Share

3. Tetangga baru

Selama masa remajanya Tesa suka dengan komik maupun film bergenre thriller, ia senang menebak-nebak, gemar berpikir dan membuat analisis yang disajikan dalam film-film dengan tema berat, memikirkan suatu topik berat dan juga sensasi debaran jantung yang dirasa membuat Tesa menaruh selera.

Setiap adegan dan kegilaan yang di luar imaginasi selalu berhasil membuat darah Tesa berdesir, tidak, Tesa serratus persen waras, ibu sudah pernah menyeretnya paksa memeriksakan diri ke psikiater karena mengira kalau Tesa gila sebab selalu menonton adegan berdarah-darah dan bukan scene romansa seperti gadis muda kebanyakan. Tesa hanya cukup puas ketika ia analisis dan spekulasi yang ia buat ternyata benar, alur film, asal muasal kejahatan dan semua tebakan Tesa benar atas judul film ternama, maka Tesa senang karena itu.

Bukan karena ia menyukai bagaimana cara para penjahat dan pembunuh itu melakukan aksinya. Tapi karena betapa memuaskan rasa yang didapat setelah berhasil memecahkan sesuatu.

Namun berbanding terbalik dengan itu semua, tidak pernah sekalipun dalam otak Tesa kalau ia akan melihat dan menjadi saksi hal tersebut secara nyata. Dan sekarang, Tesa mengalami itu.

Pria tinggi bertatoo waktu itu, yang menggunakan jaket bomber berwarna hitam, punya tahi lalat di bawah bibir dan menggenggam satu buket bunga krisan. Bahkan bayangan dan juga ingatan akan tatapan matanya yang mengintimidasi pun masih amat jelas di kepala Tesa.

Membuat kepala Tesa hendak meledak rasanya, satu lembar rasa tak nyaman bersemayam di benak dan juga perutnya, rasanya terus ingin muntah bahkan saat tak ada lagi sisa yang bisa dikeluarkan.

Jejak anyir dan juga sekelibat tubuh renta yang bersimpah darah masih tak mau hilang dari otaknya, bahkan ketika Mason segera membawanya keluar dari tampat itu saat Tesa menunjukan tanda-tanda tak baik. Wajah Tesa pucat, ketua Kim mendeklarasikan bahwa tewasnya Elana Dey merupakan sebuah pembunuhan.

Dan Tesa sudah mengatakannya. Ia mengatakan semuanya. Apa yang terjadi malam itu, Tesa yakin dugaannya nyata karena krisan yang menggantung di dinding sana merupakan krisan yang sama dengan krisan yang digenggam oleh pria kemarin malam.

Tanpa tunggu lama, Hyo, Mason dan juga Tesa mendatangi persimpangan tempat Tesa bertugas kemarin, tepatnya mereka mendatangi toko bunga, tempat di mana Tesa berpapasan dengan lelaki itu tadi malam.

Dan setelah sampai di sana, Tesa dianggap sebagai satu-satunya pihak yang gila.

Karena di luar dugaan, semuanya hilang begitu saja. Tidak ada. Benar-benar tidak ada. Semuanya, rekamanan cctv harusnya menyala selama dua puluh empat jam lebih, tidak ada pemesanan bunga krisan atas nama Elana Dey, tidak ada pemesanan bunga krisan selama satu minggu terakhir. Seakan-akan para penjahat itu sudah dapat membaca masa depan, melakukan misi sebersih mungkin, membuat kesaksian Tesa menjadi bualan belaka. 

Benar. Sekarang Hyo dan Mason menganggap kalau Tesa berbohong, berhalusinasi karena rasa frustasi berlebih. Mereka terlihat sedikit marah, agaknya cukup terlihat lelah karena Tesa sudah membuat mereka membuang waktu untuk datang kemari, dan tak mendapat hasil apapun.

“Aku sudah memperingatkanmu sebelum ini, kan?” suara Hyo yang lantang dan dibumbui ejekan itu terdengar. Hyo menganggap Tesa sedang shock setelah melihat mayat hingga berhalusinasi tentang pria yang dikatakannya. “Melihat mayat bukan sesuatu yang mudah dan gampang diterima.”

Tesa bergeming. Ia tenggelam dalam pikiran dan tak menghiraukan kicauan senior perempuan yang selalu memulai perdebatan dengannya itu.

Tesa mengingat lagi apa yang mungkin ia lewatkan tadi malam. Apa saja yang lelaki ucapkan? Apakah ada petunjuk? Semuanya terlalu bersih, tidak mungkin bisa sebersih itu, pasti ada celah yang terlewat, pasti Tesa sudah melewatkan sesuatu. Tapi?

“Kenapa tidak keluar saja seperti temanmu itu?” Hyo masih bersemangat mematik api emosi dalam diri Tesa.

Nyatanya Tesa tak terpancing sedikitpun, kalimat murahan semacam itu bukan levelnya, ia bahkan tidak mendengarkan, masih saja bertempur dengan segala pemikirannya sendiri. Tesa menatap lurus keluar kaca mobil, tak berkedip.

“Hyo!” tegur Mason yang tengah menyetir. Lelaki itu terlihat tak suka dengan nada bicara Hyo yang terus menyudutkan Tesa. “Jangan berlebihan, saat kita masih baru juga sering membuat kesalahan.”

Pun Tesa masih bergelut dengan masalah batinnya sendiri. Ia tak cukup pandai untuk melakukan dua hal sekaligus. Jadi ini maksudnya? Kalimat yang lelaki itu katakan tadi malam? 

‘Kau akan dalam masalah kalau tahu namaku, jangan sampai bertemu lagi kalau kau tak ingin ikut hanyut dalam badai yang aku ciptakan.’

Sebelum kemudian sebuah sentuhan dibahunya membuat Tesa tersentak, gadis itu menoleh, pada pria yang tengah menyetir, mengedip sekilas, dan kemudian sadar kalau sedari tadi Tesa telah banyak melamun.

“Lebih baik ambil setengah hari saja dan pulang,” kata Mason, suaranya bernada biasa, sesekali dia melirik kepada Tesa dan kembali menghadap jalanan di depan sana. “Kau pucat sekali jadi lebih baik istirahat di rumah.”

Tesa memiliki kulit kuning langsat, selalu fit, ia jarang sekali sakit dan mendapat perkataan demikian. Tidak mungkin hanya karena masalah sekecil ini ia bisa terpengaruh hingga dasar kesehatan.

“Aku baik-baik saja, dan aku yakin sekali ada sesuatu yang kulewatkan kemarin,” sahut Tesa, melempar kembali pendangan matanya keluar jendela. “Aku akan pinjam komputermu nanti, ada sesuatu yang ingin kucari, apa kau keberatan?”

Bahkan saat kalimat Tesa belum selesai terucap desahan jengah dari wanita yang duduk di kursi belakang sudah lebih dulu menyambar, sedangkan Mason terlihat diam beberapa detik.

“Jangan menambah pekerjaanku yang sudah banyak! Kita sudah buktikan tadi kalau lelaki yang kau bilang hanyalah halusinasimu saja!” selak Hyo, dia tampak tak habis pikir, sepertinya memang benar-benar meragukan kesehatan mental Tesa. “Bahkan pemilik toko bunga yang kau bilang sudah menganggapmu gila! Lelaki yang kau bilang itu tidak ada, dia tidak nyata. Pembunuh Elana Dey tidak ada di sana kemarin malam.”

Tesa melirik tajam. “Aku tidak meminta bantuanmu, dan tidak akan menambah pekerjaanmu juga. Jadi tak usah banyak bicara. Cukup duduk manis dan tunggu email gaji bulananmu sampai dikirim!”

Hyo balas menatap tajam Tesa. Keduanya hampir saja terlibat sebuah cekcok mengerikan seperti hari biasa, kalau saja Mason tidak segera menengahi.

“Kenapa? Kenapa kau sangat yakin kalau lelaki yang kau lihat itu dia?” tanya Mason kemudian. “Kita sudah lihat sendiri rekaman jalan di depan toko bunga tadi, dan tidak ada siapapun.”

Tesa tau sekali, saat ini dirinya dalam posisi yang sangat rentan, tidak ada bukti, omongannya tak bersaksi, hanya mata dan memori yang mengingat bagaimana rupa sang pelaku kemarin malam. Maka dari itu Tesa juga tidak bisa memaksa Mason untuk mempercayainya, ia tidak ingin dipercaya, kalaupun tidak ada yang ingin membantunya mencari tau, setidaknya biarkan Tesa mencaritahu sendiri dan jangan dihalangi.

“Mungkin kau berhalusinasi karena kemarin malam terlalu dingin,” lanjut Mason lagi. “Kau benar-benar demam. Akan kuantar ke rumahmu.”

Tesa masih diam.

Jika saja sesuatu seperti chip memori eksternal terpasang di matanya, pasti Tesa tidak akan kesulitan seperti ini. Karena demi apapun, Tesa masih mengingatnya dengan begitu segar. Parasnya, senyum miringnya, wajah kriminalnya, dan suaranya—.

Tesa melebarkan mata.

“Mason, kau yang pegang data rekaman earpiece tadi malam, bukan?”

Tesa baru ingat menyadarinya. Semalam ia baru selesai bertugas. Ia tidak yakin apakah earpiece yang ia pakai sudah mati atau belum saat bertemu dengan lelaki pembunuh Elana Dey yang tak diketahui namanya— oke kita panggil dia Devil. Cctv di depan toko bunga mungkin saja bisa dihapus oleh Devil, namun rekaman earpiece kepolisian tidak mungkin bisa ia sentuh sedikitpun. Tesa punya satu harapan.

Mason menoleh. “Iya aku yang pegang, kenapa?”

Tesa menarik napas dalam, matanya berbinar. “Aku akan pinjam itu nanti.”

Suara decihan Hyo terdengar lagi. Namun wanita itu tak menanggapi lebih, dia hanya diam dengan ponsel di tangan.

“Kubilang kau harus pulang, aku tidak mungkin membiarkanmu kembali ke kantor,” balas Mason, meminta pengertian. “Saat kembali ke kantor nanti, ketua Kim akan menanyakan hasilnya, dan kita tak mendapat apapun, bahkan untuk membuktikan apakah kalimatmu itu serius juga tidak ada buktinya. Lebih baik kau menghindar saja dulu.”

Mason menoleh pada Tesa. “Ini bukan hanya tentang kau, Tesa. Kasus pembunuhan bukan perkara kecil, semua kata dan kalimatmu menjadi makna dan penting untuk dipercaya. Aku dan Hyo yang akan lebih banyak ditegur nanti, oleh karena itu lebih baik kau pulang saja. Semua akan lebih mudah jika mengatakan kalau kau sedang kurang sehat.”

“Aku benar-benar benci dengan pembelaan yang tidak perlu, namun saat ini akan aku tekankan, Mason,” jawab Tesa setelah beberapa saat. “Aku tidak bohong, aku tidak berhalusinasi, tidak sedang sakit juga, dan lelaki yang aku lihat tadi malam benar-benar nyata.”

Mason mengangguk dengan santai. “Maka buktikan, hanya itu yang perlu kau lakukan.”

Tesa menghembuskan napas, saat menghadap ke depan, ia baru sadar kalau mereka sudah berada di lingkungan rumah Tesa. Tesa pun mengangguk. “Sedang kuusahakan, dan aku akan cukup terbantu kalau kau mau mengirim rekaman pengintaian tadi malam.”

Mason menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Tesa, lelaki itu tak bercanda waktu bilang kalau Tesa sebaiknya di rumah saja, kepala Kim pasti akan lebih memberi pengertian kepada laporan kesaksian anak baru yang baru pertama kali melihat mayat.

Tesa tidak langsung turun, ia setia menatap Mason dengan tajam, menunggu satu baris kalimat keluar dari mulut pria itu.

Mason menyadarinya, tentu, pria yang menggunakan id kepolisian itu menghembuskan napas berat, lalu mengangguk. “Baiklah akan kukirimkan rekamannya lewat email nanti.”

Maka setelahnya Tesa tak menunda untuk melepas sabuk pengamannya, dia turun dari mobil tanpa melirik ke jok belakang. Sudah mendengar dan menerima apa yang ia mau, maka sudah. Setidaknya Tesa mendapat satu titik harapan tentang si Devil setelah mendengar rekaman earpiece tadi malam. Semoga saja terrekam.

Tesa membuka gerbang dan memasuki rumah, melepas boots yang ia pakai dan menggantinya dengan slipper rumahan, dan ketika berpapasan dengan sang ibu di ruang tengah ibunya tak kuasa untuk mendelik.

Anna—ibu Tesa, meletakan mangkuk yang ada di tangannya ke atas meja. Dia segera mendekati Tesa.

“Kenapa pulang di jam ini?” tanya Anna dengan nada heran yang tak bisa disembunyikan. “Kau sakit?”

Tesa menggeleng, menyugar rambut panjangnya kebelakang. “Hanya sedikit pusing.”

“Dan sedikit pusing membuatmu pulang ke rumah?” balas Anna lagi dengan alis terangkat. Ragu serratus persen. Ia tau betul peringai putrinya, dan Tesa bukan anak yang semudah itu pulang kerumah karena sakit, harga diri anak ini terlalu tinggi, dia bahkan tidak ingin terlihat sakit di depan Anna. “Kuyakin sekali dulu waktu kau SMA tidak ada yang berhasil membawamu pulang meski kau mimisan parah.”

Tesa tak menjawab, hanya memutar mata dan beralih menghempaskan diri di sofa.

“Kau itu wanita muda Tesa, butuh sekali yang namanya tidur berkualitas agar kulit dan sel-sel dalam tubuhmu baik hingga tua,” lanjut Anna dengan tangan terangkat. “Jangan melulu lembur dan pulang larut, harus berangkat pagi sementara gaji tak seberapa. Nyawamu pun jadi taruhannya.”

“Bu—,”

“Menyesal, kan? Menjadi polisi tak seindah yang kau pikirkan, bukan? Pusing dan melelahkan?” sembur Anna lagi, seperti yang Tesa pernah bilang sebelumnya, ibu memang merekomendasikan pekerjaan lain pada Anna. Yang bukan polisi, yang tidak membahayakan nyawa. “Kalau kau menuruti apa kata ibu, kau bisa bangun siang, berpesta hingga larut malam, runway dengan durasi sebentar tapi bayaran besar. Kau menyia-nyiakan proposi—.”

“Aku naik ke atas dulu,” potong Tesa cepat-cepat. Topik ini bukan satu atau dua kali dibicarakan oleh ibunya, sudah terlampau sering.

“Oke-oke, ibu tidak akan mengatakan apapun lagi. Kau sudah memilih jalanmu, jadi ibu juga tidak akan bisa memaksakan apa yang ibu mau,” tahan Anna dengan sebuah senyum kecil. Wanita yang menggunakan blus serta kulot itu kemudian meraih mangkuk berisi sup di meja. “Sekarang antarkan ini ke rumah depan.”

Tesa mengedip cepat, tanpa tunda satu detik pun dahinya bergelombang sinis. Tesa mendang ibunya dengan sorot menilai, melirik sekilas sup di mangkuk itu juga. Jaman yang luar biasa. Tesa sungguh bangga dilahirkan di jaman ini.

“Sesajen?” sahut Tesa datar. “Ibu ingin kaya secara instan? Hah? Kurang kaya? Untuk apa mengantar makanan ke rumah tak berpenghuni?”

Setahu Tesa, Anna sudah cukup ber-uang. Selama ini ibunya itu hidup membangun satu butik dengan design yang diminati kalangan atas, dan tentu, uang yang dapat dari hasil kreativitas dan juga effort tidaklah sedikit. Dan Tesa juga yakin sekali kalau dia tidak seboros itu hingga harus membuat ibunya memakai ilmu hitam untuk menghasilkan uang.

Dan Anna pun tidak tinggal diam, kendati ia sudah terbiasa dengan sikap anaknya. Anna menendang kaki Tesa pelan sembari mendecak. “Jangan sembarangan bicara! Baru ada yang pindah tadi pagi.”

Tesa mendesah malas. “Aku lelah. Ibu saja,” jawabnya. Dan kemudian Tesa pun berdiri. “Lagipula, kalau ada tetangga baru, harusnya dia yang mengirim makanan, bukan kita. Ibu jangan terlalu ramah pada orang tak dikenal, belakangan manusia tidak lagi seperti manusia.”

Lalu tanpa memerdulikan ibunya yang agaknya hendak menimpali kalimatnya, Tesa segera menaiki tangga dengan cepat, dan berkat kakinya yang panjang juga tenaga atletisnya tak butuh waktu lama bagi Tesa untuk sampai di kamar dan menutup pintu, sehingga teriakan Anna tertelan dimakan kosongnya ruang.

Tesa melepas id card di lehernya, melemparnya ke atas meja rias. Dan kemudian ia membuka coat, membuka baju juga hingga tersisa satu lembar kain tipis di tubuh atasnya. Ketika hendak membuka baju terakhir ponsel Tesa berbunyi. Dia langsung meraihnya, mengangkat panggilan tersebut.

“Kasus Elana Dey dioper ke tim lain,” ujar suara di seberang sana. Tesa diam di tempat. Dia tak membalas apapun. “Tesa? Kau dengar aku?”

Tesa mengedip sekilas. Ia tau sesuatu, dan kini harus bungkam?

“Ya,” sahut Tesa pelan.

Mason terdengar berdehem kecil. “Kita ditugaskan untuk fokus pada kasus sebelumnya, kau akan jadi agen pengintai lagi.”

Oke. Kalau begitu Tesa juga tidak akan memperumit keadaan, tidak ingin meyusahkan diri sendiri. Ia cukup tau kalau dirinya tak punya kekuatan untuk speak up, ia tak punya anak tangga yang cukup tinggi untuk bicara. Setidaknya Tesa sudah berusaha.

Untuk apa berusaha sengotot itu, toh ia tak akan mendapat plakat penghargaan atau sedikit uang bonus.

“Oke, aku mengerti,” sahut Tesa sembari mengangguk, ia kemudian memutar tubuh, menghadap jendela dan pintu kaca berukuran besar yang memberi pencahayaan luar biasa di kamarnya ini.

“Soal rekaman yang kau minta—.”

Tesa menggeleng acuh. “Tidak usah. Sudah tidak berguna juga. Kau bisa berikan ke tim lain kalau ada yang minta.”

Setelah mengatakan itu Tesa kemudian mengangkat kepala, menunduk lagi untuk mematikan telepon, namun setengah sekon kemudian Tesa mengangkat pandangannya lagi, ia melihat keluar balkon. Di saat itu, mata Tesa menajam, gadis tinggi itu melihat kepada satu sosok di rumah seberang, tepatnya pada laki-laki yang menggunakan kaos hitam tanpa lengan, memamerkan tattoo satu lengan penuh, berdiri dengan dua tangan dijejalkan saku celana, yang ternyata sedang melihat ke arahnya sama tajam, seakan sudah mengawasi sejak lama.

Tesa tidak begitu percaya pada takdir, namun … benar.

Pria tadi malam, si gila itu berdiri di balkon dengan kaos buntung saat daratan ini sedang dalam suhu rendah. Tersangka pembunuhan Elana Dey—Devil, ada di seberang rumah Tesa.

--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status