejak dua tahun lalu.

"Kalau kamu nggak mau memberikan uang itu, maka.."

Bret.

Ibu menarik kalung yang melingkar di leherku dengan kasar. Bagaimana ibu bisa melihatnya? Bukankah kalung itu sudah ku sembunyikan di balik baju?.

"Ibuk, kembaliin". Tanganku mencoba menggapai kalungku kembali tapi dengan cepat ibu dan pria itu keluar dari kamarku dan menutup pintu dengan kencang.

Pupus sudah, kalung yang baru tadi aku beli dengan uang gajiku kini sudah berpindah tangan. Aku menangis, andai bapak disini.. oh bapak, Nina kangen.

***

"Nina, cepat pulang". Suara ibu dari seberang telfon sana.

"Nggak bisa buk, Ninakan lagi kerja". Pasti ada sesuatu yang ibu inginkan dariku.

"Cepat pulang atau ibumu bisa di penjara". Kini suara om Sani yang menimpali.

Ya Tuhan, apalagi sih yang di perbuat oleh ibu dan om Sani? Kenapa selalu aku yang harus menyelesaikan kesalahan yang mereka buat.

Dengan terpaksa aku minta ijin pulang lebih cepat, untung bosku memberi ijin jadi aku bisa segera pulang.

Saat sampai di depan rumah, rumah dalam keadaan berantakan, hampir semua perabot rumah berserakan di tanah.

"Ini.. sebenarnya ada apa sih buk?". Tanyaku heran.

Ibuk menangis terisak sementara om Sani berdiri diam seakan tidak peduli, dua orang dengan tubuh kekar menatapku nyalang dan satu lagi pria tambun di balik orang kekar itu menatapku dengan penuh napsu, pak Broto. Lintah darat di kampung ini.

"Ibukmu nggak bisa bayar hutang, jadi kamu harus menikah denganku sebagai gantinya". Ucap pak Broto menyeringai.

Aku bergidik ngeri, aku menikah dengannya? Nggak mau, dia itu pantasnya menjadi kakekku, lagian aku nggak mau di jadikan istri ke empatnya.

"Bukannya ibuk tiap bulan sudah mencicilnya?". Tanyaku bingung.

"Ibukmu sudah menunggak selama tiga bulan dan ini sudah jatuh tempo, jadi mau tidak mau kau harus jadi istri keempatku jika tidak ingin ibukmu masuk penjara atas kasus penipuan". Ucap pak Broto.

Lalu kemana uang gajiku selama ini? Bukankah ibuk selalu memintanya untuk mencicil hutang? Jangan-jangan..

"Jadi selama ini uang nya di pakai judi om Sani, buk? Jawab". Aku berteriak marah.

"I-iya, maafkan ibuk, Nina".

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?.

"Om keterlaluan! Harusnya om yang membayar hutang om sendiri bukannya malah ngelimpahin semuanya pada ibuk". Aku benar-benar merasa di bohongi.

"Pokoknya aku nggak mau menikah sama tua bangka itu". Sambungku lalu segera pergi kekamar dan menguncinya dari dalam.

"Kau harus menikah dengan pak Broto, Nina. Jika tidak, ibumu bisa di penjara!". Teriak om Sani menggedor pintu kamarku.

"Om saja yang menikah dengan orang itu, aku tidak sudi!".

Aku menangis, marah, kesal jengkel menjadi satu. Kenapa hidupku harus begini? Andai ibu mau mendengar omonganku agar tidak menikah dengan om Sani semua tidak akan terjadi seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status