“Permisi, Pak?”Terdengar suara pintu diketuk pelan.“Masuk,” suruh Tian singkat.Pintu terbuka dan Dini melangkah memasuki ruangan, segera saja dia menjelaskan tentang keberadaan Leandra di luar.“Saya kan sudah bilang kalau kantor ini tidak buka lowongan pekerjaan,” ulang Tian untuk kesekian kalinya. “Suruh dia pulang atau cari pekerjaan di tempat lainnya.”“Tapi, Pak ... Ibu itu bilang kalau dia dikasih kartu nama Bapak dan minta tanggung jawab atas tabrakan yang dia alami,” ucap Dini menjelaskan.Tian terpaku sebentar kemudian berpikir keras, seingatnya dia tidak pernah memberikan kartu namanya kepada sembarang orang.“Tabrakan apa?” tanya Tian lupa-lupa ingat. “Siapa orang itu sebenarnya?”“Dia yang kemarin memasukkan berkas lamaran pekerjaan ke kantor ini, dan dia juga memaksa ingin bertemu Bapak karena ingin minta tanggung jawab.” Dini menjelaskan lagi. “Suruh dia masuk,” perintah Tian sambil memutar kursinya membelakangi meja.Leandra masih duduk menunggu dengan har
Keesokan paginya, Leandra bangun dengan lebih bersemangat. Bayangan dia akan terbebas dari sikap judes ibu mertuanya seolah membuat pagi itu terasa lebih cerah dibandingkan hari-hari biasa.“Lea, kenapa kamu jadi kelihatan lebih sibuk daripada aku?” tanya Rendra ketika sang istri dengan gesit menyiapkan pakaian kerja untuknya. “Bukankah kamu belum pasti diterima kerja?”Gerakan tangan Leandra terhenti ketika Rendra bertanya.“Aku sudah diterima kerja kok, Mas.” Dia memberi tahu dengan senyum merekah di sudut bibirnya.“Kamu diterima kerja?” ulang Rendra dengan kening berkerut. “Kok kamu nggak cerita sama aku?”Leandra terdiam sebentar.“Oh maaf, Mas! Mungkin aku lupa ...” katanya dengan nada meminta maaf. “Tapi intinya aku diterima kerja, ini nanti aku baru mau bicara lebih lanjut sama sekretarisnya.”Rendra meraih kemeja yang disiapkan Leandra dan menyahut, “Memangnya kemarin kamu bertemu sama siapa kalau bukan sama sekretarisnya?” “Sama bosnya langsung,” ucap Leandra sambil
“Kamu mau apa, Mas?” Leandra langsung tergeragap bangun dan beringsut menjauh dari Rendra. “Kenapa kamu kaget begitu, Lea?” tanya Renda heran. “Aku ini kan suami kamu sendiri.”Leandra tertegun, jantungnya berdegup kencang seperti ditabuh paksa. Bukan karena getaran cinta terhadap suaminya, tapi justru perasaan takut yang tidak wajar adanya.“Kamu mengagetkan aku, Mas!” ucap Leandra dengan napas terengah seakan habis berlari menempuh jarak yang teramat jauh. “Kamu kenapa sih harus dekat-dekat begitu?”Rendra yang tadinya ingin meninggalkan kecupan di kening Leandra, mendadak hilang rasa karena merasa dikesampingkan.“Memangnya kamu pikir aku mau ngapain?” tanya Rendra agak tersinggung. “Malam ini aku mau ke tempat Silvi, jadi aku pikir ... aku nggak mungkin pergi begitu saja tanpa kamu tahu.”Leandra terdiam. Dia menunggu hingga jantungnya berdetak lebih teratur, setelah itu memandang Rendra yang menegakkan dirinya tidak jauh dari tempat tidur.“Kenapa kamu berpikir begitu, Ma
Widi mengerutkan keningnya setelah mendengar penjelasan Rendra.“Masa tantenya sendiri sampai tidak tahu keponakannya kerja di mana,” komentar Widi. “Ya sudah, Ren. Tidak usah terlalu kamu urusi ....”“Lea istri aku, Bu. Dia masih tetap tanggung jawab aku,” bantah Rendra dengan napas memburu.“Tapi kalau dia tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi, kamu mau apa?” celetuk Widi.“Maksud Ibu apa?” tanya Widi tidak mengerti.Widi menghela napas, sengaja untuk menambah efek dramatis di hadapan putra kandungnya.“Ibu sebenarnya tidak mau mengatakan hal ini, tapi kalau lihat sikap Lea yang akhir-akhir ini sibuk sendiri sampai kamu tidak terurus begini—Ibu pikir mungkin dia sudah tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi.”Rendra terpaku.“Ibu jangan bicara sembarangan,” tukasnya. “Aku sama Lea bukan berarti saling mengabaikan seperti yang Ibu pikirkan.”“Terus ini apa?” tanya Widi sambil menatap Rendra. “Istri yang pergi duluan sebelum suaminya pulang ke rumah, itu sama saja k
Sebenarnya kerja apa sih dia? Batin Rendra terus bertanya-tanya sambil mengamati Leandra yang baru saja selesai membuang sampah dan berbalik pergi.Kerja apa yang pakai kemoceng? Rendra terus bertanya-tanya dalam hati, bahkan dirinya jadi enggan berangkat ke kantor karena ingin menyelidiki lebih jauh tentang pekerjaan Leandra yang sebenarnya.“Lea, Pak Tian bilang kalau kamu sudah bisa membersihkan ruangannya!” Dini memberi tahu ketika Leandra muncul dan sedang menaruh kembali kemoceng itu ke tempatnya semula.“Baik, Bu.” Leandra mengangguk dan segera berlalu menuju ruangan Tian.“Permisi, Pak. Saya mau bersih-bersih sekarang, semoga Bapak tidak terganggu ...” ucap Leandra sopan.“Oke, soal gaji kamu ...” Tian tampak berpikir sejenak. “Saya mungkin tidak bisa bayar terlalu tinggi untuk sementara waktu ini.”Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya bisa kerja,” sahut Leandra sambil menyisir pandangan ke sekitar ruangan untuk melihat bagian mana saja yang harus dia bersihkan lebih du
Rendra kaget setengah mati ketika Leandra muncul tiba-tiba di belakangnya, cepat-cepat dia menutup teleponnya yang masih tersambung dengan Silvi tanpa sempat berpamitan kepadanya.“Lea! Kamu ... kamu sudah selesai mandi?” tanya Rendra agak gugup. “Kamu kenapa nggak bilang kalau sudah selesai?”Leandra menatap ponsel dan wajah suaminya bergantian.“Aku sudah panggil-panggil kamu dari tadi, Mas. Tapi kamu yang nggak dengar,” jawab Leandra seolah tidak terjadi apa-apa. “Ternyata kamu sedang teleponan ... sama siapa?”Sontak saja wajah Rendra berubah memucat.“Bukan siapa-siapa kok, teman aku!” jawabnya asal. “Ya sudah, aku mandi dulu kalau begitu. Habis ini tolong buatkan aku kopi ya?”“Ya, Mas.” Leandra mengangguk.Ketika Rendra berbalik, dia langsung memanggilnya lagi. “Mas, itu ....”“Kenapa, Lea?” tanya Rendra bingung.“Itu kamu mau mandi, kan?” tanya Leandra balik. “Kenapa kamu bawa ponsel? Nanti kena air bisa rusak lho.”Rendra terperanjat dan menyadari bahwa dia masih me
Rendra tertegun ketika Leandra tidak berusaha menahan kepergiannya.“Kamu sudah merelakan aku?” tanya Rendra ketika Leandra setengah mengabaikannya.Leandra tidak segera menjawab, saat itu dia lebih mementingkan kesibukannya mencari lowongan pekerjaan baru dibanding mengurus Rendra yang akan bermalam di tempat istri keduanya.“Lea?” panggil Rendra lagi.“Memangnya apa yang kamu harapkan dari aku sih, Mas?” tanya Leandra dengan wajah letih yang selama ini telah dia tutup-tutupi. “Aku minta cerai, kamu nggak kasih. Aku suruh kamu pisah sama Silvi juga nggak mungkin karena kalian sudah mau jadi orang tua, terus aku harus gimana?”Rendra terdiam.“Ya aku pikir kamu ....”“Apa, Mas? Bertahan dari pernikahan ini?” tukas Leandra. “Mungkin untuk sekarang ini aku bertahan, itu juga karena kamu nggak mau menceraikan aku ... jadi aku akan bertahan sampai batas kesanggupan aku.”Rendra duduk di samping Leandra dan bertanya, “Kenapa kamu bicara seperti itu? Aku terpaksa saat itu, Lea ....”
Air mata Leandra luruh tak tertahankan lagi sejak beberapa saat yang lalu setelah Rendra pergi meninggalkan kamar mereka. Dia sekarang tahu kalau berbagi suami itu berat, tapi kenapa dia tetap mencoba untuk bertahan?Selama sepersekian detik lamanya Leandra merasa ragu-ragu, haruskah dia bercerita tentang bebannya kepada Ivana?Leandra menghilang nafas, dia merasa belum siap untuk menceritakan tentang pernikahan kedua Rendra kepada sang tante. Jujur saja Leandra belum siap seandainya Ivana mengusulkan perceraian di antara dia dan sang suami.Karena perpisahan sekilas terlihat mudah untuk dilakukan, tapi Leandra juga tidak ingin gegabah karena dia tidak memiliki kedua orang tua yang sanggup menjadi pegangan hidupnya jika dia benar-benar berpisah dari Rendra.Apa yang harus aku lakukan, batin Leandra dalam hatinya.Malam pun merayap turun, Leandra tidak sempat berlama-lama memikirkan Rendra karena dia harus menyusun rencana untuk masa depannya yang masih abu-abu.Sekilas dia ter