Rahman menatap gusar ponsel yang berubah menjadi hitam. Sari menutup panggilan sepihak. Laki-laki itu tak punya pilihan lain, janji dengan Rafli sudah dicanangkan sedari lama.
Derap langkah Ayu yang mendekat tak membuat Rahman merubah posisinya. Dia masih saja menatap benda pipih itu."Ada apa, Mas?" tanya Ayu, heran. Dia meletakkan teh hangat kesukaan Rahman di nakas dekat ranjang.Rahman menatap istrinya, lalu kembali menatap ponsel. Dia harus memilih siapa sekarang?"Mas," panggil Ayu, mendekat. Dia meraup wajah suaminya dengan penuh perasaan."Apa ada masalah?" tanya Ayu, khawatir.Rahman masih diam. Dia manatap istrinya. Ya, istri yang selalu perhatian dan peduli dengan apa pun tentang dirinya. Namun, entah kenapa ego lelakinya malah membuat pernikahan ini ternoda."Ada sedikit masalah di kantor, Sayang. Mas disuruh ke sana, tapi--""Pergilah," potong Ayu dengan senyum mengembang. Digenggamnya tangan Rahman.Senyuman itu, menghangatkan hati Rahman. Dalam sekejap, rasa bersalah menyusup relung hati. Ayu terlalu baik untuknya. Kadang Rahman merasa kurang dalam menyeimbangi kebaikan Ayu. Dan sekarang, dia malah berkhianat dengan Sari."Tapi, Rafli bagaimana?"Baru saja dibicarakan, anak laki-laki berusia 7 tahun itu datang dengan tas punggungnya."Ma, Pa, aku udah siap berangkat!" serunya antusias.Rahman dan Ayu saling pandang. Mereka seperti tengah berkomunikasi lewat mata. Dengan hati-hati Ayu mencoba menjelaskan."Sayang, kalau lain kali liburannya bagaimana? Hari ini, Papa ada kerjaan," ujar Ayu sembari jongkok, mensejajarkan dengan tinggi anaknya.Rafli menatap Ayu, lalu beralih pada Rahman. Mata jernihnya mengisyaratkan kesedihan."Papa kan sudah janji mau ngajak Rafli liburan? Kata Bu guru, kalau janji harus ditepati, nanti dosa."Seketika dada Rahman sesak mendengar pernyataan anaknya. Dirinya seperti ditampar oleh sebuah kenyataan. Ya, kenyataan bahwa sudah tiga bulan terakhir dia banyak mengingkari janji pada anak maupun istrinya.Ayu diam. Dia pun tak bisa mengelak dengan kalimat anaknya. Namun, sebagai istri, dia hanya bisa berbakti dan mendukung segala langkah suaminya. Ayu begitu percaya pada Rahman, sampai lupa jika duri tak jauh dari tempatnya berada.Rahman mendekat, dan ikut jongkok di depan Rafli. Dielusnya surai hitam yang sama persis dengannya."Bu guru benar, kalau sudah berjanji harus ditepati. Papa minta maaf kalau selama ini suka ingkar janji. Kadang, orang dewasa itu punya banyak janji. Jadi, harus menepatinya satu per satu."Rafli diam. Dia mungkin tak paham dengan perkataan Rahman, tapi anak itu tak memberikan ekspresi marah ataupun kecewa. Sifat Rafli mengingatkan Rahman pada Ayu. Jika wajah mirip Rahman, maka sifat semua menurun dari Ayu."Baiklah. Jangan membuang waktu lagi, kita bergegas berangkat!" seru Rahman sembari menggendong Rafli.Anak itu bersorak senang. Dia merangkul leher Rahman dengan antusias. Sedangkan Ayu hanya menggeleng dengan senyuman khasnya."Mas, gimana pekerjaan kamu?" tanya Ayu sembari mengekori Rahman."Aku urus nanti. Yang penting kalian dulu," timpal Rahman, menyunggingkan senyum.Rahman mengambil keputusan ini demi kebaikan bersama. Biarlah Sari marah, yang penting anaknya bahagia. Mungkin dengan begitu, setidaknya rasa bersalah berkurang.***Jari-jari lentik itu meremas gorden yang sengaja dia singkapkan. Sebelah tangan yang lainnya mengepal kuat. Dalam hati sumpah serapah sudah diucapkan."Kurang ajar! Ternyata Mas Rahman benar-benar memilih pergi bersama si Ayu," rutuk Sari, geram.Dia meraih ponsel di nakas dan mendial nomor Rahman. Nada tersambung, tapi tak juga ada jawaban. Wanita berambut sebahu itu tak menyerah, terus menelepon agar Rahman mau menjawab panggilannya.Namun, sayangnya telepon itu tak juga diangkat sampai mobil Rahman hilang dari pelataran rumah Ayu. Detik itu juga, Ayu melemparkan ponsel ke sembarang tempat. Emosinya meledak.Ayu membanting apa saja yang ada di hadapannya. Bahkan dia tak segan berteriak menuntaskan kemarahan."Tega kamu, Mas! Kamu memilih Ayu saat kamu sudah janji padaku!" teriaknya, kali ini menarik serpai hingga lepas dari kasur.Merasa sudah puas meluapkan amarah, Sari terduduk lemas di bawah jendela kamar. Isakan tangis lolos dari bibir merahnya."Ini gak adil. Kenapa hidupku selalu gak adil?!" lirihnya menangkup wajah dengan kedua tangan.Hatinya sudah tertutup oleh iri dan dengki, yang ada hanya ego dan keserakahan menguasai diri."Ayu. Kamu wanita penghalang kebahagiaanku! Akan kubuat kamu menderita, ini janjiku!" seru Sari, matanya penuh kobaran dendam.***Suara tepuk tangan memenuhi mobil. Ada juga suara Rafli yang terus bernyanyi lagu anak-anak. Ayu yang mengiringi suara anaknya dengan tepukan tangan hanya tertawa kecil. Begitupun dengan Rahman, laki-laki itu tersenyum sepanjang perjalanan. Kehangatan keluarga yang tak kan bisa digantikan dengan apa pun.Beberapa menit kemudian, suasana menjadi hening. Ternyata Rafli sudah terlelap di jok belakang. Ayu pun memperhatikannya dari spion depan."Gak kerasa ya, Mas. Rafli udah besar," cetus Ayu, senang.Rahman senyum dan mengelus jilbab istrinya. "Itu semua karena kamu merawatnya dengan baik dan benar," timpal Rahman, kembali fokus menyetir.Ayu menggenggam tangan suaminya dengan penuh perasaan. Dia merasa beruntung mendapatkan Rahman. Tidak seperti Sari yang bercerai karena KDRT.Mengingat itu, Ayu pun langsung berucap, "Mas, katanya Mbak Sari itu suka masukin laki-laki ke rumahnya."Kaki Rahman refleks menginjak rem dan hampir saja menyelakai anak juga istrinya."Astagfirullah, Mas!" seru Ayu kaget. Dia menoleh ke belakang. Untunglah Rafli memakai seatbelt, kalau tidak entah bagaimana nasib anaknya itu."Ma-maaf, tadi Mas liat kucing nyebrang," ucap Rahman beralasan.Ayu memegangi dadanya dan mengatur napas. "Oh, aku kira ada apa," timpal Ayu, mulai tenang.Dengan agak gugup, Rahman kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang."Kamu tau gosip itu dari mana?" tanya Rahman, mencoba mencari informasi. Kalau sampai hubungannya dan Sari terbongkar, bisa tamat riwayatnya."Dari ibu-ibu yang suka belanja sayur, Mas. Awalnya aku hanya mendengarkan saja, tapi tadi ada ibu-ibu yang bilang kalau aku jangan dekat-dekat sama Mbak Sari."Rahman mengangguk-anggukkan kepala. Dia tampak tenang walaupun rasa takut sudah menguasainya."Memangnya, ibu-ibu itu tahu siapa laki-laki yang masuk ke rumah Mbak Sari?" Rahman sengaja memanggil Sari dengan sebutan Mbak. Kalau tidak, Ayu pasti curiga.Ayu tampak berpikir, lalu dia menggelengkan kepala. " Gak sih, Mas. Itu katanya ada yang pernah melihat laki-laki masuk ke sana, tapi tidak tahu siapa. Gak kelihatan mukanya, katanya," papar Ayu membuat Rahman mengembuskan napas lega."Syukurlah," gumam Rahman, tapi terdengar oleh Ayu."Syukur kenapa, Mas?" tanya Ayu, heran.Rahman kelabakan, lalu matanya melihat ada pom bensin terdekat. "Syukurlah, ada pom bensin. Mas kebelet pipis," jawab Rahman dan hanya ditanggapi Ayu dengan ber-oh ria.Rahman benar-benar kaget mendengar kabar itu. Dia harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai hubungannya terbongkar, tidak sampai Rahman tahu ke mana akan dibawa jalinannya bersama Sari."Nenek!" seru Rafli berlari dari arah mobil.Anak itu bahkan meloncat dari mobil yang dia naiki. Ayu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya. Sedangkan Rahman, dia tengah menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil dengan wajah gusar.Sebelum menutup pintu mobil, dia mengecek ponselnya. Tak ada balasan dari Sari. Sudah dipastikan jika wanita yang memikatnya akhir-akhir ini marah padanya."Mas," panggil Ayu pelan, tapi membuat Rahman tersentak. Laki-laki itu tergesa memasukkan ponselnya ke saku celana."I-iya. Ada apa, Sayang?" tanya Rahman, wajahnya tampak tegang. Takut jika aksinya ketahuan.Ayu menelisik wajah Rahman yang sekarang berubah pucat. Dia mendekat dan menempelkan punggung tangan pada kening suaminya."Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Ayu khawatir.Seketika kehangatan menjalar pada tubuh Rahman. Wajah teduh dan panik itu seolah menenangkan Rahman. Ayu selalu memberinya kenyamanan dan ketenangan. Namun, dia ...."Mas?" tanya Ayu dan Rahman kembali
Rahman mengguyar rambutnya, frustasi. Otaknya masih merekam jelas pesan dari Sari. Ingin membalas, tapi ponselnya mati total.Matanya melirik Ayu yang sudah pulas di pembaringan. Wajah cantiknya tampak teduh dan menenangkan. Sebenarnya, Ayu lebih cantik dari Sari.Bukan hanya karena terlahir dengan paras memikat saja, tapi ada cahaya di wajahnya. Mungkin sebab air wudhu. Karena, setahu Rahman, Ayu jarang menggunakan make up, hanya perawatan wajah yang dipakai oleh perempuan pada umumnya.Berbeda dengan Sari. Wanita janda itu selalu memakai pakaian yang ketat, berbanding terbalik dengan Ayu yang memakai jilbab. Sari juga selalu ber-make-up, hingga terlihat lebih menggoda dibanding Ayu. Mungkin itulah yang menyebabkan Rahman mendua.Dia pun tak tahu, yang pasti hatinya sudah terpaut sebagian oleh Sari. Awalnya, tak terpikir akan sejauh ini. Coba-coba bermain api, hingga lupa sudah menghanguskan bahtera rumah tangga sedikit demi sedikit.Sekarang, Sari hamil. Entah itu benar atau tidak.
"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum."Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran."Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias."Halo, Sari. Aku akan mene
"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu."Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka."Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.Sari mengedip
Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang."Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum."Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman s
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
"Pertama, mobil dan harta lainnya harus balik nama Rafli. Nikahi Sari, karena bagaimanapun ada anak yang harus kamu akui, tapi cukup kita saja yang tahu pernikahan ini. Ketiga, biarkan Sari tinggal di rumah ini selama dia hamil. Sari tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kamu hanya boleh memegang 30 % gajimu, itu termasuk nafkah untuk Sari nanti. Setelah Sari lahiran, pergilah bersamanya keluar dari rumah ini, tanpa membawa apa pun," papar Ayu mengajukan syarat.Rahman melongo mendengar pemaparan Ayu. Hatinya dirundung gundah. Syarat Ayu terlalu menakutinya. Takut, jika semua akan hilang dari Rahman. Bukan hanya kasih sayang dan cinta, tapi harta. Apalagi harus tinggal bersama Sari. Bukan ini yang Rahman harapkan."Kamu mau dimadu?" tanya Rahman, hati-hati.Ayu menatap tajam suaminya. Tidak, tentu saja Ayu akan mengatakan itu. Wanita mana yang mau berbagi suami? Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu."Sampai mati pun aku gak ikhlas, Mas! Kamu tahu? Aku lakukan ini demi nam