Share

2. Yang bernoda merah

"Sudah berapa kali kubilang jangan pakai pakaian begitu lagi!"

Pagi itu Tesa baru saja masuk melewati pintu masuk kantor kepolisian tempatnya mengabdi, dan bukannya selamat pagi ia justru mendapati sapaan aneh dari senior wanita yang selalu mengatakan hal yang sama setiap harinya. Seperti biasa pula Tesa tak mengindahkan.

Gadis jangkung yang rambutnya digerai itu dengan santai duduk di kursi miliknya. Mendesah lelah ketika mendapati meja kerjanya lagi-lagi penuh dengan minuman serta makanan-makanan ringan dengan satu kertas pesan kecil.

"Operasi kita kemarin sepenuhnya gagal, kau jadi pusat perhatian karena pakaianmu!" Wanita berbalut mantel hitam di sebelah biliknya berbicara lagi. Kali ini lebih seperti mendesis. Menatap Tesa yang tengah sibuk membenahi meja. “Kau pikir fashion penting saat sedang mengintai buronan?!”

"Jangan salahkan pakaianku." Tesa mulai menyalakan komputernya. Mengambil satu teh botol, membuka tutupnya lalu meneguknya santai. Tak menoleh ke meja samping sedikit pun. "Aku bahkan sudah pernah pakai kaos dan celana jeans biasa seperti yang kau perintahkan, tapi tetap diperhatikan. Wajah dan proposi tubuhku yang salah, maaf."

Oke, mungkin akan terdengar sangat percaya diri. Tapi Tesa memang percaya diri.

Dan yang dikatakannya merupakan fakta. Barangkali jika Tesa berjalan memakai atasan compang-camping seperti gembel ibu kota, ia akan tetap jadi pusat atensi. Orang-orang akan berpikir bahwa baju compang-camping adalah fashion tren terbaru. Wajah serta tubuh Tesa tak bisa berbohong kalau soal keindahan.

Wanita yang kelihatannya berumur tiga puluhan itu berdecak. "Lebih baik pakai kaos dan celana saja."

Tesa memang selalu beradu argumen dengan seniornya yang satu itu.

"Di cuaca sedingin ini? Orang gila saja pakai selimut." Tesa menyirit, entah kenapa kalau bicara dengan senior yang satu itu rasanya harus siap-siap kontrol diri. Walaupun kadang Tesa terpancing dan akan mengucapkan kata yang kurang sopan.

"Lihat? Dia baru tiga bulan, tapi tidak bisa respect sedikit?" Wanita tadi menganga tak percaya. Dari wajahnya jelas sekali kalau ia tak menyukai Tesa.

"Respect bukan hal yang bisa kau minta, senior." Saat ini Tesa membalas tatapan tajam seniornya, beradu pandang, saling melempar permusuhan. "Aku ini cermin. Jika kau baik, maka aku juga akan baik. Tapi jika kau buruk, maka kau tau apa yang akan kau dapatkan."

Tesa mungkin masih baru. Bisa dibilang ia masih bau kencur jika harus dibandingkan dengan pengalaman seniornya itu. Tapi, dihormati juga tidak dilihat dari berapa lama mereka mengarungi dunia kepolisian ini. Tesa menghormati orang yang patut dihormati.

Ketika wanita itu hendak menjawab kata-kata rekan satu tim mereka yang lain terdengar, laki-laki tinggi yang jadi idola di semua staf perempuan tiap-tiap devisi, lelaki itu mendekat. Menyudahi perang mata keduanya.

"Biarkan, Hyo," ujar Mason pelan sambil sedikit tertawa. "Bukan salahnya karena terlahir cantik."

Tidak menanggapi, Tesa hanya memutar mata menyortir ruangan. Ketika matanya tak menemukan presesi Kemal—rekan yang seumur dengannya, Tesa pun bertanya. "Kemal belum datang?"

"Terlambat mungkin," Mason menyeret satu kursi, memposisikan diri di samping bilik Tesa. "Omong-omong, Kemal katanya mau keluar 'ya?"

Tesa menoleh kilat. "Keluar apanya?"

"Resign."

Tesa melebarkan matanya sedikit. Terkejut bukan main. Ia baru mendengar berita itu. "Kata siapa?"

"Kemarin Hyo melihatnya keluar dari ruangan kepala Kim, dan sepertinya pembicaraan mereka serius sekali."

Tesa segera mendengkus keras. Ia menyesal sudah terkejut karena kabar tak jelas yang pastinya cuma spekulasi yang berasal dari wanita penggosip.

"Bicara serius bukan berarti resign. Lagian kami di kepolisian baru seumur jagung." Tesa membuka file komputer berisi salinan cctv jalanan untuk kasus yang ditugaskan oleh kepala Kim. "Aku dan Kemal berjuang bersama-sama, dan aku tau dia tidak akan melepas pekerjaan ini sampai kapan pun. Jangan asal bicara!"

Mason tersenyum miring, wajah cantik Tesa terlihat lebih cantik saat sedang mendengus sebal.

"Yakin sekali?"

Kali ini Tesa menoleh, pada wanita berambut pendek yang menyeletuk tadi, di sampingnya.

Hyo melirik Tesa sekilas, memakai kacamata sebelum terlihat membuka satu berkas. "Kalau begitu, kenapa kemarin ia keluar tanpa kartu pengenalnya? Dan malah meninggalkan itu di meja kepala Kim?"

Tesa memandang jenuh. Seratus persen ia tidak percaya dengan yang Medusa itu katakan, Kemal tidak akan melakukan hal sebodoh itu. dia tidak akan keluar dari kepolisian, apalagi tanpa bilang padanya. Namun melihat bagaimana cara Hyo mengucapkan kalimat tadi rasanya Tesa terusik sedikit, hatinya sedikit percaya, dan kini ia mulai khawatir dengan bocah sinting teman seperjuangannya itu.

Tetapi jika memang Kemal keluar, apa alasannya?

Barusaja Tesa hendak menjawab Hyo, ketua timnya datang, dengan telepon di telinga. Semua orang berdiri tegak. Tau akan ada pekerjaan.

"Kita berangkat, ada laporan bunuh diri di apartment Suya," kata pria setengah baya itu dengan tegas. Jika ada kasus darurat, tidak perlu briefing bertele-tele. "Bawa peralatan masing-masing, dan segera keluar."

Serempak semua orang menjawab ‘Ya’ lalu setelah itu kepala Kim berlalu.

Tanpa tunggu lama semua orang bergegas menyaut peralatan di meja masing-masing. Tesa pun mengambil handie-talkie, masker dan juga beberapa peralatan lain, ia menghembuskan napas pelan. Dan barusaja langkah kakinya hendak mencapai pintu, suara lain menghentikan.

"Kau sudah pernah lihat mayat sebelumnya?" tanya Hyo. Dan Tesa cuma menjawab dengan gelengan.

"Bunuh diri memang tidak semenyedihkan mayat-mayat korban pembunuhan, tapi kalau memang belum pernah, rasanya mayat-mayat itu sama saja mengerikan," lanjut Hyo lagi. Meremehkan kemampuan Tesa. "Di sini saja, daripada nanti pingsan dan berakhir menyusahkan."

"Kenapa?" Suara itu Mason yang menyahut. "Dulu kau baru sebulan langsung mengatasi kasus begini 'kan? Berhentilah kekanak-kanakan, satu tim ke sana semua."

Hyo tidak menjawab dan langsung melengos pergi. Terlihat tak terlalu peduli.

Maka dari itu mereka berangkat menggunakan mobil dinas. Jarak apartemen Suya dengan kantor polisi tidak terlalu jauh, mungkin sepuluh menit sampai, dan setelah mobil berhenti. Mereka melangkah dengan cepat, menekan tombol lift pada angka tiga belas, menemukan sebuah ruang yang dikerumuni banyak orang.

Kala kerumunan itu terbelah dan para polisi berhasil masuk, Tesa justru membeku. Berdiri di depan pintu dengan tangan dingin oleh keringat. Matanya gemetar terang, dan perutnya serasa diaduk ketika matanya melihat bagaimana seonggok tubuh renta lengkap dengan rambut putih seluruhnya itu bersimpah darah.

Bukan.

Bukan karena anyir darah atau luka-luka sadis yang terdapat pada tubuh wanita tua itu. Namun ketika telinganya menangkap nama si korban, dan ketika ia hendak berbalik pergi netranya melihat sebuah buket bunga krisan tergantung apik pada dinding kosong sebelah kanan.

Tesa makin bergetar. Napasnya pun mulai terasa sesak, lemas hingga ia jatuh terduduk di atas lantai.

"Elana Dey, enam puluh empat tahun. Kasus ini berubah dari bunuh diri, menjadi kasus pembunuhan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status