Velda Lucienne adalah gadis kebanggaan Leonard. Seorang wanita ahli strategi, kejam, tapi mampu bergerak tenang. Kakek Dante melihatnya sebagai pasangan ideal untuk cucunya. Dua darah dingin yang akan membuat nama besar Daggers pact makin disanjung dan ditakuti. Tunangan Dante. Velda menerima status itu dengan bangga karena ia pun telah lama menaruh rasa pada pria tampan itu. Walaupun Dante tak pernah melihatnya selain sebagai senjata yang berguna. Dante memang tetap patuh ... selama kakeknya hidup.Namun, hari kematian pria tua itu jadi akhir segalanya.Tanpa basa-basi, tanpa pertemuan empat mata, Dante dengan kejam mencoret nama Velda dari daftar pewaris, menarik seluruh sumber dayanya, dan mengusirnya dari organisasi.“Dia bukan siapa-siapa,” ucap Dante dengan kejam kala itu. Baginya Velda hanyalah noda di kehidupannya. Sejak awal, posisi penting di hatinya telah jatuh pada gadis kecil yang ia jaga dulu ... maupun sekarang. Binar.Mendengar cerita itu, Binar hanya bergeming.
Binar terbangun perlahan, mendapati dirinya masih di sofa, dengan selimut yang membungkus tubuhnya rapat. Matthias tak terlihat di manapun, tapi aroma kopi samar-samar tercium dari dapur.Tak lama, atensi Binar teralihkan pada suara langkah berat terdengar dari pintu utama. Binar tak dapat menyembunyikan senyum haru saat melihat sosok itu ada di sana. Menatapnya dengan tatapan yang jarang sekali ia dapatkan. Dante berdiri di sana.Wajah tampan Dante masih memperlihatkan bekas luka samar dan kantung mata yang gelap. Namun, kekurangan itu sama sekali tak terlihat dibandingkan wajah dingin menawannya. Ada rasa lega yang Dante rasakan saat melihat Binar. Kemarahan yang ia tahan semalam, runtuh perlahan, walaupun rasa posesif tak pernah hilang. Binar bangkit segera dan berjalan cepat menghampiri Dante. “Kau terluka lagi?” tanya Binar terdengar cemas sambil menyentuh pipi Dante.Dante mengabaikan pertanyaannya. Ia hanya memeluk Binar dengan satu tangannya yang tak terluka. Tak begitu e
Ruang rawat Dante terasa sunyi meski diisi oleh tiga orang. Namun semua sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.Tubuh Dante masih belum pulih sepenuhnya, bersandar di ranjang tanpa mengenakan atasan, memperlihatkan luka-lukanya yang dibalut perban.Di tangan kiri Dante, ada sebuah belati kecil kesayangannya, mengkilap ketika terkena cahaya lampu.Binar melirik Matthias dan Dante beberapa kali sembari fokus mengoleskan salep di beberapa luka gores di tangan Dante.Kecanggungan merayapi ketiganya. Dan Binar memilih diam, memperlambat gerakannya.“Bicara, Matthias,” ucap Dante dingin. Namun mengandung tekanan. “Aku tahu kau datang bukan hanya untuk menatap istriku.”Matthias menatap Dante tenang meskipun mendengar nada sarkastis. Mata hitamnya berkilat. “Kau tetap setajam biasa.”“Dan kau tetap terlalu diam untuk orang yang menyimpan terlalu banyak,” sahut Dante menyipitkan mata.Binar menunduk, pura-pura sibuk dengan luka Dante, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia bisa merasakan
Binar menggenggam tangan Dante dengan erat. Ia memilih duduk dan menyandarkan kepalanya di ranjang, menolak saran Matthias yang menyuruhnya istirahat. "Kau tau, Dante. Awalnya ... aku membencimu." Binar menarik napas panjang seakan memikul beban berat di dadanya. "Kau bertindak sesukamu ... mengurungku ... menganggap aku sebagai barang yang harus kau miliki, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku."Tangan Binar memainkan jemari Dante dengan hati-hati. "Tapi kau juga dengan kejam menjeratku. Sampai aku sangat bergantung padamu sekarang."Binar mengatakan semua itu dengan ekspresi kosong di matanya. Ia tak tau bagaimana hatinya. Ia benci, tapi ... ia juga peduli.'Apa yang membuatku jatuh cinta padamu?'Pertanyaan itu masih mengambang tanpa jawaban di hati Binar."Maaf."Binar tertegun mendengar suara lirih itu. Begitu mendongak, matanya bertubrukan dengan mata Dante yang nampak sayu."Kau sadar."Binar sudah berdiri hendak memanggil tenaga medis, tapi Dante menggenggam tangannya erat,
Darah terus menetes dari tubuh Dante saat Binar membopongnya masuk bersama Matthias dan dua pengawal lain. Binar menolak melepaskan Dante, mengabaikan seluruh ucapan Matthias. Napas Dante terdengar berat dan pendek-pendek, semakin membuat tubuh Binar bergetar. Ia melihat luka menganga di bahu dan dada kanan pria itu terlihat mengerikan. "Tenanglah, Binar! Dante akan baik-baik saja," ucap Matthias berusaha menenangkan Binar yang nampak kesetanan. “RUANG MEDIS!! SEKARANG!!” teriak Binar panik. Telinganya seolah tuli akan segalanya. Yang ia pikirkan hanya satu ... keselamatan Dante. Baju Binar telah basah oleh darah, mengejar tubuh Dante di atas brankar yang hendak dibawa ke ruang emergency yang terletak di basement Mansion. Saat pengawal membuka pintu ruang medis, Binar ikut berlari masuk, menekan luka Dante dengan tangannya sendiri.“Jangan mati ... kumohon ... kumohon ....” Binar gemetar melihat wajah pucat Dante yang tak sadarkan diri. Penglihatan Binar mengabur dan tubuh Dant
Suara hantaman pedang bak melodi bercampur dengan deru angin sore di halaman belakang yang selama beberapa waktu terakhir telah menjadi tempat latihan Binar.Kini, Binar mulai mahir menggunakan senjata berkat ketekunan dan kegigihannya. Dengan keringat yang membanjiri pelipisnya, binar bergerak gesit menghindar dan menyerang Sera yang menjadi mentornya."Aku harus menjadi kuat."Kata-kata itu terus Binar rapalkan sepanjang waktu sebagai pemecut semangatnya.Dari kejauhan, Binar bisa merasakan tatapan menusuk yang mengintainya sejak tadi. Namun, ia berusaha fokus denan latihannya dan berusaha untuk tak menoleh ke belakang.Dante duduk di serambi, menatap BInar dengan dingin. Menunggu dengan sabar walau Binar terus saja mengabaikan keberadaanya.Hingga beberapa waktu berlalu, Binar akhirnya mendekat sambil mengusap peluhnya.“Kau selalu terlihat paling hidup saat mengincar sesuatu," ejek Dante mengandung kekesalan.Binar hanya menoleh sebentar, mengeluarkan senyum polosnya. “Kau ingin b
Matahari bahan belum menampakkan diri, tapi Binar telah berdiri dengan nafas terengah di halaman belakang mengenakan setelan sederhana dan rambut yang diikat ekor kuda.Tak ada lagi sorot mata ketakutan, yang ada hanyalah mata tajam dan serius memperhatikan instruksi dari asistennya-Sera."Fokus! Jangan hanya mengandalkan insting. Kau juga harus menyerang menggunakan logika."Sera berdiri di sampingnya memberi arahan, sesekali memperbaiki postur tubuh Binar yang salah.Binar mengangguk, menghela nafas panjang sebelum kembali bergerak sesuai ajaran Sera.Meski beberapa kali terjatuh dan tergores, ia pantang menyerah. Hidup di dunia Dante, ia harus bisa melindungi dirinya sendiri.Binar samar-samar teringat Ayahnya yang mengajarinya gerakan sederhana.Seketika semangatnya semakin berkobar."Aku harus bisa melindungi diriku sendiri," tekad Binar dalam hati.Dari balkon lantai dua, Dante berdiiri menyilangkan tangan. Mata tajamnya mengikuti setiap gerakan Binar dalam diam.Memang ia menye
Binar terbangun di tengah malam dan menyadari gelasnya kosong, mau tak mau ia harus turun ke dapur untuk mengambil air. Malam itu, mansion rasanya terlalu hening. Biasanya, para pengawal bersliweran di koridor, tapi Binar tak menjumpai satupun dari mereka.Meski merasa janggal, Binar tetap meneruskan langkahnya ke arah dapur, kali ini lebih waspada.Tangannya mencengkeram gelas kosong, melangkah hati-hati saat menuruni anak tangga. Bisa saja Binar kembali ke kamar, tapi tenggorokannya benar-benar kering."Di mana mereka semua?" batinnya bertanya-tanya.Bahkan Sera yang biasa berjaga di luar kamar pun tak nampak batang hidungnya. Namun, Binar berusaha menenangkan diri. Mungkin saja sistem keamanan sedang diuji?Lampu otomatis menyala ketika Binar menginjakkan kakinya di dapur. Ia mengisi gelas dan minum dengan tenang. Begitu melihat pisau buah di meja, ia meraihnya perlahan. Entah mengapa, nalurinya berbisik untuk bersiap.Dan benar saja.Terdengar langkah kaki yan mendekat perlahan d
Pagi ini, Binar mengenakan kemeja longgar dan celana hitam panjang duduk tegak di ruang kerja Dante. Dokumen berserak penuh diatas meja, layar monitor yang menyala, dan beberapa foto berkas hadir di depannya. Di hadapannya, Sera berdiri tegap bak mentor menunjuk pada layar yang menampilkan struktur organisasi Daggers Pact.“Daggers Pact adalah organisasi bawah tanah paling ditakuti di benua barat yang bersekutu secara terbuka dengan pemerintah Orsaria. Mereka bukan sekadar mafia, tapi bagian dari sistem pemerintahan bayangan,” jelas Sera sambil menggeser layar ke bagian sejarah.“Dibentuk oleh kakek buyut Tuan Dante, Viero De Vaux. Filosofi mereka sederhana ... yang berguna akan dilindungi, yang mengkhianat akan dilenyapkan.”Binar menahan napas saat nama itu muncul. Viero. Nama yang kini dijadikan marga Keluarga Dante sejak turun temurun ternyata adalah nama pendiri Daggers pact. Lalu, ada Leonard De Viero, nama yang juga tercatat dalam catatan lama yang diam-diam ia baca semalam