Share

2. Penampakan Hantu

'Apa lagi sekarang? Mencari pegawai baru? Dengan gaji sebanyak itu?'

Tubuhnya sedikit transparan. Ia tengah melihat ke seberang jalan. Membaca tulisan berukuran besar, dengan iming-iming gaji yang fantastik.

Satya Gusmananda. Pemilik tubuh transparan itu. Sudah tidak menjadi hal baru baginya untuk melompat dari ketinggian, mencapai apa yang ingin dituju.

Apalagi setelah dia mendengar, bahwa ada satu pelamar yang datang ke hotel untuk memberikan berkas-berkas yang dimiliki si pelamar.

'Lulusan SMA? Pengalaman bekerja ....'

Selesai sudah. Satya sudah tidak tertarik dengan membaca daftar riwayat hidup calon pegawai di hotelnya. Apa yang akan ia peroleh, dari seseorang yang tidak memiliki wawasan luas itu?

***

Sepanjang perjalanan, Satya tak henti-hentinya untuk menatap wanita yang duduk di sebelahnya saat ini. Indira. Ya, Satya juga ada di sana bersama Indira dan orang suruhan ayahnya Satya.

'Tidak ada yang menarik darinya.'

Karena penasaran, Satya melompat, nangkring ke bangku sopir untuk bisa melihat dengan jelas wajah Indira.

"Di dalam keterangan, dituliskan bahwa calon pelamar harus memiliki keahlian khusus. Dan wanita ini, bukan salah satunya."

"Jika dia indigo, dia pasti sudah bisa melihatku di jok mobil ini. Atau, bagaimana jika aku kejutkan dia dengan melompat ke jalanan?"

Terus saja begitu, sampai akhirnya mobil telah tiba di tempat tujuan. Tentu saja Satya ingat jelas dengan bangunan megah di hadapannya sekarang.

Beberapa kiriman karangan bunga bertuliskan turut berduka cita dari orang-orang yang dikenalnya, masih menghiasi halaman rumah. Barulah saatnya Satya terdiam. Kepergiannya secara mendadak itu, tentu akan menyisakan luka di hati keluarganya. Terutama bundanya.

Tidak hanya ingin membuntuti Indira. Satya juga berniat untuk bertemu dengan sang bunda. Mungkin, sekarang ini beliau sedang terpuruk di kamar sembari memeluk bingkai foto anaknya yang baru saja pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

"Sa-saya indigo, Pak!"

Dari arah tangga, Satya tercengang mendengar pernyataan dari Indira. Dia mengaku sebagai seorang indigo. Tapi sejak tadi, ia tidak menunjukkan ciri-ciri bahwa dirinya dapat melihat Satya.

Mulai dari berpapasan di kantor. Menaiki mobil bersama. Juga melayang-layang tidak jelas di jalanan untuk menggodanya.

"Ayah, dia berbohong!"

Dalam sekejap, Satya yang tadinya masih ada di jarak 15 langkah, tiba-tiba sudah berdiri di dekat Sandi. Ingin hati memberitahu, bahwa ayahnya sedang dibodohi wanita yang telah mengaku sebagai seorang indigo.

"Ayah, ayo lihat aku! Dengarkan perkataanku! Dia telah menipu Ayah!"

Segala cara sudah dilakukan Satya. Mulai dari melempar gelas ke lantai. Menarik rambut ayahnya sendiri. Sampai menamparinya berulangkali.

Hasilnya tetap sama. Satya tidak berhasil. Tidak ada pecahan beling di lantai. Tidak juga dengan rambut ayahnya yang terangkat ke atas. Atau pipi keriputnya yang akan berubah menjadi kemerahan.

"Benarkah, jika kamu adalah seorang indigo?"

Indira mengangguk. "Iya. Saya adalah seorang indigo, Pak."

"Bukti apa yang akan kamu lakukan, untuk membuat saya percaya bahwa kamu adalah seorang indigo?"

Jelas sekali, kalau Indira sedang mencari-cari makhluk astral di sekitarnya. "Itu, di sana!" Telunjuknya mengarah pada hidung Satya.

Deg!

'Di-dia, bisa melihatku?'

"Ada yang tidur di atas lukisan matahari itu," ujar Indira, "Dia sosok perempuan berambut panjang berwarna put—"

"Sudah cukup."

Satya menoleh ke belakang. 'Dia tidak melihatku?'

"Selama 3 bulan. Itu adalah masa percobaan yang akan saya berikan untukmu. Kuasai ruangan anak saya. Kalau bisa, suruh dia segera pergi meninggalkan dunia ini."

Satu hal yang tidak diketahui Sandi. Bahwa di sebelahnya saat ini, ada sosok anaknya yang tengah mendengar segala ucapannya.

"Karena ulahnya, hotel hampir saja terpaksa ditutup atas pengaduan bangunan berhantu! Istri saya juga selalu terlihat lesu, karena terus-terusan memikirkannya," adu Sandi. Tak peduli jika wanita yang sedang diajaknya bicara, merupakan orang asing.

"Jika kamu bertemu dengannya. Katakan padanya, jika masih ingin berada di sini, sebaiknya dia bisa memikirkan cara untuk membangkitkan citra hotel kembali!"

Indira tidak sedang menatap atasannya. Melainkan seorang ayah yang masih begitu berharap, sang anak bisa hidup kembali. Semua orangtua, akan sangat hancur ketika mengetahui jika anaknya yang lebih dulu dipanggil menghadap Sang Ilahi.

"Baiklah, Pak. Saya akan mengatakan hal itu pada putra Anda."

***

Indira sangat beruntung. Ia sudah langsung ditempatkan di ruangan khusus, tepat di depan ruangan CEO. Apalagi dengan bukti kuat kartu identitasnya sebagai pegawai di hotel bintang lima, yang sudah ia kalungkan di lehernya.

Kini, Indira tidak lagi menjadi seorang pengangguran. Jabatannya terbilang cukup keren. Bukan lagi sekadar cukup. Malah sangat keren sekali.

"Hari pertama kerja, aku harus menata ruanganku lebih dulu!" girang Indira, sepanjang perjalanan menuju ke tempat kerjanya.

"Oh, Nona Indira ya?" sapa pria tua yang kemarin telah mengantarkan Indira ke kediaman keluarga Gusmananda.

"Ah, selamat pagi, Pak Agus!"

"Anda berangkat sangat pagi sekali, Nona?"

Indira mengambil kotak bekal makannya. Lalu memungut satu sandwich, untuk diberikan pada pria tua yang sedang berjaga di depan pintu masuk.

"Ini, buat Bapak."

"Tidak perlu repot-repot, Nona. Itu 'kan sarapan Anda. Lebih baik jika Anda memakannya sendiri."

Indira menggeleng. "Saya masih ada satu lagi kok, Pak. Ini buat Bapak saja tidak apa-apa."

"Ya sudah kalau Nona Indira memaksa." Agus menerima sandwich dari tangan Indira. "Terima kasih ya, Non."

'Cih, pencitraan!' batin Satya yang sudah menyender di pilar, menatap Indira dan Agus.

Hotel memang sedang dalam keadaan sepi. Mungkin hanya ada beberapa pegawai yang terlihat baru saja keluar dari dalam hotel, setelah mendapat giliran shift di malam hari.

Indira sangat menyukai orang-orang sibuk seperti itu. Bangun tidur di tempat kerja, dengan wajah berminyak, rambut acak-acakan dan baju yang kusut. Itu benar-benar menandakan bahwa dirinya telah menjadi pekerja sungguhan.

'Kenapa dia melihat mereka segirang itu? Ingin mengejek karena pekerjaan mereka yang menumpuk?'

Satya masih membuntuti Indira. Terus, sampai Indira akan masuk ke dalam lift. Tiba-tiba saja, ide jahil Satya muncul.

Ia sengaja terus memencet tombol tutup pintu, agar Indira tidak bisa membukanya. Bukan hanya satu lift saja. Melainkan semua lift yang ada di samping-sampingnya juga ikut blank, ketika Indira memencet tombol buka pintu.

"Astaga, hotel semewah ini, tapi lift-nya enggak berkelas."

Indira melirik pintu bertuliskan 'tangga darurat' menjadi satu-satunya pilihan yang harus ia tuju.

"Baiklah. Ruanganku ada di lantai 14. Setidaknya aku sudah pernah jalan kaki keliling kota Jakarta sewaktu cari kerjaan. Jika hanya menaiki tangga saja, tidak akan membuatku menjadi lemah!"

Indira menggigit sepotong sandwich, lalu menyisir rambut panjangnya dan mengikatnya dengan karet gelang.

'Boleh juga kegigihannya,' gumam Satya.

Satu, dua, tiga lantai, Indira masih bisa bernapas normal. Rupanya, menaiki tangga lebih membutuhkan tenaga ekstra dibanding harus jalan kaki menyusuri jalanan kota.

"Huft! Tak apa, Indira! Lantai 14 akan segera sampai! Ayo semangat!" Indira memukul pahanya, lalu menghentakkan sepatunya di ubin yang keras.

"Kalau jadi hantu, ada untungnya juga ya. Gak perlu merasa capek naik puluhan tangga sekalipun."

"Dasar brengsek!" umpat Indira, sebelum melanjutkan perjalanan panjangnya.

Satya mengerutkan dahi. Melayang bebas mendahului Indira, untuk bisa menatap mata Indira. "Dia sedang mengumpat? Apa dia benar-benar bisa melihatku? Atau tidak?"

"Oh, ya ampun. Kenapa ransel ini rasanya sangat berat sekali?"

Yang benar saja. Ada sosok anak kecil yang ikut nemplok di ransel yang Indira gendong.

"Hei, anak kecil! Pergi sana!" usir Indira.

'Tetapi dia bisa melihat hantu lainnya? Itu artinya, dia memang bisa melihatku.'

"Hei, kenapa kau berpura-pura tidak melihatku?! Mau bagaimanapun juga, kau sedang bekerja di bawah kendaliku!" semprot Satya, sembari melayang-layang di depan Indira.

"Apa sebenarnya tujuanmu bekerja di sini? Hei, jawab pertanyaanku! Apa kau tuli?!"

'BRAKK!'

Indira membanting ranselnya asal di atas lantai. Kakinya hampir saja terputus. Sudah tidak ada tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke lantai 14. Tempat ruangannya berada.

"HAHH!!! Capek sekali! Mungkin aku harus meringankan kakiku lebih dulu. Atau betisku ini akan semakin membesar, bahkan melebihi atlet lari."

***

Cukup lama. Tubuh Indira rasanya menjadi lebih ringan. Saat sadar kalau dirinya sedang ketiduran di lantai yang dingin. 

Oh, sejak kapan lantai yang keras berubah menjadi sangat empuk?

Indira langsung membuka matanya bulat-bulat. 'Eih, di mana aku?'

"Di kamarku," ucap Satya.

"Oh, ya Tuhan! Apa aku sedang diculik seseorang?!" serunya sembari menarik diri untuk bangun dari posisi tidur.

Satya yang duduk di samping Indira pun hanya bisa berekspresi datar. "Ya Tuhan, lebay sekali."

Tak bisa berlama-lama berada di atas kasur, Indira langsung melompat turun dan segera merapikan diri yang terlihat berantakan. Entah kamar siapa yang telah ia singgahi, Indira mendadak jadi pikun.

"Kau bisa melihatku 'kan?" Satya menghalangi jalan Indira. Niat hati agar Indira berbelok melewati dirinya. Sayangnya tidak. Indira justru tetap jalan semestinya dan menabrakkan diri pada tubuh transparan Satya.

'Dia tidak melewatiku?'

"Indira!" Satya membanting guci yang ada di ruang kerjanya. Hingga sukses mengeluarkan bunyi nyaring karena telah menyentuh ubin.

Indira menoleh. Ia melihat ada pecahan beling yang sudah berserakan di lantai. Kemudian, muncul corak jejak kaki yang mengeluarkan cairan merah sedang mengarah ke tempatnya.

"Katakan, apa yang kau inginkan?" Langkah kaki Satya terhenti. Tepat di depan Indira tengah berdiri.

Satya masih saja kekeuh, kalau Indira bisa melihat dan mendengarkannya. Tujuan Indira datang ke hotel ini, juga untuk bisa bertemu dengannya. Lalu, kenapa ia harus berpura-pura tidak melihat Satya?

Indira kemudian melangkah mundur, dengan sedikit mendongak ke atas. Lebih tepatnya, ia sedang menatap mata Satya sekarang.

"Penampakan hantu jejak kaki?"

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status