Share

3. pilihan sulit

"kau harus menikah dengannya, Nina". ibu berteriak memaksaku untuk menikah dengan pria beristri.

"aku nggak mau, buk". aku menolak dengan tegas.

"kau punya tiga pilihan, Nina. menjadi istri kedua atau menjadi istri ke empat dan menjual diri". ibu mulai mengancamku.

"kenapa harus Nina, buk? yang punya hutang itu kalian". Aku terisak. Aku tadi malam memang memberikan harapan pada mereka, tapi setelah bertemu langsung dengan istri pria itu, hatiku jadi tak tega.

Dia wanita berhijab, wajahnya sangat teduh, aku tak ingin merusak rumah tangganya dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka.

"Kau harus menentukan pilihanmu, Nina. Atau besok kamu harus mau menikah dengan pak Broto". Ucap ibu lalu meninggalkan ku sendirian di kamar.

Lagi-lagi aku harus di hadapkan dengan pilihan yang sulit. Memangnya apa salahku hingga harus menjalani kehidupan yang menyedihkan ini.

Apa aku biarkan saja ibuk di jebloskan ke penjara? Tapi aku nggak mau di cap sebagai anak durhaka, bagaimanapun surgaku masih berada di telapak kakinya, lalu aku harus bagaimana?

***

Ijab telah terucap, pernikhan suci telah terlaksana. Aku menitikan air mata saat tau jika pernikahan ini tak khayal dengan ibu menjual diriku agar terbebas dari hutang. Uang yang di terima ibu sangat banyak sekitar seratus lima puluh juta lebih. Entah untuk apa uang sebanyak itu setelah di pakai untuk membayar hutang.

Surat perjanjian antara ibu, aku dan mertuaku kini sudah tertandatangani di atas materai. Seperti surat jual beli, ibu tak punya hak lagi atas diriku sebagai ganti atas uang yang di terimanya dan aku harus jadi menantu agar memberikan cucu sebagai penerus di keluarganya.

"Kamu tidur duluan, maaf, aku tidak bisa menyentuhmu malam ini". Ucap pria yang kini telah sah menjadi suamiku, Dion.

Dulu, aku membayangkan malam pertama yang romantis, memadu kasih dengan orang yang aku cintai. Nyatanya? Semua itu hanya hayalan belaka.

"Aku tau, lebih baik kamu tidur di kamar mbak Kanaya". Nama wanita itu Kanaya, istri pertama dari mas Dion. Sebenarnya aku bingung harus memanggil suamiku itu dengan sebutan mas atau om karena usia kami terpaut cukup jaun sekitar sebelas tahun.

"Kamu gila? Ini malam pernikahan kita, saya nggak mungkin tidur di kamar istriku, mama ku bisa marah besar dan menyuruhku menceraikannya, saya nggak mau". Mas Dion menggeram kesal. Lalu, aku bukan istrimu gitu?

"Ya sudah, biar aku tidur di sofa, aku juga nggak mau memberikan kegadisanku pada orang asing". Ucapku datar.

Aku mengambil satu bantal dan selimut lalu membawanya ke sofa.

Rasanya berada dikamar ini aku bisa mati membeku, dingin. Apa karena aku tidak terbiasa dengan ruangan ber ac?

"Lebih baik kamu yang tidur di kasur, badanmu bisa pegal semua karena tidur di sofa". Ucapnya dingin.

"Baiklah, jika itu maumu".

Akhirnya aku pindah ke atas kasur.

Aku mencoba memejamkan mata tapi aku tak bisa, ini terlalu dingin. Gigiku gemertuk ke dinginan.

"Di dalam lemari masih ada satu selimut, kamu bisa memakainya". Suara bariton itu mengagetkanku. Kenapa tidak bilang dari tadi sih? Aku menggerutu, kenapa aku tadi lupa mengambil selimut yang telah aku bawa ke sofa sih?

Aku menyelimuti tubuhku hingga ke ujung kepala.

"Kau nggak kepanasan?". Suara bariton itu lagi-lagi mengintrupsi.

"Saya nggak tahan dingin, jadi diam saja, saya mau tidur". Ucapku datar.

Aku tak yakin akan akur dengan mbak Kanaya, bagaimanapun juga aku ini hanyalah seorang pengganggu rumah tangganya. Meskipun tak ada niat dalam hatiku merusak kebahagiaannya.

Malam terasa dingin. Tak ada kehangatan di malam pertama ini. Aku mencoba mengusir semua pikiran buruk di pikiranku tentang keluarga ini.

"Apa mertuaku itu orang yang baik?".

"Apa mbak Kanaya akan menerimaku sebagai madunya?".

"Apa pria yang sekarang telah menjadi suamiku ini akan berperilaku adil?".

Argh, aku benci pikiranku. Jika kepikiran terus, aku tidak akan bisa tidur semalaman.

Sekarang jam berapa ya? Aku melirik jam di atas nakas, pukul sebelas malam. Hening. Tak ada suara apapun yang aku dengar, hanya deru napasku sendiri menemani keheningan malam.

"Dia sudah tidur?".

Ku beranikan diri ini untuk melirik ke arah pria itu. Tak ada pergerakan darinya, pulas sekali. Mungkin dia kelelahan akibat acara resepsi siang tadi.

Ku tatap lekat pria yang sekarang berstatus suamiku itu. Pria asing yang belum aku ketahui sifat dan karakternya kini berada satu kamar denganku.

Baru kali ini aku berada satu ruangan bersama lawan jenis, hanya berdua saja. Rasanya aneh, nggak nyaman dan ada rasa yang mengganjal di hatiku.

"Apa aku bisa mencintainya?".

Pria yang sudah beristri datang melamarku. Menginginkan aku jadi ibu dari anaknya. Aku tau dia terpaksa. Ada keraguan di matanya saat ijab terucap.

"Sebenarnya, pria seperti apa yang aku nikahi ini?". Batinku bertanya-tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status