Share

4. Hantu Pemula

Karena Indira sudah mengakui bahwa ia memang bisa melihat Satya, maka tidak ada alasan lain untuknya dapat menghindari sosok Satya yang telah resmi menjadi bosnya.

Siapa sangka, pada akhirnya Indira akan bekerja di bawah naungan hantu yang selalu ingin ia hindari sepanjang hidupnya. Tidak ada hal baik selama Indira berdekatan, atau berhubungan baik dengan para hantu.

Yang ada dirinya akan dijauhi, dibenci, dan dicemooh banyak orang. Keluarganya saja enggan untuk mengakui bahwa ia termasuk dalam silsilah keluarga. Apalagi orang lain.

Indira tidak pernah memiliki seorang teman yang dapat dikatakan sangat dekat dengannya. Awalnya mungkin masih baik-baik saja, tetapi setelah tahu Indira sering bersikap aneh dan berbicara sendiri, semuanya lalu memilih untuk meninggalkannya.

Tak hanya itu, Indira bahkan sampai mendapatkan julukan sebagai 'pawang hantu' saat ia masih sekolah dulu.

Dan hari ini, mungkin julukan itu telah menjadi doa yang mempertemukan Indira pada pekerjaan sebagai pendamping hantu. Yang tak lain adalah sebagai 'pawang hantu' layaknya julukan yang diberikan teman-temannya.

"Sepatu udah jelek begitu, kenapa tidak beli yang baru saja?" ejek Satya, setelah mengikuti Indira sedang memperbaiki heels-nya yang patah tadi.

Indira pura-pura tidak mendengar. Lebih baik diam, daripada harus membuat orang-orang di sekitarnya merinding ketakutan karena ulahnya yang membalas ucapan hantu.

"Iya, aku tahu kalau kamu miskin. Tidak perlu dijawab."

Selanjutnya, Indira melirik Satya yang sedang duduk di sebelah tukang sol sepatu dengan tatapan yang menohok. Satya sedang tertawa mengejek, sementara Indira melihatnya dengan tak suka.

"Neng? Kenapa ngelihatin saya seperti itu? Apa ada yang salah dengan saya?" tegur bapak tukang sol sepatu yang menyalah artikan tatapan mata Indira.

Mendengar hal itu, tentu saja membuat gelak tawa Satya pecah. Sesenang itu Satya melihat muka merah Indira, akibat menahan malunya pada tukang sol sepatu. 

"Maaf, Pak. Tadi saya sedang melamun," bela Indira seadanya.

"Ah, begitu. Lain kali jangan diulangi, Neng. Untung saya sudah tua. Kalau saya masih muda, mungkin saja saya sudah menyalah artikan tatapan Eneng tadi," ujarnya memberi nasihat.

Indira hanya tersenyum kecut. Sementara Satya masih menertawakan salah satu pegawainya itu. Ya, sereceh itu Satya menanggapi kejadian yang baru saja ia dapat.

Mungkin, hantu penasaran itu selalu dibumbui dengan hal mistis dan jiwa balas dendam yang mengerikan. Namun jangan berharap lebih pada hantu yang satu ini.

Satya seakan sedang menikmati hidup—ah, maksudnya hari-harinya yang bebas.

***

"Hei, Indira. Kenapa kemarin kamu berpura-pura tidak melihatku?"

"Karena saya tidak suka dengan hantu pemula," jawab Indira ketus.

"Apa? Hantu pemula?" ulang Satya.

"Iya."

"Siapa yang kamu maksud?"

Indira hanya melirik Satya sebentar. Seolah sedang menunjukkan jawaban atas pertanyaan Satya.

"Aku?!" sungut Satya. "Apa maksudnya dengan hantu pemula?"

"Dia hantu yang bodoh."

"A-apa? Berani-beraninya kamu mengataiku sebagai orang bodoh!"

Rasa-rasanya, bukan hanya manusia saja yang dapat merasakan migran. Hantu pun dapat merasakannya juga. Terlebih, Satya masih tergolong hantu baru. Tentu saja ia masih cenderung melakukan tindakan-tindakan yang biasa dilakukannya, sebelum meninggal.

"Saya sedang berbicara dengan hantu. Bukan orang."

"Sama saja! Intinya aku tidak terima jika kamu mengataiku sebagai seseorang atau hantu yang bodoh!"

"Jika tidak ingin saya kata-katain sebagai hantu yang bodoh, kenapa Anda terus membuntuti saya dari tadi?" tanya Indira, sedang memojokkan Satya.

"Memangnya apa salahnya jika aku membuntutimu?"

Indira mengembuskan napasnya, ia berhenti berjalan. Begitu juga Satya yang menghentikan laju melayangnya di sebelah Indira.

"Akan lebih baik jika Anda memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang berguna."

"Contohnya?"

Indira berbalik menghadap Satya. Ia sedang menatap mata Satya yang polos itu dengan iba.

"Seperti ..., mencari tahu tentang bagaimana kematian Anda terjadi."

Satya mengerutkan dahinya. Ia melayang mundur untuk sedikit menjauh dari Indira. Setidaknya ia dapat melihat wajah pegawainya yang telah kurang ajar, terhadapnya.

"Sudah tidak waras kamu?! Jelas-jelas kematianku terjadi akibat kecelakaan! Kenapa kamu berkata, seolah-olah aku menjadi korban pembunuhan?"

"Karena itulah yang biasanya dilakukan oleh para hantu pemula, Pak."

Setelah mendengar penjelasan dari salah satu fakta mengenai hal per-hantu-an yang diketahui Indira, dalam sekejap Satya langsung lenyap dari pandangan Indira. Bukan menjadi hal yang sulit bagi para hantu untuk datang dan pergi, semau mereka.

"Dasar hantu. Datang tak diundang, pergi pun tanpa pamit."

***

Dalam ruangan gelap dan sepi, Satya tengah merenungkan satu hal mengenai apa yang telah dikatakan Indira sewaktu di pinggir jalan raya, petang tadi.

Apa semua hantu yang masih berkeliaran di dunia manusia ini, datang atas tujuan yang sama?

Jika bukan melakukan balas dendam, setidaknya mereka dapat mengetahui alasan kematian mereka. Tetapi, tujuan awal Satya masih tinggal bukan untuk mencari tahu alasan dirinya mati.

Melainkan ingin melindungi perusahaannya.

"Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Lagipula Indira itu bukanlah hantu. Mana tahu dia soal kehidupan para hantu?"

Satya ingin mengabaikan ucapan Indira sebagai teori yang tak mendasar. Tetapi, karena tidak memiliki kegiatan lain di tengah malam yang sepi ini, jadilah otaknya terus saja memikirkan perkataan Indira yang membuatnya tidak tenang.

"Hei, anak-anak!" panggil Satya dari dalam ruangannya.

"Ya, ada apa?" balas salah satunya.

"Em ..., boleh aku bertanya sesuatu pada kalian?" tanya Satya ragu-ragu.

"Apa Indira mengatakan sesuatu padamu?" tebak yang lainnya.

Alis Satya terangkat. "Tahu dari mana kalau aku akan menanyakan tentang perkataan Indira pada kalian?"

"Hal yang wajar dilakukan para hantu pemula. Mereka tidak tahu alasan mereka masih tinggal di dunia manusia ini."

"Hei, tetapi aku punya alasan. Aku tidak ingin hotel ini jatuh pada orang yang salah!" bantah Satya.

"Dan kalian bertiga, apa kalian juga sudah mengetahui alasan mengapa kalian masih tetap tinggal di hotel ini?"

"Tentu saja."

"Apa?"

"Kita sedang menunggu dijemput."

"Dijemput siapa?"

"Tidak perlu mengurusi urusan kita. Urus saja urusanmu sendiri!" jawab anak yang paling tua di antara 2 lainnya dengan ketus.

"Berani sekali kamu menjawab orang yang lebih tua darimu, dengan kalimat kasar seperti itu!" tegur Satya sembari berkacak pinggang.

"Aku dan adik-adikku lebih tua dibanding kamu. Karena kamu masih menjadi hantu pemula."

"Cih."

Satya kemudian pergi, setelah mendapat ejekan sebagai 'hantu pemula.' Bukan untuk kembali ke ruangannya. Melainkan pergi ke lokasi, di mana dirinya mengalami kecelakaan.

"Aku masih ingat dengan namaku, keluargaku, dan semuanya. Tetapi ..., kenapa aku tidak mengingat bagaimana aku bisa mengalami kecelakaan?"

Satya terus berpikir keras untuk bisa mengingat sesuatu di hari itu. Hari, di mana ia terpaksa harus meninggalkan dunianya, juga semua harta yang dimilikinya.

Sampai pada akhirnya, ada mobil yang serupa dengan mobil milik Satya sewaktu dipakai di hari kecelakaan, sedang melintas di jalan raya. 

"Malam itu, apakah aku sedang dalam keadaan mabuk?"

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status