Share

3. Saling Menyapa

Satya sedang memandangi Indira yang tengah duduk di luar ruangannya. Dengan menautkan jemarinya, ia tengah mencoba untuk mencari cara lain untuk membuktikan kebenarannya.

Apa Indira benar bisa melihatnya, atau tidak.

'Sangat suka sekali dia dengan pekerjaannya yang hanya duduk-duduk santai, namun digaji sampai 50 juta!'

Satya melayang. Menembus pintu ruangannya dan duduk di atas meja kerja Indira. Sangat rapi. Ada beberapa tanaman hias, juga bingkai foto dirinya bersama keluarganya.

Satya tidak peduli jika pantatnya itu akan membuat semua benda itu jatuh. Toh dirinya tak terlihat. Juga tubuhnya yang transparan. Jadi, ia bisa menembus segala bentuk benda yang diinginkannya, tanpa melakukan komat-kamit lebih dulu.

'Apa yang sedang ia lakukan?' Satya mengintip layar komputer yang sedang dipelototi Indira.

Karena merasa kesal, Satya langsung mematikan komputer Indira begitu saja. Dan karena ulahnya itu sukses membuat sang empu menjadi jengkel. Indira sampai menggebrak meja kerjanya cukup keras.

"Apa ini? Kenapa tiba-tiba mati?!"

"Bisa-bisanya kamu menggunakan akses internet di sini, untuk melakukan live I*******m!" sungut Satya, walau Indira tak bisa mendengarnya. "Tidak ada yang menontonnya pula."

"Hantu di sini benar-benar rese sekali!"

"Hei, beraninya mengumpat pada hantu!" balas Satya, merasa dirinya sebagai 'hantu' itu.

Indira menoleh tajam ke sebelah kiri mejanya. "Apa kalian yang sudah menggangguku?!"

"Astaga, beraninya sama anak-anak." Satya ikut melihat ke samping meja kerja Indira.

"Apa?" sahut Indira, menoleh kembali ke meja kerjanya. "Ada hantu mesum di sini?"

Satya melotot. "Apa maksudnya? Hei, apa yang kalian katakan!?" Saat Satya ingin menangkap gerombolan anak itu, mereka tiba-tiba langsung menghilang dari pandangannya.

"Hei, hantu mesum!" panggil Indira. Seperti sedang melotot pada Satya.

"Aku bukan hantu mesum!" bentak Satya.

"Sedang apa di sini? Dan apa maumu dengan mengikutiku?"

"Terbalik! Kamu yang sedang mengikutiku!"

Mendadak Indira terdiam. Kemudian langsung asal bicara, "Apa kamu dulunya adalah orang cabul juga?!"

"Hei, apa yang kau katakan?! Tidak!"

Tring!

Bunyi handphone Indira, menunda obrolannya dengan hantu yang sedang duduk di atas meja kerjanya.

'Bisa tolong turun ke bawah? Saya membutuhkan cap tandatangan pak Satya.'

Tentu saja Satya juga ikut membaca pesan yang masuk ke handphone Indira.

"Baiklah! Ayo kita memulai untuk bekerja saja!" seru Indira begitu bersemangat.

'Cih. Dia bekerja hanya untuk memberikan cap tandatanganku?'

***

"Indira 'kan, namamu?"

"Iya. Nama saya Indira."

"Bagaimana rasanya berada di depan ruangan pak Satya?"

"Indira, apa kamu benar-benar bisa melihat 'makhluk halus' di hotel ini?" tanya pegawai lainnya.

Indira bingung harus menjawab pertanyaan mereka, dengan jawaban apa. Karena sejatinya ia bekerja di sini, memang untuk dipergunakan sebagai pendamping CEO.

Dengan kata lain, Indira memang harus berhubungan dengan para hantu. Termasuk Satya. Hantu yang paling berpengaruh pada berjalannya hotel yang sudah diambang kebangkrutan.

"Iya. Kebetulan ada 3 anak kecil yang ada di samping meja saya. Setidaknya, merekalah yang menjadi teman saya selagi berada di lantai atas."

"Apa?! Hantu anak? Oh, tidak! Rupanya hantu itu ada bermacam-macam jenis ya?"

"Hei, Indira. Apa anak kecil itu nakal? Apa mereka yang suka jahil mengetuk pintu kamar pengunjung hotel?"

Indira bergeming. Kemudian ingin segera langsung mengambil beberapa berkas yang harus ia bawa ke ruangan Satya.

"Tunggu, Indira! Kenapa kamu ingin cepat-cepat pergi dari sini?"

"Iya. Lagipula, berkas itu tidaklah penting."

"Selama hotel ini berjalan tanpa adanya seorang CEO, cepat atau lambat, hotel ini akan segera ditutup."

"Kecuali kalau hantunya pak Satya bisa segera pergi dari sini."

"Kalau hotel ini ditutup, lalu kalian semua akan bekerja di mana?" tanya Indira yang dibumbui rasa penasaran.

"Aku sih tinggal tunggu panggilan interview."

"Aku juga bisa taruh lamaran di perusahaan manapun."

Indira kemudian tersenyum kecut, mendengar kata-kata dari pegawai hotel. Tak disangka rupanya mereka bekerja di hotel ini, tidak mereka jalani sepenuh hati. Malah berniat untuk pindah, selagi perusahaan sedang di masa sulit.

"Semestinya saya tahu, bukan rumor hantu yang menyebabkan hotel ini mengalami krisis. Tetapi, para manusia yang menjadikan hotel ini memiliki citra buruk di masyarakat."

Selepas mengucapkan kalimatnya, Indira langsung bergegas mengambil berkas yang dikata tidak penting itu untuk dibawanya ke ruangan Satya.

Satu hal yang diyakini Indira, bahwa dirinya telah menjauhkan diri dari para pegawai hotel, demi membela jajaran hantu yang ada di hotel.

"Auh! Payah sekali kau, Indira! Kenapa harus berkata seperti itu pada mereka?"

Sepanjang jalan menuju ke lantai atas, Indira terus merutuki dirinya sendiri. Tanpa sadar, tahu-tahu ia sudah berada di ruangan Satya dengan wajah penuh penyesalan.

"Dasar lemah. Tidak punya pendirian. Apa harus kamu menyesal karena telah membela para hantu di sini?" cibir Satya yang sedang duduk di bangkunya.

Indira sendiri sedang sibuk mencari cap tandatangan milik Satya di atas meja kerjanya. Entah itu berkas penting ataupun tidak, amanah harus tetap ia jalankan.

Bukan Satya namanya kalau dia tidak iseng untuk mengerjai Indira yang menurutnya sedang berpura-pura tidak melihatnya. Kotak berisi cap tandatangan miliknya, sengaja ia sembunyikan di dalam laci.

"Hei, cap tandatanganku ada di dalam laci. Cepat sini ambil."

Layaknya sedang mendapatkan wangsit, Indira kemudian memutari meja untuk mengecek isi di dalam laci. Sesuai dugaan Satya, Indira dapat mendengar intruksinya dengan sangat jelas.

Dan keisengan Satya tak berhenti sampai di sana. Ketika Indira sedang merunduk, hendak membuka laci, Satya sengaja menutup kembali laci itu agar tidak dapat dibuka.

Aksi tarik-dorong yang dilakukan Indira dengan Satya pun sukses membuat emosi Indira memuncak. Mana ada laci yang sudah ditariknya keluar, tiba-tiba saja kembali tertutup seperti sediakala, jika bukan hantu pelakunya.

"Sepertinya penghuni di ruangan ini sedang dalam mood yang sangat bagus. Dia pasti sedang bersenang-senang karena sudah tidak lagi memikirkan urusannya di dunia. Karena itu dia sampai gabut dengan memainkan la...."

Bug!

Indira melotot. Posisinya langsung serba dalam kecanggungan. Jika dilihat dari lensa manusia pada umumnya, Indira hanya akan terlihat sedang duduk di bangku kerja milik Satya.

Tetapi, berbeda jika seseorang itu melihatnya dengan mata batin yang lainnya. Jelas, saat ini Indira sedang duduk dalam pangkuan Satya.

Satya pun menoleh pada wajah Indira yang saat ini lebih tinggi darinya. "Kenapa dudukmu harus secanggung ini? Apa ada sesuatu yang mengganjal di bangku ini? Hm?"

"Yah, begini 'kan malah jauh lebih enak buat ngambil cap-nya."

Dahi Satya berkerut. Hal yang ia harapkan, malah jadi memudahkan Indira untuk membuka laci dan mengambil cap tandatangannya.

"Kau, sebenarnya bisa melihatku 'kan?" tanya Satya kembali.

Indira masih terus menyibukkan diri dengan memberikan cap tandatangan Satya di berkas yang telah dibawanya dari lantai bawah.

Satya benar-benar sudah muak. Emosi Satya telah memuncak, melihat Indira yang masih saja bersikap seolah dirinya tidak dapat melihat sosok Satya yang ada di dekatnya sekarang ini.

"HENTIKAN ITU SEKARANG JUGA!" amuk Satya. Melempar kotak stempel tandatangannya asal ke lantai.

Indira terdiam membeku. Jelas bukan angin kencang yang telah melakukan aksi pembuangan kotak stempel berisi cap tandatangan Satya, sampai terlempar jauh, hingga membuatnya rusak.

"Huh! Sepertinya, pemilik ruangan ini sedang marah."

Beberapa berkas yang tersebar di atas meja, kemudian Indira bereskan segera. Karena ulah Satya yang iseng dengan laci mejanya, heels yang dikenakan Indira terpaksa patah.

Indira pun langsung melepaskan heels-nya dan memilih telanjang kaki untuk keluar dari ruangan Satya.

"Hei! Mau kabur ke mana kamu?!"

Merasa sudah terlalu jengkel dengan sikap Indira yang terus saja menghindar darinya, Satya pun sangat murka. Ia langsung menutup semua akses keluar, agar Indira tetap tinggal di ruangannya.

Gagal sudah. Berulangkali Indira mencoba menarik gagang pintu, hasilnya akan tetap sama. Pintunya sudah terkunci. Dan Indira tidak tahu caranya untuk membuka pintu di hadapannya sekarang ini.

"Sekarang akhiri saja semua sandiwaramu itu. Sekuat tenaga kamu mencoba untuk membuka pintunya, akan percuma saja. Kunci pintu ada padaku. Otomatis, kamu tidak akan bisa keluar dari sini, kecuali kamu mendapat izin dariku!"

Indira berbalik badan. Matanya seperti sedang mencari-cari sesuatu.

"Di mana linggisnya disimpan?"

"Li-linggis?" eja ulang Satya. "Hei, mau apa kamu mencari linggis segala?!"

"Ini 'kan ruang kerja yang sangat lengkap. Bahkan sampai ada kamar pribadi. Itu artinya, ada perkakas juga di sini. Kalau di film horor, alat semacam itu digunakan untuk menyerang lakon utamanya."

Entah ke mana otak Indira berjalan. Satya mati karena kecelakaan. Bukan akibat dibunuh oleh seseorang yang mengharuskannya menjadi hantu penasaran, untuk membalaskan dendamnya.

Memikirkannya saja membuat kakinya bergetar. Apalagi harus diminta melakoni aksi bejat yang berbau psikopat itu.

Tidak-tidak. Satya bukan hantu yang kejam. Ia hanya tidak ingin hotel yang telah dirintisnya susah payah ini, harus dipegang pada orang yang salah.

Sudah, itu saja tujuannya masih tetap tinggal di dunia manusia.

"Ini bukan tentang film horor! Aku bukan hantu yang sedang melakukan pembalasan dendam terhadap orang lain!"

"Hm, pasti ada di dapur," perkiraan Indira yang menuntunnya berjalan menuju dapur.

"Jangan melangkah lagi! Atau aku akan berbuat nekat yang akan membuatmu menyesal!" ancam Satya, mencoba menghalangi jalan Indira. Meskipun tubuhnya, berkali-kali diterjang Indira.

Sampai pada di depan pintu masuk ke dalam wilayah dapur pribadi Satya, tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Indira pikir, semua jendela sudah tertutup rapat-rapat.

Kenapa mendadak ada angin masuk ke dalam ruangan, hingga membuat roknya tersingkap ke atas. Juga rambutnya yang seakan sedang ditarik paksa mengikuti arah angin.

'Setelah aku memikirkan banyak cara. Kini, akhirnya sudah kutemukan cara untuk membuatmu bisa melihatku!'

Tak hanya kertas dan tirai saja yang berterbangan. Semua benda di sekitar Indira ikut terangkat. Berputar-putar di atas kepala, seakan sudah siap menumpuk kepalanya, satu persatu.

Indira sudah berjaga-jaga. Ia menaruh tangannya di atas kepalanya. Matanya pun jadi ikut menyipit, akibat diserang badai topan.

"Tidak perlu terus membodohiku. Aku tahu, jika kamu bisa melihatku yang saat ini sedang membuka kancing bajuku," goda Satya, ikut memutari tubuh Indira dengan kaki yang mengambang.

"Aku memang dulunya bukan orang mesum atau cabul, seperti yang kau katakan beberapa saat lalu. Tetapi, dulunya aku ini adalah seorang player yang hebat. Karena itu aku mendirikan hotel dan apartemen ini." 

Satya mendekati telinga Indira, untuk berbisik, "Tapi....

"Jika sekarang aku mempraktikkannya denganmu, tidak akan menjadi masalah bukan? Karena kamu tidak bisa melihatku. Itu artinya hanya aku saja yang akan menikmatinya."

Terus saja Satya menggoda Indira. Tak hanya telanjang dada. Saking nekatnya Satya, ia sampai rela hampir membuka resleting celananya di hadapan Indira.

"Oh, kenapa kamu hanya diam saja? Apa kau sedang menikmati bentuk tubuhku ini? Baiklah, aku akan melanjutkan...."

"SUDAH, HENTIKAN!!!" jerit Indira yang sudah memejamkan mata sejak Satya mulai menurunkan resleting celananya.

Satya menyeringai kecil, lalu berbisik pelan di telinga Indira, "Akhirnya, kita dapat saling menyapa dengan baik, sekarang."

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status