Share

The Devil Love Me!
The Devil Love Me!
Penulis: Esteifa

1. Seikat bunga ungu

Malam itu nyaris beku.

Pertanda musim dingin akan segera datang. Membawa segenap bencana campuran antara hujan, salju, serta hidung berair yang kebanyakan orang benci.

Jemari lentik gadis bersurai hitam panjang itu menggeser layar ponsel, ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak pernah suka musim dingin. Sekarang pukul sepuluh. Tesa mengangkat tangan dan mendesah, dua menit lagi tugasnya selesai.

Tesa tidak akan mengalami ini, berdiri di tengah malam yang dingin dengan mata kritis. Kalau saja dulu ia mematuhi keinginan ibunya menjadi seorang model alih-alih menyia-nyiakan tubuh tinggi serta wajah cantiknya untuk mengintai buronan dengan mata mengantuk.

Gadis yang genap berusia dua puluh lima bulan kemarin itu memfokuskan pandangan di balik kacamata hitam yang ia pakai, ia menghela napas, membenarkan sedikit letak beret yang sejak pagi bertengger di kepalanya, menjejalkan tangan berharga dalam saku mantel berwarna oranye muda.

Lagi. Harusnya ia menuruti kata-kata Kemal, rekan satu tim dari devisi kepolisian itu menyarankan Tesa memakai pakaian hitam yang tidak terlalu mencolok. Karena yah, dengan tinggi seratus tujuh puluh dan gayanya yang necis saat ini mustahil ia tidak menarik perhatian. Kendati memang tak terlalu banyak orang, namun jadi pusat perhatian merupakan nilai minus selama proses mengintai.

Tesa mengangkat syal sedikit, bibir berlapis lipstik nude yang hampir beku itu mengucap pelan. Jam kerjanya telah habis. "Tidak ada pergerakan. Cepat kirim pengganti. Over!"

Sebelum mendesah kedinginan gadis itu kembali mengedar pandang, melihat jalanan sepi di depan. Lalu terpaku, memilih diam sebentar sambil terus menyimpan atensi. Curiga.

Pada segenap tubuh kokoh lelaki tinggi yang mengenakan reap jeans hitam serta jaket bomber dengan warna serupa membalut tubuh bagian atasnya. Lelaki itu berdiri di depan sebuah toko bunga, memandang intens seakan mengawasi.

Tesa bahkan tak mengalihkan mata kala sebuah suara menyapa rungu.

"Kau boleh pulang. Lain kali jangan pakai pakaian begitu."

Berbarengan dengan kalimat di telinganya berhenti, lelaki yang memakai black outfit itu mulai bergerak. Amat halus. Namun cepat secara bersamaan.

Tesa berdecih, melihat bagaimana tangan bertatoo itu menyambar satu buket bunga campuran ungu dan putih. Sebelum berlalu, dengan tenang, seakan tak terjadi apapun.

Demi Tuhan. Satu buket bunga memang tidak seberharga itu. Satu buket bunga tidak semahal jaket YSL yang digunakan lelaki itu, tidak lebih mahal dari harga Timberland yang digunakannya. Tesa tak habis pikir, jaman sekarang ini para perampok memang berdandan keterlaluan rapih.

Orang yang melihat mungkin akan mengabaikan hal sekecil ini, namun Tesa? Ia polisi. Mencuri merupakan perkara besar untuknya. Entah itu satu butir beras atau satu lingkaran kalung emas. Tesa tak mungkin diam saja.

"Hai," sapanya. Kaki jenjang berbalut boots coklat susu itu menghalangi.

Sedangkan si lelaki berpakaian branded yang nyatanya mencuri bunga ini cuma menaikan alisnya sekilas. Mata rusanya berpendar penuh tanya. Bibir tipis berwarna merah itu sedikit terbuka, setelah dilihat lebih dekat ternyata badboy ini punya tahi lalat di bawah bibir.

Kalau Tesa boleh jujur. Tampilan badboy di depannya ini oke juga. Tampan. Wajahnya punya nilai delapan, kalau tubuhnya, Tesa menscan dari bawah ke atas, kemudian mengangguk singkat, otot paha kencang. Yang atas pasti juga iya. Delapan koma lima.

Laki-laki seksi kebanyakan tidak punya harga diri. Tesa memang suka sesuatu yang memanjakan mata begini, namun kalau sudah mengenai tingkah polah, nilai seseorang bisa saja saja turun derastis di matanya. Maling bunga ini punya nilai minus dua puluh lima.

Tesa mengedip pelan, dari balik bulu matanya lelaki tampan di depannya seperti sedang menunggu Tesa mengatakan sesuatu.

"Bunganya indah, boleh untukku?" ujar Tesa sembari memberi senyum manis, menyudahi tatapan tanya lelaki itu, beralih membuat raut wajah datar.

Lelaki ini terlihat dingin, jauh dari kata ramah. Gayanya khas badboy, punya rambut panjang hingga bawah telinga, alis terbelah karena bekas luka dan juga tatoo terlihat di lengan kanan karena ia menggulung lengan jaket yang ia gunakan. Tidak menakutkan, justru menjadikannya terlihat lebih menarik alih-alih demikian.

"Kita pernah bertemu sebelum ini?" setelah diam beberapa detik lelaki itu balik bertanya, Tesa tidak menyangka juga kalau suaranya bisa terdengar semadu ini.

Tesa melepas kacamata yang ia gunakan, memasukan lensa berbingkai itu ke dalam saku mantel.

"Mungkin," balas Tesa, lalu memajukan wajah, mengedipkan sebelah mata genit. "Sepuluh detik yang lalu."

Dan setelah itu pria yang tadinya terlihat menyirit berpikir akhirnya berdecih kecil. menyibak rambut hitamnya ke belakang dengan acuh, hendak berlalu mengabaikan. Diganggu orang asing yang sialnya cukup cantik tetap saja menyebalkan.

Jemari Tesa terangkat meraih bahu keras lelaki berambut hitam itu. Mencegahnya pergi.

"Hei, kau belum boleh pergi kalau belum memberiku bunga itu," ucap Tesa, menunjuk buket bunga di genggaman lelaki di depannya dengan mata. Orang ini mungkin akan menganggapnya orang gila. Tapi, masa bodoh. Tesa tersenyum. "Berikan!"

Dan yah, si lelaki asing mulai benar-benar menganggap gadis cantik di depannya ini kurang waras. Si pencuri bunga menaikan satu alis, menghembuskan napas singkat. "Maaf, tapi ini sedikit aneh, kau meminta bungaku sedangkan kita tidak saling kenal."

"Kita akan segera saling kenal. Maka, berikan," timpal Tesa cepat, masih dengan senyum menggembang.

"Ini untuk kekasihku," balas si laki-laki yang punya nilai minus dua puluh lima ini.

Tesa langsung menyemburkan tawa, tangannya bahkan terangkat untuk menutupi bibir. Ia kemudian melirik lagi buket bunga yang tersemat di tangan lelaki berwajah datar di depannya. Lalu kembali tertawa.

Bunga Krisan adalah symbol kematian. Bela sungkawa, dan juga ketulusan akan yang hidup dan keikhlasan karena ditinggal pergi. Agaknya ini pertama kali Tesa melihat seseorang membawa krisan untuk berkunjung ke rumah pacar. Lucu sekali orang ini.

Mata Tesa menyipit sekilas. Lelaki di depannya tak berekspresi sama sekali. Fakta bahwa Tesa menertawainya seperti orang sinting harusnya bisa membuat lelaki ini tersinggung. Namun alih-alih terseinggung, dia justru diam seperti tak peduli.

"Manis sekali, memberi kekasihmu bunga khas orang melayat?" Kini senyum yang semula bertengger di wajah Tesa seketika lenyap, berganti dengan tatapan mata mengintimidasi. Tesa bahkan mendekat guna menepuk pelan dada bidang pria itu. Tinggi mereka tak jauh beda karena heels yang dipakai Tesa.

Tesa mendekatkan kepala, berbisik. "Tapi akan lebih manis kalau kau membeli alih-alih mencurinya."

Seketika pupil bulat pria itu terlihat membesar, menyirit alis, mungkin tanda tak terima. "Kupikir ada kesalahpahaman. Aku tidak mencuri."

Tesa memutar mata jengah. "Dan kau pikir aku percaya?"

"Aku tidak butuh kau percaya, jadi minggir," balasnya lagi, sudah mulai kehilangan sabar.

Dan sepertinya, si pria bertato ini sudah cukup muak dengan gangguan yang Tesa berikan. Ia mulai menggeram sebal. Dan akan jadi merepotkan kalau perdebatan mereka mengundang perhatian, apalagi Tesa sendirian.

"Kau butuh." Tesa merogoh saku mantel yang ia kenakan, mengeluarkan benda pipih bertali, menunjukannya sekilas. "Anggota kepolisian distrik sembilan, Teresha Black."

Namun di luar ekspektasi. Alih-alih takut, terkejut atau setidaknya terintimidasi, pria bunga ini justru hanya melengos, sebelum kembali menatap Tesa, tersenyum kecil kemudian mengatakan. "Polisi baru memang suka berspekulasi."

Tesa akan lupakan fakta bahwa dirinya masih terlalu baru dan belum diberi bekal satu buah pistol dari pihak kepolisian, karena jika sudah, kepala pria ini sudah berlubang. Namun mengesampingkan itu semua, Tesa justru menyirit heran.

Dari mana dia tau kalau Tesa masih baru?

Dan sepertinya tatapan bertanya yang Tesa berikan terlalu ketara hingga tak lama lelaki bunga tadi berkata lebih banyak.

"Kartu identitasmu masih sangat jelas, mengkilap, usiamu baru dua puluh lima. Jika kau masuk tahun ini, itu berarti kau baru tiga bulan dilantik."

Kerutan di dahi Tesa makin dalam.

Pria itu menghembuskan napas sebelum meraih kertas kecil yang terselip diantara bunga-bunga yang ia bawa. Mengulurkan kartu kecil itu pada Tesa. "Benda ini tidak akan ada kalau belum dipesan. Aku sudah memesan bunga ini dan membayarnya."

Tesa menerimanya tanpa pikir panjang. Membaca apa yang tertulis di sana sekilas. Mengembalikan kertas kecil tadi. "Jadi namamu Elana Dey?"

Tesa berbicara santai, berbalik dengan kata-katanya yang justru seolah mengejek. Tentu, mana ada lelaki dengan nama sefeminim itu. Dan oh, lelaki ini ternyata suka wanita yang agak lembut dari namanya.

"Ini bunga untuk kekasihku. Kekasihku bernama Elana Dey." Pria itu kembali menatap Tesa setelah menaruh kertas kecil tadi di sakunya. Menegaskan. "Kupikir hal itu adalah privasiku. Dan tidak ada yang berhak mengusik privasi orang lain, bahkan polisi sekali pun."

Namun?

Tesa tidak terlalu percaya, dilihat dari sudut manapun lelaki ini sungguh mencurigakan.

“Berikan KTPmu!” titah Tesa.

Lelaki dengan piercing berderet di telinga itu menggeleng. “Keberatan.”

Tesa tidak mendengarkan, ia mendekat, meraba badan lelaki di depannya, tiap kantong yang ada di jaket dan celana yang dia pakai, Tesa bahkan tidak rikuh menyentuh area yang seharusnya tidak disentuh lawan jenis secara sembarangan. Dan ya. Nihil. Ia tidak menemukan dompet atau bahkan ponsel.

Harusnya Tesa menyalahkan diri sendiri, kenapa juga ia mau memulai masalah dengan orang tak dikenal alih-alih pulang ke rumah dan merendam diri pada kehangatan ranjang.

“Namamu?” tanya Tesa lagi.

Lelaki itu diam sejenak, tatapannya tegas dan tak mengedip sama sekali. Menatap titik mata Tesa dalam-dalam, seakan tenggelam. Tesa mengedip sekilas, mata jelaga itu terlalu kelam hingga Tesa perlu keberanian lebih untuk membalas tatapannya lebih lama.

“Kau akan dalam masalah kalau tau namaku,” kata laki-laki di depan Tesa setelah beberapa detik, seperti ada makna lain dari kata ‘masalah’ yang ia ucapkan.

Tesa pun diam beberapa detik.

Jujur. Ia tidak begitu paham kenapa mengetahui nama seseorang bisa menimbulkan masalah. Namun, apapun itu, Tesa merasakan sebuah ancaman yang nyata dalam genangan suara lelaki di depannya ini. Semacam peringatan bersirat.

Oke. Sudah terlalu jauh. Harus dihentikan. Sepertinya ia memang salah paham. Tidak mungkin orang dengan tampilan semahal ini mencuri bunga. Tesa mengangguk, lalu kembali memasukan tangan ke saku mantel yang ia pakai.

"Oke. Anggap saja aku percaya tentang bunga itu. Namun kali ini lain pasal … Kau tau usiaku dari mana?" tanya Tesa dengan ketegasan mutlak. “Tulisan di kartu identitasku terlalu kecil untuk bisa kau baca, dan tidak ada tanggal lahirku di sana.”

Ia tidak takut, namun, jika dipikir kembali, dilihat baik-baik. Pria ini mulai sedikit menakutinya.

Untuk pertama kali Tesa melihat satu sudut bibir lelaki di depannya ini terangkat.

"Di dunia ini bukan hanya polisi yang pandai berspekulasi. Tapi kami juga." Pria itu mengedipkan satu matanya, membalas apa yang Tesa lakukan awal tadi. Mulai melangkah melewati Tesa dengan mata tak lepas dari polisi muda itu. "Jadi, madame, pastikan tidak muncul lagi di depanku atau kau akan hanyut dalam badai yang aku ciptakan."

Tesa tak membalas apapun, ia membeku dan entah kenapa ia meremang.

Setelah kalimat terakhirnya selesai diucapkan pria itu berjalan mundur, menatap Tesa disertai dengan senyum nakal.

Tesa tersadar dari lamunan ketika punggung pria itu sudah hilang dari halaman mata.

‘Pastikan tidak muncul lagi di depanku atau kau akan hanyut dalam badai yang aku ciptakan.’

Harusnya Tesa yang mengatakan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status