"I—istri saya hamil, Dok?" tanya Alex gugup, suaranya bergetar. Matanya menatap layar monitor yang baru saja menampilkan dua kantung kehamilan di dalam rahim Angelica.Dokter Andreas mengangguk sambil tersenyum kecil. "Benar, Tuan. Usianya sudah sekitar enam minggu. Dan satu hal lagi—anak kembar."Alex menelan ludah. Pandangannya berpindah ke wajah Angelica yang masih terlihat lelah di ranjang pemeriksaan. "Tapi... apakah calon anak kami sehat, Dok? Karena tadi... istri saya sempat jatuh cukup keras dari tangga."Ekspresi dokter Andreas menjadi lebih serius, tapi tetap tenang. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, Tuan. Tapi berdasarkan hasil USG yang barusan dilakukan, kondisi kedua janin sangat baik. Tidak ada tanda-tanda gangguan, detak jantung keduanya juga normal. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini."Alex mengembuskan napas lega, seolah beban besar di dadanya perlahan menguap. Ia mengangguk beberapa kali, namun matanya masih berkaca-kaca."Suster, tolong print has
Tubuhnya jatuh terhuyung dari anak tangga bagian atas dan menggelinding ke bawah, menghantam beberapa undakan dengan keras."Angeeeeel! Sayang!" Alex menjerit kaget begitu mendengar suara keras dan melihat tubuh istrinya jatuh dari atas.Begitupun dengan yang lainnya seketika menjadi tegang. Angelica baru saja akan istirahat bersama anak dan suaminya setelah melakukan perjalanan jauh.Olivia ikut menjerit panik, tapi Alex sudah sigap menyerahkan anak itu ke pelukan suster Lila yang muncul dari ruang sebelah.“Mamaaaaaaaa.”Suster Lila langsung mengajaknya naik ke lantai atas. Jangan sampai Olivia melihat kondisi sang Mama yang berlumuran darah di dahinya.Alex langsung berlari menuruni tangga, melewati dua-tiga undakan sekaligus. Ia berlutut di sisi Angelica yang tergeletak tak bergerak di lantai bawah. Darah terlihat mengalir dari pelipis kanan istrinya. Nafasnya tercekat. Tangannya langsung memeriksa denyut nadi di leher Angelica."Sayaaaang, banguuuuun," Alex panik, tapi mencoba te
“Loh, kalian sudah datang? Kenapa cepat sekali?” tanya Nyonya Maximus begitu melihat anak, menantu, dan cucu kesayangannya masuk dari pintu utama.Wajah perempuan paruh baya itu tampak sedikit pucat. Ia duduk di kursi roda, didampingi suaminya yang berdiri di samping dengan ekspresi penuh selidik. Begitu mendengar pertanyaan itu, Angelica menoleh pelan ke arah mertuanya dan mencoba tersenyum, meskipun jelas matanya masih sembab.“Iya, Ma, Pa,” jawab Angelica pelan. “Papanya Olivia harus kerja, dan kami juga nggak melakukan apa-apa lagi di sana. Jadi, kami pikir lebih baik pulang dan temani Mama.”Suaranya terdengar lemah. Bekas tangisannya masih tampak jelas di wajahnya. Alex menepuk punggungnya pelan, memberi isyarat agar istrinya tidak terlalu memaksakan diri.Tuan Maximus mengamati Angelica dengan seksama. “Bagaimana keadaan Papamu, Nak?” tanyanya kemudian, suaranya berat.Angelica menunduk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Alex pun hanya menghela napas panjang, seolah sedan
“Sayang, bagaimana kalau aku nggak usah kerja? Aku kan sudah dapat banyak uang darimu, bukankah sebaiknya aku hanya menjadi pemuas hasrat mu, sayang?” tanya Wulan pelan, sesaat setelah mereka selesai melakukan permainan panas di atas ranjang.Nafasnya masih belum sepenuhnya teratur, tubuhnya masih bersandar di dada Markus yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang, menghisap rokok dengan ekspresi lelah tapi puas. Sementara tubuhnya sudah sepenuhnya tenggelam dalam kenyamanan kasur hotel yang empuk, suara AC terus berhembus dari atas, tapi hawa panas tetap terasa karena aktivitas mereka sebelumnya benar-benar menguras tenaga.Markus hanya diam sejenak, matanya menatap langit-langit sambil menghembuskan asap rokok pelan. Ia tahu, pertanyaan seperti itu cepat atau lambat pasti akan keluar dari mulut Wulan. Sudah bisa ditebak. Perempuan yang merasa sudah diberi segalanya, biasanya akan ingin dimanjakan sepenuhnya.“Aku justru nggak suka sama perempuan manja,” jawab Markus. “Meskipun ak
Markus berhenti sejenak di depan gedung klub malam yang baru pertama kali ia kunjungi. Dari luar, tempat itu tampak seperti klub biasa—lampu neon menyala terang, dentuman musik terdengar dari dalam, dan antrian tidak terlalu panjang. Tapi bagi Markus, malam ini bukan malam biasa.Ia sengaja memilih klub ini karena lokasinya cukup jauh dari tempat-tempat yang biasa ia datangi. Ia tahu betul, makin sering ia muncul di tempat yang sama, makin besar pula risiko orang-orang mencurigainya. Belakangan, Markus jadi lebih berhati-hati. Ia menyadari bahwa rumor tentang penyakitnya mulai tersebar pelan-pelan. Sudah dua kali ia ditolak masuk ke klub favoritnya. Bahkan dua orang yang dulu biasa duduk bersamanya di bar, kini memilih menjauh.Itu sebabnya, malam ini ia tidak ingin ambil risiko. Ia ingin tempat baru. Orang-orang baru. Dan yang terpenting: tak ada yang mengenalinya.Mobil yang ia parkir di pinggir jalan tidak mencolok, cukup mewah tapi bukan yang biasa ia gunakan. Ia turun dengan tena
“Apa kau ini sudah gila, Markus? Kau sengaja ingin menyebarkan virus HIV/AIDS yang kau derita pada orang lain? Ini benar-benar jahat!” bentak Sophia dengan suara yang sudah naik satu oktaf.Wajahnya memerah. Tangannya gemetar karena emosi. Dia berdiri di tengah ruang tamu sambil menunjuk pria yang baru saja masuk ke rumah tanpa rasa bersalah sedikit pun. Markus hanya berdiri di depan pintu, tersenyum santai, seolah apa yang ia dengar barusan adalah lelucon biasa.Lalu pria itu mendekat ke arah wanita yang menolak untuk dia nikahi.“Kau sudah menularkan virus ini padaku. Sekarang anak kita juga. Lalu apa yang bisa bikin kamu tidak pernah kapok? Pengasuh anak kita juga ikut tertular, kau tak lupa itu kan? Sekarang lagi kau rencanakan untuk menulari orang lain juga? Kau akal-akalin seperti itu?” lanjut Sophia, suaranya bergetar karena marah dan kecewa sekaligus.Markus menarik napas pelan, kemudian berjalan ke sofa dan duduk tanpa rasa bersalah telah membuat wanita ini marah. Dia menyand