Share

2. antara tiga pilihan

Dua hari lagi akan diselenggarakan pernikahanku dengan pak Broto. Aku nggak mau, tapi ibu selalu memaksa. Sebenarnya aku lebih memilih membayar hutang itu dari pada harus menikah dengan pak Broto dan menjadi istri ke empat. Lima puluh juta, uang yang harus aku bayar agar terhindar dari pernikahan ini.

"Aku nggak punya uang sebanyak itu, aku harus bagaimna?". Gumamku lirih. Aku harus mencari cara agar bisa kabur dari pernikahan ini.

"Buk, sebaiknya kita jual saja rumah ini untuk membayar hutang". Ucapku memberi solusi.

"Kau sudah gila hah? Kalau kita jual rumah ini, kita mau tinggal dimana? Mau jadi gelandangan?". Teriak om Sani tidak setuju.

"Aku sedang tidak berbicara sama om ya, lagian ini rumah peninggalan almarhum bapak jadi om nggak berhak atas rumah ini". Aku melirik ibu yang masih diam termenung.

"Ayolah buk, aku nggak mau menikah sama pak Broto, dia pantasnya jadi kakekku, buk". Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah ini tapi aku sudah tidak punya pegangan uang sama sekali, benda berharga terakhir milikku sudah kujual untuk hidup sehari-hari. Benda untuk berkomunikasi itu hanya laku lima ratus ribu dan sudah habis.

"Kalau kau nggak mau menikah sama pak Broto, bagaimana jika kamu jual keperwananmu pada orang kaya, mereka pasti akan membayarmu sangat mahal, kau kan cantik dan bodimu seksi pasti banyak yang akan membelimu". Ucap om Sani menyeringai. Aku melongo, itu sih maumu om, jangankan orang kaya dirimu juga tergoda dengan tubuhku, gerutuku dalam hati.

Dua tahun lalu saat om Sani baru menikah dengan ibu selama satu minggu, ia berusaha memperkosaku saat ibu sedang kepasar, aku berontak dan menendang burungnya dengan keras, ia mengaduh lalu mengurungkan aksi bejatnya.

Aku adukan semua perbuatan om Sani padaku tapi ibu tak mempercayainya. Malah aku yang di salahkan karena om Sani telah memutar balikkan fakta dengan berkata kalau aku telah menggodanya.

"Buk, aku ini anak ibuk, anak kandung ibuk, tolong jangan dengar kata-kata om Sani, aku nggak mau menikah dengan pak Broto ataupun menjual diri, jangan paksa aku buk". Aku mengeluh, mengharap secuil belas kasihan dari ibu.

"Yang di katakan bapakmu benar, lebih baik kamu menjual diri, bukankah kamu tidak mau jadi istri ke empatnya pak Broto?". Ibu menatapku nanar.

"Aku nggak mau buk". Jawabku tegas.

"Lalu ibu harus bagaimana, Nina? Kamu ingin melihat ibuk masuk penjara?". Ibu berteriak menatapku tajam.

Tok! Tok! Tok!.

Suara pintu di ketuk dari luar.

"Permisi".

"Biar ibuk yang membukanya". Ibu beranjak dari ruang makan untuk membuka pintu.

Terdengar suara pintu terbuka, ibu mempersilahkan tamu itu masuk.

"Mau kemana?". Tanya om Sani saat aku melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

"BAB, kenapa? Mau ikut?". Jawabku datar. Om Sani menggeleng lalu munyusul ibu ke ruang tamu.

Aku merebahkan tubuhku ke kasur, apakah ini memang takdir yang harus aku jalani? Menikah dengan orang tua yang sudah bau tanah dan menjadi istri ke empat?

"Nina, sini nak". Suara ibu memanggilku. Tumben ibu memanggilku dengan embel 'nak'. Selama ini ibu tak pernah memanggilku dengan sebutan itu.

"Iya, buk". Aku beranjak dari tempat tidurku malas.

"Kenapa buk?". Tanyaku sambil melirik dua orang tamu, satu wanita paruh baya dan satu seorang pria tampan.

"Sini duduk dulu". Ibu menepuk kursi di sebelahnya, dengan terpaksa aku mendaratkan bokongku ke kursi yang keseluruhan terbuat dari kayu itu.

"Anaknya cantik ya, jeng". Wanita paruh baya itu melirikku sambil tersenyum.

Ada apa ini? Jangan-jangan mereka datang mau melamarku? Ah, akhirnya aku bisa terlepas dari rencana pernikahan gila ini. Iseng, aku melirik pria di samping wanita paruh baya itu, tampan dan berwibawa. Meski aku belum mengenalnya dengan senang hati aku akan menerima lamarannya jika itu memang niat mereka,dari pada harus jadi istri ke empat ya kan?.

"Jadi bagaimna jeng, kalian mau menerima lamaran kami?". Tuh kan, apa aku bilang.

Pria tampan itu terbatuk, dan menutup mulutnya dengan tangan kiri. Sebuah cincin menghiasi jari manis pria itu.

"Buk". Aku menyenggol tangan ibu agar melihat apa yang aku lihat.

"Hus, kamu diam saja". Bisik ibu.

"Kalian beneran mau melamar saya?". Tanyaku memberanikan diri.

"Iya".

Aku melirik ke arah pria itu.

"Mas sudah punya istri?". tanyaku sedikit ragu, meski sebenarnya aku sudah tau jawabannya.

pria di hadapanku terdiam cukup lama hingga akhirnya mengangguk.

"iya, saya sudah punya istri".

aku menghela napas panjang, sungguh aku tak ingin menyakiti hati wanita lain.

"tolonglah, kamu terima lamaran ini, menantuku itu mandul padahal aku ingin sekali menimang seorang cucu". ucap wanita paruh baya yang aku yakini sebagai ibu pria di hadapanku.

"baiklah, tapi dengan satu syarat, aku mau menerima lamaran ini dan jadi istri kedua jika istri kamu menyetujui dan ikhlas menerimaku sebagai madunya". terangku lalu meninggalkan mereka di ruang tamu.

"Batas waktunya sampai besok, dan bawa wanita itu agar aku bisa mendengar langsung jawaban darinya". Teriakku dari kamar.

Apakah keputusanku sudah tepat?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status