Share

4. Teman masa kecil?

Dalam satu sekon, Tesa merasa ragu bahwa yang dilihatnya itu nyata atau Cuma halusinasi  semata.

Tetapi setelah melihat lelaki itu melengos acuh dan berputar kembali memasuki rumah, Tesa tidak bisa tidak percaya bahwa dia— benar-benar dia. Dia laki-laki yang kemarin. Dia lak-laki yang membuat rekan tim devisi mengklaim bahwa Tesa berkhayal dan bahkan gila. Dia orang yang membuat Tesa merusak rekor bagus dalam hidupnya dengan bekerja setengah hari.

Jika pun takdir benar-benar nyata, maka Tesa yakin semesta sedang berpihak padanya. Ada berjuta-juta rumah kosong di kota ini, tetapi dia justru pindah  ke depan rumah Tesa.

Kebetulan yang amat indah. Yang menambah kelegaan sesaat di jiwa tetapi juga menghadirkan pening berlebihan di kepala.

Sorot matanya datar, bahkan tampak tak terkejut saat melihat kehadiran Tesa, seolah mereka tidak pernah bertemu sebelum ini, seolah Tesa tidak memergokinya membawa bunga  yang digantungnya di rumah Elana Dey.

Penjahat berdarah dingin biasanya memang tidak punya ketakutan.

Dan Tesa harus menghadapinya sendirian.

Benar. Tesa harus menghadapinya, meski pun sendirian.

Buru-buru Tesa membuka pintu kaca dan menapakkan kaki pada balkon kamarnya itu, menahan udara dingin yang berhasil membuat seluruh permukaan kulitnya merinding. Tesa meletakan tangan di tepian balkon dan menunduk, satu detik kemudian matanya melebar, melihat bagaimana ibunya berdiri di depan pintu rumah berwarna putih itu sembari memegang satu mangkuk sup mengepul di tangannya.

Tesa melupakan satu fakta yang penting.

Anna sedang mengantarkan sup ke rumah si Devil itu!

“Ibu!” teriak Tesa sembari melambaikan tangannya dengan brutal agar Anna segera kembali ke rumah. “Pulang sekarang! Jangan ke situ! Pulang!”

Anna mendengar teriakan Tesa, dia menoleh dan balas melambaikan tangan dengan ceria. Tesa menyuruh ibunya pulang satu kali lagi, tetapi bukannya menurut Anna justru hanya mengibas tangan untuk merespons tingkah aneh anaknya itu.

Dan sialnya, bersamaan dengan itu pintu rumah yang sedang dikunjungi tiba-tiba saja terbuka, yang mana membuat Tesa diam dengan mata melebar. Apa lagi setelah si Devil melirik terang-terangan ke arahnya. Rasa panik di dalam diri Tesa menyerukan tanda bahaya. Saat itu juga Tesa berlari, menyambar coat-nya dan menuruni tangga menuju rumah depan.

Sementara di sisi lain Anna dan tetangga baru mereka sudah berbincang kecil,

“Hai, kami tetangga dari rumah di depan sana,” ujar Anna sembari menunjuk rumahnya, laki-laki muda penghuni baru rumah yang telah lama kosong itu terlihat menganggukkan kepala kecil, tatap matanya terlihat datar, dan dia justru melirik ke arah balkon kamar Tesa.

“Ah, maaf,” kata Anna malu. “Yang berteriak tadi itu anakku, dia memang punya sifat liar tapi baik kok, selain baik anakku Tesa juga punya wajah yang cantik. Dia paket lengkap, kalau kau mau—”

“Maaf,” potong pemuda bertato itu, sepertinya sudah agak bosan mendengar celoteh Anna yang tidak penting. “Ada apa?”

Dengan penuh rasa terpaksa Anna pun menyudahi sesi promosi anak perempuan seperti ibu-ibu kebanyakan,

“Sudah makan siang?” tanya Anna ramah, dan tetangga baru ini menggelengkan kepala. Anna melanjutkan. “Kebetulan sekali, saya buat lauk sup yang pastinya akan sedap sekali disantap cuaca dingin begini.”

“Tapi—”

Satu pelajaran berharga. Jangan pernah menolak atau memotong perkataan ibu-ibu. Semuanya sia-sia.

Anna lebih dulu menjejalkan mangkuk yang ia bawa ke tangan tetangga barunya itu.

“Sebelumnya rumah ini sudah kosong sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Anna tiba-tiba. “Cam dan Austin. Teman baikku dulu. Sudah sangat lama sejak mereka berdua pindah, dan kami senang akhirnya punya tetangga baru.”

Laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan mangkuk sup yang sudah mulai mendingin di tangannya itu hanya diam.

“Tapi...” Anna menelisik wajah tetangga barunya itu. “Wajahmu terlihat familiar, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Aku pernah bertemu dengannya sebelum ini, Ibu.”

Tesa datang berlari setelah dengan kecepatan penuh, napasnya terdengar memburu saat ia menimpali kalimat Anna.

Tatap mata Tesa setajam pisau, memandang Devil si tetangga baru dengan sirat permusuhan yang amat kental. Ini merupakan urusan Tesa, pekerjaan Tesa, tidak baik jika ibu ikut terlibat, apa lagi berinteraksi dengan ‘dugaan’ tersangka. Dengan cepat Tesa menggandeng lengan ibunya. “Di sini dingin, sekarang kita pulang saja—”

“Kau mengenal anakku Tesa, Nak?” 

Tesa memejamkan mata frustasi.

Anna lebih tertarik untuk mengobrol lebih banyak dengan lelaki itu daripada menuruti perkataan anaknya sendiri. Anna tidak tahu saja bahwa ia sedang mengobrol dengan terduga pembunuhan brutal seorang lansia.

Tesa mendelik pada ibunya, jari telunjuk berkuku biru miliknya menunjuk muka si tetangga baru. “Ibu, dia ini—”

“Mungkin karena kau mengenal orang tuaku jadi wajahku agak familiar bagimu,” potong si Devil dengan suara yang tenang.

Tesa mendesah kecil, menoleh pada lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Omong kosong apa lagi ini.

“Raphael?” cetus Anna tiba-tiba dengan nada suara yang terdengar takjub.

Tesa adalah satu-satunya yang bingung. Gadis bercoat coklat itu menautkan alis jadi satu. Kenapa sekarang ini Anna terdengar seperti orang yang mengenal lelaki ini?

“Kau Raphael anak Camilla?” tanya Anna lagi.

Camilla? Siapa Camilla?

Tesa tidak tahu, ia tidak mengenal teman ibunya yang bernama Camilla. Tetapi siapa pun itu. Sepertinya benar. Anna mengenal lelaki ini.

Tesa terdiam, mendengarkan, mencari jawaban dengan menyimak. Itu tidak baik. Kenapa ibu bisa mengenal seseorang yang berbahaya begini?

Anna menutup mulut dramatis. “Astaga, kau tumbuh dengan baik hingga aku tidak bisa mengenalimu,” kata Anna bahagia. “Aku merindukan Cam dan Austin. Bagaimana kabar ayah dan ibumu, Raph?”

Tesa melirik, pada laki-laki yang Anna panggil Raphael ini.

“Mereka sudah tak ada,” balasnya enteng.

“Bagaimana—” Anna terkejut, “Maaf, aku turut berduka. Cam dan Austin sangatlah baik, dan kudengar orang-orang baik memang berpulang lebih dulu. Kau hidup sendirian dengan baik, aku yakin mereka akan bangga  padamu, Raph.”

Tunggu dulu. Tunggu sebentar.

Sedikit banyak Tesa mulai memahami apa yang sedang terjadi. Raphael anak dari teman Anna?

“Ibu mengenalnya?” bisik Tesa pelan.

Dan Anna tidak mau repot ikut berbisik saat membalas. “Tesa kau lupa pada Raphael?” 

“Who the fuck—” melihat delikan mata Anna, Tesa bungkam, mengoreksi cara bicaranya. “Siapa itu Raphael, aku tidak mengenalnya, ibu, aku tidak pernah mengenal orang dengan nama itu.”

Raphael diam seakan menikmati drama yang tersaji.

“Beberapa saat lalu kau bilang sudah pernah bertemu dengannya sebelum ini, masa kau lupa pada anak laki-laki yang merebut ciuman pertamamu.”

“What?!” pekik Tesa. Kepalanya langsung menoleh, jari telunjuknya terangkat dan menunjuk muka lelaki itu, dan Raphael hanya memiringkan kepala sedikit. “Ibu jangan bicara yang aneh-aneh.”

“Coba ingat lagi,” ujar Anna, entah kenapa Tesa bisa mendengar sepercik bungah dari suara ibunya itu.

“Tidak ada—”

Tesa terdiam.

Kakak tetangga? Kakak tetangga saat Tesa masih kecil? Tesa mengingatnya, meski samar, saat kecil mereka memang mempunyai tetangga yang akrab, mereka punya satu anak laki-laki yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Tesa.

Meski pun begitu, Tesa tak bisa begitu mengingatnya. Tesa hanya ingat beberapa hal, dan salah satunya adalah nama anak dari tetangga mereka itu.

Tesa menaikkan alis, menatap laki-laki yang ada di depannya dengan penuh selidik.

Dan saat itu Tesa bisa melihat Raphael tersenyum. Entah apa arti senyumnya.

“Kakak tetangga itu bukankah...” Tesa mengernyit ragu. “Bukankah namanya Leo, Ibu?”

Saat itu Tesa bisa melihat keterkejutan di mata Raphael. Sebentar sekali. Mungkin hanya sekilas. Sebelum kemudian Raphael memasang wajah tenangnya  kembali.

“Namanya Raphael, sayang.” Anna membenarkan ingatan Tesa yang salah. “Kau salah mengingat namanya.”

Tesa terdiam.

Siapa pun itu  namanya.

Intinya adalah lelaki ini bukan lagi anak kecil yang bisa diprediksi tingkah lakunya, dia sudah dewasa, sudah  punya kehidupan sendiri dan entah kehidupan macam apa yang dijalaninya.

Meski benar mereka pernah mengenal saat kecil, tetapi itu tidak mengaburkan kenyataan bahwa Tesa menyimpan curiga kepada lelaki ini akan kasus kematian yang ia saksikan.

Tesa menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

“Meski itu benar,” kata Tesa serius pada Raphael. “Semua tidak berpengaruh pada apa yang kau lakukan sekarang, aku melihatmu, aku saksinya, dan aku tidak bisa diam saja.”

Kalimat bersirat yang hanya dimengerti olehnya dan Raphael.

Anna terlihat bingung. Tak paham.

Raphael sendiri tampak mengangguk kecil mendengar kalimat ancaman Tesa untuknya.

“Karena kau sudah tahu namaku, aku tidak bisa melepasmu,” balas Raphael, yang juga terdengar penuh arti tersembunyi. Raphael melukis senyum miring. “Senang bertemu denganmu lagi, Tesa.”

--

Esteifa

Hai, yorobun it's me lagi Esteifa. Berbeda dengan cerita-ceritaku sebelumnya yang bergenre Rom-Com, atau Novel ringan, kali ini aku bawa ceita baru dengan genre romance gelap. Meski ada misteri, kasus bun*h atau lain-lain tetapi romansa antara Tesa dan Raphael yang akan tetap menonjol ya teman-teman. Semoga suka ceritanya! terima kasih atas supportnya!

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yani Zainum
makasih juga buat suguhan yang menarik ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status