Share

Bab 1 Janji

Rahman menatap gusar ponsel yang berubah menjadi hitam. Sari menutup panggilan sepihak. Laki-laki itu tak punya pilihan lain, janji dengan Rafli sudah dicanangkan sedari lama.

Derap langkah Ayu yang mendekat tak membuat Rahman merubah posisinya. Dia masih saja menatap benda pipih itu.

"Ada apa, Mas?" tanya Ayu, heran. Dia meletakkan teh hangat kesukaan Rahman di nakas dekat ranjang.

Rahman menatap istrinya, lalu kembali menatap ponsel. Dia harus memilih siapa sekarang?

"Mas," panggil Ayu, mendekat. Dia meraup wajah suaminya dengan penuh perasaan.

"Apa ada masalah?" tanya Ayu, khawatir.

Rahman masih diam. Dia manatap istrinya. Ya, istri yang selalu perhatian dan peduli dengan apa pun tentang dirinya. Namun, entah kenapa ego lelakinya malah membuat pernikahan ini ternoda.

"Ada sedikit masalah di kantor, Sayang. Mas disuruh ke sana, tapi--"

"Pergilah," potong Ayu dengan senyum mengembang. Digenggamnya tangan Rahman.

Senyuman itu, menghangatkan hati Rahman. Dalam sekejap, rasa bersalah menyusup relung hati. Ayu terlalu baik untuknya. Kadang Rahman merasa kurang dalam menyeimbangi kebaikan Ayu. Dan sekarang, dia malah berkhianat dengan Sari.

"Tapi, Rafli bagaimana?"

Baru saja dibicarakan, anak laki-laki berusia 7 tahun itu datang dengan tas punggungnya.

"Ma, Pa, aku udah siap berangkat!" serunya antusias.

Rahman dan Ayu saling pandang. Mereka seperti tengah berkomunikasi lewat mata. Dengan hati-hati Ayu mencoba menjelaskan.

"Sayang, kalau lain kali liburannya bagaimana? Hari ini, Papa ada kerjaan," ujar Ayu sembari jongkok, mensejajarkan dengan tinggi anaknya.

Rafli menatap Ayu, lalu beralih pada Rahman. Mata jernihnya mengisyaratkan kesedihan.

"Papa kan sudah janji mau ngajak Rafli liburan? Kata Bu guru, kalau janji harus ditepati, nanti dosa."

Seketika dada Rahman sesak mendengar pernyataan anaknya. Dirinya seperti ditampar oleh sebuah kenyataan. Ya, kenyataan bahwa sudah tiga bulan terakhir dia banyak mengingkari janji pada anak maupun istrinya.

Ayu diam. Dia pun tak bisa mengelak dengan kalimat anaknya. Namun, sebagai istri, dia hanya bisa berbakti dan mendukung segala langkah suaminya. Ayu begitu percaya pada Rahman, sampai lupa jika duri tak jauh dari tempatnya berada.

Rahman mendekat, dan ikut jongkok di depan Rafli. Dielusnya surai hitam yang sama persis dengannya.

"Bu guru benar, kalau sudah berjanji harus ditepati. Papa minta maaf kalau selama ini suka ingkar janji. Kadang, orang dewasa itu punya banyak janji. Jadi, harus menepatinya satu per satu."

Rafli diam. Dia mungkin tak paham dengan perkataan Rahman, tapi anak itu tak memberikan ekspresi marah ataupun kecewa. Sifat Rafli mengingatkan Rahman pada Ayu. Jika wajah mirip Rahman, maka sifat semua menurun dari Ayu.

"Baiklah. Jangan membuang waktu lagi, kita bergegas berangkat!" seru Rahman sembari menggendong Rafli.

Anak itu bersorak senang. Dia merangkul leher Rahman dengan antusias. Sedangkan Ayu hanya menggeleng dengan senyuman khasnya.

"Mas, gimana pekerjaan kamu?" tanya Ayu sembari mengekori Rahman.

"Aku urus nanti. Yang penting kalian dulu," timpal Rahman, menyunggingkan senyum.

Rahman mengambil keputusan ini demi kebaikan bersama. Biarlah Sari marah, yang penting anaknya bahagia. Mungkin dengan begitu, setidaknya rasa bersalah berkurang.

***

Jari-jari lentik itu meremas gorden yang sengaja dia singkapkan. Sebelah tangan yang lainnya mengepal kuat. Dalam hati sumpah serapah sudah diucapkan.

"Kurang ajar! Ternyata Mas Rahman benar-benar memilih pergi bersama si Ayu," rutuk Sari, geram.

Dia meraih ponsel di nakas dan mendial nomor Rahman. Nada tersambung, tapi tak juga ada jawaban. Wanita berambut sebahu itu tak menyerah, terus menelepon agar Rahman mau menjawab panggilannya.

Namun, sayangnya telepon itu tak juga diangkat sampai mobil Rahman hilang dari pelataran rumah Ayu. Detik itu juga, Ayu melemparkan ponsel ke sembarang tempat. Emosinya meledak.

Ayu membanting apa saja yang ada di hadapannya. Bahkan dia tak segan berteriak menuntaskan kemarahan.

"Tega kamu, Mas! Kamu memilih Ayu saat kamu sudah janji padaku!" teriaknya, kali ini menarik serpai hingga lepas dari kasur.

Merasa sudah puas meluapkan amarah, Sari terduduk lemas di bawah jendela kamar. Isakan tangis lolos dari bibir merahnya.

"Ini gak adil. Kenapa hidupku selalu gak adil?!" lirihnya menangkup wajah dengan kedua tangan.

Hatinya sudah tertutup oleh iri dan dengki, yang ada hanya ego dan keserakahan menguasai diri.

"Ayu. Kamu wanita penghalang kebahagiaanku! Akan kubuat kamu menderita, ini janjiku!" seru Sari, matanya penuh kobaran dendam.

***

Suara tepuk tangan memenuhi mobil. Ada juga suara Rafli yang terus bernyanyi lagu anak-anak. Ayu yang mengiringi suara anaknya dengan tepukan tangan hanya tertawa kecil. Begitupun dengan Rahman, laki-laki itu tersenyum sepanjang perjalanan. Kehangatan keluarga yang tak kan bisa digantikan dengan apa pun.

Beberapa menit kemudian, suasana menjadi hening. Ternyata Rafli sudah terlelap di jok belakang. Ayu pun memperhatikannya dari spion depan.

"Gak kerasa ya, Mas. Rafli udah besar," cetus Ayu, senang.

Rahman senyum dan mengelus jilbab istrinya. "Itu semua karena kamu merawatnya dengan baik dan benar," timpal Rahman, kembali fokus menyetir.

Ayu menggenggam tangan suaminya dengan penuh perasaan. Dia merasa beruntung mendapatkan Rahman. Tidak seperti Sari yang bercerai karena KDRT.

Mengingat itu, Ayu pun langsung berucap, "Mas, katanya Mbak Sari itu suka masukin laki-laki ke rumahnya."

Kaki Rahman refleks menginjak rem dan hampir saja menyelakai anak juga istrinya.

"Astagfirullah, Mas!" seru Ayu kaget. Dia menoleh ke belakang. Untunglah Rafli memakai seatbelt, kalau tidak entah bagaimana nasib anaknya itu.

"Ma-maaf, tadi Mas liat kucing nyebrang," ucap Rahman beralasan.

Ayu memegangi dadanya dan mengatur napas. "Oh, aku kira ada apa," timpal Ayu, mulai tenang.

Dengan agak gugup, Rahman kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

"Kamu tau gosip itu dari mana?" tanya Rahman, mencoba mencari informasi. Kalau sampai hubungannya dan Sari terbongkar, bisa tamat riwayatnya.

"Dari ibu-ibu yang suka belanja sayur, Mas. Awalnya aku hanya mendengarkan saja, tapi tadi ada ibu-ibu yang bilang kalau aku jangan dekat-dekat sama Mbak Sari."

Rahman mengangguk-anggukkan kepala. Dia tampak tenang walaupun rasa takut sudah menguasainya.

"Memangnya, ibu-ibu itu tahu siapa laki-laki yang masuk ke rumah Mbak Sari?" Rahman sengaja memanggil Sari dengan sebutan Mbak. Kalau tidak, Ayu pasti curiga.

Ayu tampak berpikir, lalu dia menggelengkan kepala. " Gak sih, Mas. Itu katanya ada yang pernah melihat laki-laki masuk ke sana, tapi tidak tahu siapa. Gak kelihatan mukanya, katanya," papar Ayu membuat Rahman mengembuskan napas lega.

"Syukurlah," gumam Rahman, tapi terdengar oleh Ayu.

"Syukur kenapa, Mas?" tanya Ayu, heran.

Rahman kelabakan, lalu matanya melihat ada pom bensin terdekat. "Syukurlah, ada pom bensin. Mas kebelet pipis," jawab Rahman dan hanya ditanggapi Ayu dengan ber-oh ria.

Rahman benar-benar kaget mendengar kabar itu. Dia harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai hubungannya terbongkar, tidak sampai Rahman tahu ke mana akan dibawa jalinannya bersama Sari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status