BRAK! Suara pintu kamar Erika terhempas begitu keras, membuat Erika dan Alex tersentak kaget. Selimut terjatuh, tubuh Erika yang masih setengah telanjang terlonjak, sementara Alex buru-buru menarik celana dalamnya yang tergeletak di lantai. Namun, belum sempat keduanya bereaksi lebih jauh, sosok Diajeng sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan dan mata membara. "A—Ajeng..." suara Erika tercekat. Terlambat. Diajeng sudah menerjang masuk, menarik rambut Erika tanpa ampun, membuat gadis itu menjerit kesakitan. "Dasar pengkhianat! Muka tembok! Kamu pikir aku ini apa?! Boneka bodoh yang bisa kalian permainkan?!" Plak! Plak! Plak! Tiga tamparan mendarat tepat di wajah Erika, membuat pipinya memerah dan tubuhnya terhuyung. Erika berusaha menangkis, tapi Diajeng seperti kehilangan kendali. Bahkan Alex sampai terpaku pada apa yang tengah dilakukan Diajeng "Kau temanku! Sahabat yang kupercaya! Kenapa, Erika?! KENAPA?!" "Berhenti!" Alex berteriak sambil henda
Diajeng terduduk kaku. Suara pintu yang menutup tadi masih terngiang jelas di telinganya, seperti palu yang memukul pelan-pelan bagian terdalam dari hatinya. Nafasnya sesak. Matanya mulai basah lagi, tapi kali ini ia buru-buru menyekanya.Kalau dia terus begini… dia bisa gila.Tatapannya jatuh pada plastik berisi roti dan buah yang ditinggalkan Banyu di meja. Ia tahu pria itu sudah berusaha keras untuk tetap sabar, untuk tetap berada di sisinya. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa dia kontrol dengan logika."Aku... nggak tahu aku harus gimana lagi," gumamnya pada diri sendiri.Tangannya terulur, membuka plastik dan mengambil sendok kecil. Ia makan sup itu cepat, meskipun panasnya menyengat lidah. Lidahnya tak merasakan rasa apapun—karena hatinya lebih terbakar dari sup itu."Aku butuh keluar dari sini," pikirnya. "Aku butuh… udara. Butuh… ruang untuk berpikir."Setelah menyelesaikan sup dan meneguk air mineral, Diajeng bergerak cepat. Ia turun dari tempat tidur dan menuju lemari kec
Ruangan rumah sakit itu sunyi. Aroma antiseptik menyelimuti udara, sementara cahaya redup sore menembus tirai tipis, membentuk siluet samar di lantai putih.Diajeng duduk bersandar di ranjangnya, menatap kosong ke jendela. Tubuhnya tampak pulih, tapi tidak dengan jiwanya. Matanya sembab, pipinya pucat, dan sorot hidup dalam dirinya seolah ikut dikubur bersama kepergian bayinya.Banyu berdiri di sudut ruangan. Sudah satu jam lebih ia di sana, memegang termos berisi sup hangat yang ia bawa dari rumah, tapi Diajeng belum juga menyentuhnya. Ia tak berkata apa pun sejak pagi. Tidak sepatah kata pun.“Diajeng…” suara Banyu nyaris seperti bisikan.Diajeng tak menjawab.“Aku tahu kamu marah. Tapi… tolong, makan sedikit saja.”Perlahan, Diajeng menoleh, menatap pria itu dengan mata yang sudah kehilangan cahayanya. “Kalau aku makan, apa bayiku bisa kembali?”Banyu terdiam.Tubuhnya gemetar, tapi ia tetap berdiri. Ingin memeluk. Ingin menenangkan. Tapi Diajeng menunduk lagi, dan detik itu juga B
Setelah dokter berlalu, Banyu masih berdiri di tempat yang sama. Diam. Kaku. Seolah tubuhnya kehilangan kendali. Dadanya sesak—terlalu sesak. Lalu perlahan, kedua lututnya melemas. Ia menjatuhkan tubuh ke bangku tunggu yang dingin, memegangi wajahnya dengan kedua tangan.Hening, lalu—Air mata itu jatuh.Panas. Deras.Membasahi sela jemari yang mengepal.Tangis Banyu pecah dalam sunyi lorong rumah sakit. Lelaki itu menunduk dalam-dalam, membiarkan perih membanjiri. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, mencoba meredam suara, namun tubuhnya tetap bergetar.“Maafkan aku... Maaf... Aku tidak bisa menjagamu,” gumamnya lirih, terisak. “Maafkan aku, Nak... Ayah gagal...”Ia ingat malam-malam saat ia mengelus perut Diajeng, bercakap dengan janin mereka, berharap bayi itu tumbuh sehat, menjadi kebanggaannya. Semua harapan itu kini hancur berantakan.Di tengah isaknya, suara langkah kaki menggema dari ujung lorong."Banyu!"Suara Ibu Banyu.Disusul Papa Diajeng, Ibu Diajeng, dan beberapa an
Langit hari itu kelabu, seperti suasana hati Diajeng yang tak menentu. Aula utama Fakultas Bisnis Universitas Mahadwipa dipenuhi oleh ratusan mahasiswa. Hari ini adalah briefing besar untuk acara tahunan yang dinanti-nanti: Kunjungan Kerja Lapangan (KKL). Diajeng duduk bersama Erika dan beberapa teman sekelas. Blus longgar yang dikenakannya menyamarkan perut yang mulai sedikit membulat. Ia tampak tenang di luar, tapi kegelisahan tersembunyi di balik tatapannya yang sesekali melirik ke pintu masuk aula. “Kalau Banyu beneran datang, gosip satu kampus bisa meledak,” bisik Erika sambil menyeruput kopi dinginnya. “Dia gak bakal datang. Dia sibuk,” balas Diajeng cepat. Namun saat itu juga, pintu terbuka—dan seolah dunia mempermainkan kata-katanya, sosok tinggi dengan jas semi-formal dan wajah tenang itu melangkah masuk. Banyu Samudra. Tapi, penampilannya jauh dari mahasiswa biasa. Dengan rambut rapi, kemeja hitam, jam tangan mewah, dan aura eksekutif muda yang memancar jelas, ia terli
Alexander Benjamin memandangi bayangan Banyu dan Diajeng dari kejauhan. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Gila... Diajeng benar-benar sudah jadi milik musuhku." Semua orang kampus mungkin bisa dibuat kagum dengan sosok Banyu—tampan, cerdas, kaya, dan sekarang diketahui sudah menikah diam-diam dengan mantan kekasihnya. Tapi tidak dengan Alex. Ia tahu siapa Banyu sebenarnya. Dan ia tahu, meskipun sekarang status Diajeng adalah istri sah pria itu, cinta di hati gadis itu belum sepenuhnya berpindah. "Masih ada celah... Masih ada jalan." Alex menekan layar ponselnya dan menghubungi Erika. Tak butuh waktu lama hingga sambungan tersambung. “Erika, aku butuh bantuanmu.” “Apa lagi, Alex? Kenapa pagi-pagi kamu merecokiku?” sahut Erika dari seberang, terdengar malas. “Tolong bawa Diajeng ke klinik kampus, terserah kamu pakai alasan apa. Aku tunggu di ruang konsultasi,” ucap Alex cepat. Erika diam sesaat. “Kamu punya rencana apa?” “Bukan apa-apa. Aku cuma mau bicara, tanpa