LOGIN"Saya sudah transfer uangnya. Jadi, sekarang pergi dari rumah ini." ucap Damar dengan tegas.
Pria itu tersenyum. "Baiklah. Ingat, mulai bulan depan kalian tidak boleh menunggak lagi." pungkasnya yang kemudian berlalu pergi dari sana. Farah dan Surya akhir bisa bernapas lega setelah Damar membantu keluarganya. “Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak Damar. Kami berjanji akan mengembalikan uang Bapak secepatnya.” ucap Farah yang tak dapat membendung rasa bersyukurnya. Damar muncul bak pahlawan yang membantu keluarganya. Damar melunasi tunggakan tiga bulan hingga membuat petugas itu akhirnya tidak jadi merampas motor mereka. “Jangan pikirkan itu. Saya ikhlas membantu.” "Mari masuk dulu, Pak. Biarkan kami menjamu Bapak sebagai gantinya." Damar tak menolak dan akhirnya masuk ke dalam rumah milik keluarga Serina. Sebenarnya, Serina sedikit keberatan, tapi ia juga tak mau egois karena bagaimanapun Damar sudah membantu keluarganya. Ketika orang tuanya tengah berbincang dengan Damar di ruang tamu, Serina tengah menyibukkan diri di dapur untuk membuatkan Damar minuman. Serina masih tak percaya dengan situasi ini. Ia memang tahu, jika ada yang menyewa rumah Bu Juleha yang telah lama kosong. Tapi, Serina tak tahu jika Damar lah orangnya. Apalagi, mereka sudah terlibat insiden buruk pagi tadi ditambah dengan pertemuan mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Itu sudah cukup membuat hidup serina rumit. Dan sekarang ditambah lagi dengan Damar yang menjadi tetangga barunya. Hidup Serina tidak akan pernah tenang mulai sekarang. “Serina , mana tehnya?” “Iya, Bu.” Serina kuatkan hatinya dan berjalan ke ruang tamu dengan membawa segelas teh hangat untuk Damar. “Permisi, Pak.” “Terimakasih.” Serina kemudian duduk disana. Posisinya pas sekali berhadapan dengan Damar. Pembawaan Damar yang ramah kepada orang tuanya nyatanya membuat Damar cepat akrab dengan orang tuanya. “Kami berjanji akan mencicil hutang kami kepada Bapak.” Surya akhirnya bersuara. Ia tak mau berhutang budi kepada Damar yang notabene adalah tetangga baru mereka. Apalagi, uang yang Damar pinjamkan cukup banyak. Dan tentunya mereka tak mau dicap sebagai orang yang tak tahu malu. “Bukankah sudah saya bilang, jika saya ikhlas membantu kalian. Jadi, itu artinya kalian tidak perlu mengembalikan uang saya.” “Kami bukan pengemis, Pak. Jadi, jangan menolak orang tua saya untuk mengembalikan uang Bapak.” sambar Serina dengan cepat. “Serina benar, Pak. Uang yang Bapak pinjamkan juga tidak sedikit. Jadi, jangan tolak itu.” Damar tak menjawab dan kemudian menyesap teh buatan Serina. Rasanya sangat cocok di lidah Damar. Tak terlalu manis dan rasa pahit yang terasa diakhir adalah kesukaan Damar. “Bapak tinggal dengan siapa disana?” tanya Farah basa-basi. Damar memang baru pindah semalam dan tentu saja Farah tak tahu banyak mengenai tetangga barunya ini. “Sendirian.” “Istri Bapak?” Damar menyulam senyuman tipis. “Istri saya sudah meninggal begitupun dengan putri saya.” Serina tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ini adalah fakta baru yang ia dengar perihal Damar. Padahal, desas-desus yang beredar di kampus adalah Damar masih single dan belum pernah menikah. “Oh, maaf Pak. Saya tidak bermaksud membahas ini.” “Tidak apa. Istri dan anak saya meninggal tiga tahun lalu karena sebuah kecelakaan. Jadi, sekarang saya sudah bisa menjalani hidup dengan baik tanpa mereka. Jadi, tidak perlu khawatir.” jawab Damar dengan bijak. Pembawaan Damar yang tenang dan berwibawa membuat Serina dan orang tuanya begitu segan dengan Damar. Suasana berubah menjadi hening. Nyatanya, pembahasan mengenai mendiang istri dan anak Damar membuat Farah sungkan untuk mencari obrolan baru. “Bapak Surya sakit? Wajahnya pucat sekali.” Kini giliran Damar yang mengajukan pertanyaan. Sejak tadi, ia terus memperhatikan Surya yang duduk di dekatnya. Nafas pria itu terasa sangat berat. Surya juga terus batuk sedari tadi. Mungkin, pria ini mengalami masalah pernapasan, pikir Damar. “Suami saya memiliki riwayat asma. Dan sudah tiga hari ini, asma nya kumat.” jawab Farah. “Terus, kesehariannya Pak Surya bekerja apa? Setahu saya, orang dengan riwayat penyakit asma tidak bisa bekerja berat.” “Suami saya serabutan, Pak Damar. Kadang ada orang nyuruh bersih-bersih kebun, terus cuci motor dan lain-lain. Asalkan pekerjaannya tidak terlalu berat, suami saya akan lakukan. Selain itu, penglihatannya juga bermasalah sejak mengalami kecelakaan beberapa tahun silam.” Damar mendengarkan dengan seksama cerita dari Farah. Ke sepuluh jari Damar saling bertaut. Dari ekor matanya, ia melirik Surya dengan intens. “Kecelakaan?” “Iya. Bapak dulu supir truk. Tapi malam itu, Bapak mengalami kecelakaan hingga membuat penglihatannya terganggu.” jelas Serina. “Kecelakaan dimana?” “Di...” “Saya juga enggak ingat. Waktu itu, saya tidak sadar dan langsung dilarikan ke rumah sakit.” sambat Surya mendahului Serina yang hendak menjawab tadi. “Ah begitu.” balas Damar dengan tersenyum. “Terimakasih atas jamuannya. Tapi, saya harus pulang sekarang.” Damar bangkit dari kursinya begitupun dengan Serina dan orang tuanya. “Sekali lagi, terimakasih banyak, Pak Damar. Kami berhutang budi kepada Bapak.” “Sama-sama. Permisi...” Sejenak, tatapan Damar bertubrukan dengan Serina. Mereka tak saling bicara namun Serina segera memutus pandangannya. "Tunggu, Pak!" Ayunan kaki Damar tertahan ketika Serina memanggilnya. Tubuhnya kemudian berputar dan menatap wanita yang masih berada di tempatnya itu. "Kapan Bapak pindah disini?" tanya Serina sedikit ragu. "Apa itu penting untukmu?" "Saya hanya..." Damar merendahkan kepalanya hingga sejajar dengan Serina. "Kenapa? Apa kamu juga ingin mengumumkan kepada semua warga komplek ini, jika saya pria mesum yang melecehkan mu di bus?" Ucapan dari Damar membuat Serina diam seribu bahasa. Sungguh, Serina tak ada niatan sama sekali untuk melakukan itu. "Bapak salah paham. Saya..." "Sudah malam. Masuklah dan istirahat, jangan sampai kamu terlambat di kelas saya besok." sela Damar kemudian. Damar menyeringai tipis lalu mengambil langkah pergi. Ekspresi Damar begitu dingin dan datar. Sorot mata Damar yang tenang seolah menyimpan banyak cerita di baliknya. “Halo, Felix.” Damar menghubungi salah satu orang kepercayaannya melalui sambungan telepon. “Baca pesanku dan lakukan perintahku.” Damar akhiri sambungan telepon itu dalam sekejap. Damar tipikal orang yang tak suka berbasa-basi. Dan tanpa menjelaskan panjang lebar, anak buahnya pasti akan tahu yang Damar inginkan. Damar kemudian mengayunkan kakinya memasuki kamar. Bagi konglomerat seperti Damar, tidak sepantasnya ia tinggal di kontrakan kecil seperti ini. Dengan uang yang ia miliki, Damar tentu bisa membeli hunian mewah di kawasan komplek elit. Tapi, diusianya yang sudah menginjak kepala tiga lebih tepatnya 35 tahun, Damar tak menginginkan itu. Damar ingin menenangkan dirinya setelah masalah yang hampir menghancurkan hidupnya sebagai seorang pria. Damar mengambil sebuah foto yang dibingkainya dalam figura. Damar usap lembut foto dua orang terkasihnya yang sekarang sudah damai di syurga. Perasaan Damar campur aduk ketika melihat foto mendiang istri dan juga putrinya yang saat itu berusia empat tahun. Damar meneteskan air matanya. Berat sekali menjalani hidupnya selama tiga tahun ini tanpa mereka. Kecelakaan tragis yang sudah merenggut istri dan anaknya itu akan selalu Damar ingat sampai mati. Bahkan setiap Damar tidur, kilasan peristiwa mengerikan itu selalu berputar di kepala Damar. Dan mimpi buruk itu selalu menghantui Damar selama tiga tahun ini. “Kalian tenang saja. Beristirahatlah dengan damai disana. Aku disini untuk membalaskan semuanya untuk kalian.”“Cepat kemari sekarang, Serina. Ibu tutup teleponnya.” Telepon yang ia dapatkan dari sang ibu, membuat Serina sedikit bisa bernapas lega. Serina mengusap air matanya dengan kasar lalu menerobos hujan deras. Ia abaikan tubuhnya sendiri karena yang utama sekarang adalah keselamatan dari Surya. Dengan tubuh yang basah kuyup, Serina berlari menuju ke IGD. Dari kejauhan, Serina masih bisa melihat Farah yang masih terduduk di ruang tunggu. “Ibu!” panggil Serina. Farah yang semula menunduk langsung mendongak ketika mendengar suara putrinya. Ada sebersit senyum dan juga kesedihan yang tergambar di wajah Farah.“Ibu sudah mendapatkannya?”Farah mengangguk. “Benar.”“Ibu meminjam uang itu kepada siapa?”Farah mendadak panik. Ia usap wajah sang putri yang masih basah dengan telapak tangannya. Bibir Serina membiru dan tubuh putrinya itu menggigil. Farah kemudian lepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Serina.“Nanti ibu beri tahu. Sekarang, kita harus masuk ke dalam karena sebentar lagi Ba
Tanpa berpikir panjang, Damar menarik Serina untuk pergi dari sana. Mereka tak mungkin membuang waktu lagi dan harus segera sampai ke rumah sakit. Serina yakin sekali jika sang ibu tengah ketakutan sekarang.Selama perjalanan, Serina tak berhenti berdoa. Air matanya terus mengalir tiada henti. Seolah, kerisauan hati yang Serina rasakan sejak tadi telah menemukan jawabannya. Ini adalah firasat dari seorang anak yang tak pernah salah.Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ke IGD dimana Surya masih mendapatkan penanganan. Serina berlari dan menghampiri Farah yang terduduk di ruang tunggu.“Ibu...” Farah yang semula menunduk pun seketika menoleh ketika mendengar suara putrinya. ”Serina!”Serina menghambur memeluk Farah. Tangisan kedua wanita ini pecah. Mereka sama-sama ketakutan sekarang.“Bapak kamu, Serin.”Pelukan mereka terurai. Serina genggam tangan Farah yang terasa dingin. Sedangkan, Damar yang juga ada disana, hanya menatap kedua wanita itu saja tanpa bersuara. “
“Bapak kemana, Bu?”Serina yang sudah siap berangkat ke kampus, menghampiri sang ibu yang terduduk di teras. Farah terlihat menunggu jualan nasi uduknya yang ia dasar di teras. “Bapak kamu barusan berangkat.”Serina cukup terkejut dengan jawaban Farah, “Berangkat kemana?” Farah mulai mengambilkan nasi dan lauk pauk sebagai bekal putrinya. Setiap harinya, Serina memang membawa bekalnya sendiri dari rumah untuk menghemat uangnya.“Bapak kamu diminta Pak Soleh untuk mengirim pasir ke rumah pembelinya.” “Naik apa?”“Naik mobil pick up.”Raut wajah Serina seketika berubah. “Kenapa ibu izinkan Bapak pergi?”Farah terdiam sejenak ketika hendak menutup kotak bekal milik Serina. “Bapakmu memaksa. Ibu sudah melarang, tapi dia tetap bersikeras untuk pergi.”“Ibu tahu kan, sejak kecelakaan itu, penglihatan Bapak sedikit terganggu. Bapak juga tidak mungkin menyetir jika sesak nafasnya kumat. Itulah kenapa, dokter melarang Bapak untuk berkendara di jalan raya. Kalaupun naik sepeda pun, Bapak ha
"Saya sudah transfer uangnya. Jadi, sekarang pergi dari rumah ini." ucap Damar dengan tegas. Pria itu tersenyum. "Baiklah. Ingat, mulai bulan depan kalian tidak boleh menunggak lagi." pungkasnya yang kemudian berlalu pergi dari sana. Farah dan Surya akhir bisa bernapas lega setelah Damar membantu keluarganya. “Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak Damar. Kami berjanji akan mengembalikan uang Bapak secepatnya.” ucap Farah yang tak dapat membendung rasa bersyukurnya. Damar muncul bak pahlawan yang membantu keluarganya. Damar melunasi tunggakan tiga bulan hingga membuat petugas itu akhirnya tidak jadi merampas motor mereka. “Jangan pikirkan itu. Saya ikhlas membantu.” "Mari masuk dulu, Pak. Biarkan kami menjamu Bapak sebagai gantinya." Damar tak menolak dan akhirnya masuk ke dalam rumah milik keluarga Serina. Sebenarnya, Serina sedikit keberatan, tapi ia juga tak mau egois karena bagaimanapun Damar sudah membantu keluarganya. Ketika orang tuanya tengah berbincang dengan D
Serina berjalan gontai keluar dari ruangan Damar. Ucapan dari Damar cukup menampar Serina. Pria itu seolah ingin menunjukkan jika dirinya bukanlah pelakunya. Dari nada bicara Damar, tak sedikitpun menunjukkan keraguan. Serina hampir percaya dengan itu. Tapi, Serina juga tak bisa mengabaikan firasatnya. Jelas sekali, jika Damar yang berdiri di belakangnya. Jika bukan Damar, lalu siapa yang melakukannya? Apa benar pria tua itu? Entahlah, sampai saat ini, Serina masih meyakini jika Damar lah pelakunya. “Apa aku yang salah? Bagaimana jika Pak Damar bukan pelakunya? Lebih baik aku tidak mengusiknya lagi."Ketakutan Serina terhadap ancaman Damar tadi, jelas memunculkan rasa waspada dalam diri Serina. Bagaimana jika Damar serius dengan ancamannya?Sungguh, Serina tak mau menjadi penghuni sel di usianya yang masih sangat muda. Serina terus memikirkan hal ini hingga membuatnya tidak fokus mengikuti sisa perkuliahannya hari ini. Serina lebih banyak bengong di kelas karena bayangan wajah Dam
Damar melangkahkan kakinya dengan sangat yakin. Auranya yang sangat kuat mampu membuat siapa saja menjadi segan kepadanya. Bahkan, para wanita di kelas ini sampai dibuat tak berkedip ketika memperhatikan Damar. Ketampanan Damar benar-benar mampu menyihir para wanita. Namun, beda cerita dengan Serina. Dari tempatnya yang berada di tingkat kursi paling belakang, Serina hanya bisa terdiam dan melongo melihat sosok dosen yang baru saja memasuki ruang kelasnya itu. Jantung Serina berdegup sangat kencang. Serina bahkan mengerjap berkali-kali untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah. “Pria itu...“ Serina menutup mulutnya sendiri. Ia sama sekali tak menyangka jika pria yang terlibat insiden tadi pagi dengannya adalah dosen barunya. Dan detik itu juga, tatapan Serina bertabrakan dengan mata hazel milik Damar yang ternyata juga tengah menatap dirinya. “Tidak mungkin.” batinnya. Dengan penuh ketenangan, Damar berdiri di depan dan menghadap semua mahasiswanya. Dari tempatnya







