Share

5. Dekati, masuki sarangnya dan...

“Tidak mungkin.”

Berapa kali pun Tesa memikirkannya, jawaban di kepalanya masih sama. Tidak ada. Semuanya tidak mungkin. Lelaki itu adalah kakak tetangganya dulu? Meski hanya mengingat sebagian kecil dan samar, tetapi Tesa bisa merasakan sifat yang bertolak belakang.

Maksudnya, sejauh yang Tesa ingat, kakak tetangganya dulu sangatlah baik, sangat, bahkan untuk ukuran seorang anak-anak dia sangat baik. Berbanding terbalik dengan Raphael yang dilihatnya sekarang.

Seperti yang Tesa bilang sebelumnya, semua orang bisa berubah, setelah lama menghilang Tesa tidak tahu kehidupan macam apa dan kejahatan apa saja yang kiranya bisa dilakukan Raphael.

Tesa suda memperingati ibunya untuk tidak terlalu dekat atau sok akrab dengan lelaki penghuni rumah depan itu, dan sudah pasti, Anna mengabaikannya.

Tesa memandangi langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, gadis cantin yang sedang berebah diri dengan pikiran kalut itu kemudian menoleh ke arah pintu balkon yang tertutup tirai.

“Aku jelas tidak salah lihat dan tidak akan salah sangka, dia betul-betul si pria bunga Elana Dey,” kata Tesa sembari memiringkan bada. Gadis cantik itu tiba-tiba teringat kebohongan yang Raphael bilang pada Anna beberapa saat lalu sebelum mereka pulang. “Tapi apa katanya? Dia pindah kemari karena tugas pindah? Dia seorang detektif?”

“Dia sudah tahu kalau aku polisi, harusnya tidak seberani itu sampai berbohong mengatakan bahwa dirinya adalah seorang detektif,” kata Tesa lagi. “Kecuali kalau dia memang sudah gila atau kriminal yang punya keberanian tinggi, dan… kecuali kalau dia benar-benar seorang detektif.”

Sebelum Tesa berpikir lebih banyak, ia buru-buru menggeleng.

“Tidak-tidak mungkin,” bantah Tesa atas pikirannya sendiri, gadis bersurai panjang itu meraih satu boneka berwarna coklat dan memeluknya. “Lihat semua tato di badannya, dia lebih cocok jadi gangster daripada detektif! Tidak mungkin, sudah pasti bohong.”

Meski Tesa tahu bahwa di kantornya sedang beredar gosip bahwa akan ada seorang detektif  baru. Tesa menyangkal dengan keras.

“Benar, tidak mungkin,” tutur Tesa satu kali lagi.

“Tapi...” namun keraguan begitu saja datang, pikiran-pikiran akan kemungkinan yang gila kembali muncul di dalam kepala Tesa. “Bagaimana kalau dia benar-benar seorang detektif? Bagaimana dengan kasus Elana Dey? Bagaimana mungkin seorang pembunuh menjadi penegak hukum? Apa ini yang disebut sebagai kamuflase?”

“Bagaimana kalau…” Tesa menjeda kalimatnya sendiri, dia terbangun dan duduk di atas ranjangnya. “Bagaimana kalau ternyata dia kriminal besar yang tidak mungkin bisa kuatasi sendiri?”

Hal itu… sangat mungkin.

Di dunia ini banyak sekali organisasi gelap yang bahkan polisi hanya bisa tahu namanya  dan tidak pernah mampu mengungkapnya.

Contohnya adalah Carberus, organisasi kriminal paling bersih yang berjaya sekitar puluhan tahun lalu hingga sekarang. Yakuza, Triad, dan beberapa tahun ini kembali muncul geng baru yang bernama Helios. Berbeda dengan geng kriminal lainnya, Helios seakan tidak menyembunyikan keberadaan, mereka berbuat kriminal terang-terangan, tetapi begitu hendak dicari semua jejak seolah hilang di telan bumii dan itu justru lebih berbahaya dari semuanya geng-geng yang ada.

Masih banyak sekali sindikat kriminal, dan orang yang punya kekuatan serta keberanian untuk melawan para kriminal berbahaya itu tidaklah sebanding.

Jika Tesa melakukannya sendirian, apakah ia akan bisa?

“Tesa! Makan malam sudah siap, tak usah melulu diet, seorang polisi tidak memerlukannya!” 

Lamunan Tesa terpecah. Suara menggelegar itu menyebut namanya. Sejenak Tesa melirik pada jam berwarna kuning  muda di atas nakas, ia terlalu berpikir dalam hingga tidak sadar ternyata sudah pukul tujuh malam.

Tesa mendesah dalam-dalam, ia menyugar rambut ke belakang.

Baiklah, meski Tesa tidak yakin apakah perutnya bisa menerima makanan malam ini, Tesa harus tetap turun untuk memenuhi panggilan Anna.

Otak Tesa masih terbayang mayat Elana Dey, dan karena itu, Tesa tak bisa makan dengan benar.

“Ibu ada rapat dengan client malam ini, mungkin akan pulang dini hari,” ujar Anna yang sudah berpakaian rapi saat Tesa baru mendaratkan bokong ke salah satu  kursi di meja makan. “Kau jaga rumah yang benar, jangan bawa teman kemari bahkan Kemal sekalipun. Ibu tidak suka rumah berantakan.”

Tesa menuangkan air putih ke gelasnya. Menyahut malas. “Ya, ya, ya.”

“Hari ini jangan begadang, kau harus perbaharui kualitas tidurmu agar awet muda,” kata Anna lagi. Tesa diam saja, meneguk minumnya sambil mengangguk singkat. “Tawarkan lauk pada Raph juga, ibu yakin dia terlalu sibuk mengurus pindahan sampai tidak sempat pesan makan malam.”

Hampir saja Tesa tersedak.

Tesa melotot tak terima, tidak ingin berurusan dengan Raphael dua kali dalam sehari. Daritadi lelaki itu tidak mau keluar dari pikirannya, sekarang harus bertemu secara langsung? “Dia bisa mengurus makanannya sendiri.”

Aish. Tesa jadi tambah tidak bernafsu untuk makan.

Sedangkan Anna sibuk menilai raut wajah anaknya. Ia memicing curiga.

“Kau terlihat menjauhinya,” ujar Anna kemudian. “Dulu kalian sangat dekat.”

“Tidak sedekat itu, tolong jangan melebih-lebihkan,” bantah Tesa memejamkan mata.

Anna menarik satu kursi dan duduk di sana. “Kau ingat bonekamu yang sobek lehernya dan kau kubur di belakang rumah? Itu pemberian Camilla, ibu Raph. Kalian sangat dekat.”

Boneka yang sobek lehernya? Dan dikubur?

“Aku pernah sekonyol itu?” sahut Tesa mengernyit. Anak kecil memang konyol.

“Ingatanmu payah, Tesa.” Anna mengetuk meja menggunakan satu jarinya yang berkuku panjang. “Dekati dia kembali, mumpung sudah dewasa siapa tahu kau bisa jadi pacarnya, ibu sungguh kasihan padamu. Kenapa kau tidak pernah punya kekasih, ibu saja banyak yang mendekati.”

Tesa balas menatap ibunya sekilas, lalu jemarinya memilih untuk mengambil sumpit dan membawa satu potong daging ke piring, memotongnya menjadi dua dengan table manner yang Anna ajari, lalu menyuapkan daging kecil itu ke mulut. Tak berminat.

“Raphael punya pekerjaan tetap, meski aku tidak suka profesinya dan gaji sedikit, ibu bisa lihat kalau dia punya pekerjaan sampingan.”

Kunyahan itu berhenti.

Pekerjaan… sampingan?

Tesa menoleh pada Anna, terlihat tertarik mendengarkan lebih.

“Gaji polisi tidak akan bisa untuk membeli Rolls Royce dan pakaian bermerek yang dipakainya, Raphael jelas punya banyak uang,” ujar Anna layaknya ibu yang sedang memberi wejangan turun temurun pada anaknya. “Kau tidak mungkin selamanya jadi perawan tua yang mengintai buronan dengan gaji pas-pasan bukan? Kau juga ingin jadi nyonya besar tanpa bekerja? Santai di rumah dan berbelanja kalau bosan? Young and rich?”

Benar.

Seseorang bisa saja berkamuflase. Menjadi hal yang tidak terduga. Menjadi sesuatu yang tidak tertebak.

Tesa masih mendengarkan.

Anna tersenyum bangga. “Dekati dia, Tesa, masuki sarangnya, dan kemudian cari tahu semua tentangnya, lalu barulah kau bisa—”

“Baik ibu,” potong Tesa seolah baru mendapatkna mukjiat. Tesa berdiri, mendekati ibunya  dan mengecup pipi Anna. “Kau yang terbaik!”

Tesa punya kecantikan, Tesa punya godaan, Tesa punya otak, dan Tesa punya rencana.

Dekati Raphael, masuki sarangnya, dan ungkap rahasianya.

--

Tbc!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status